Warisan Masalah Era Gibran, Penetapan APBD Jangan Terburu-buru

Politik cawe-cawe makin hari makin membawa masalah. Bukan saja dalam skala nasional, di level regional… tingkat kota, efek cawe-cawe Raja Jawa ternyata juga berimbas. Yang terbaru di terjadi di kota Bengawan, kota asal usul ‘raja Jawa’ itu. Tarik ulur kepentingan KIM Plus yang merupakan poros Jokowi a.k.a Gibran selaku walikota terdahulu, berimbas pada gagalnya Badan Anggaran DPRD Kota Solo membahas dan mengesahkan Rancangan APBD(RAPBD) 2025 tepat waktu. Tidak mampu mengikuti tenggat waktu yang ditentukan. Sampai dengan  hari terakhir batas waktu pengesahan RAPBD sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yang jatuh 30 November 2024 kemarin, DPRD belum berhasil mengetukkan palu. 

Jelas ini menjadi kabar buruk bagi masyarakat menjelang tutup tahun 2024. Pemkot jelas dikenakan sanksi administrasi berupa penundaan pencairan hak-hak keuangan bagi Kepala Daerah dan anggota Dewan selama 6 bulan, termasuk Dana alokasi umum (DAU) dari pemerintah pusat. Program-program Pemkot, termasuk Wali Kota Solo yang terpilih dalam Pilkada 2024 nantinya juga berpotensi terhambat.  Keterlambatan pengesahan APBD bakal perimbas bagi tersendatnya pelaksaan jalannya pemerintahan di Kota Daerah. Boro-boro mau membangun, bisa jadi untuk membiayai kegiatan rutin seperti gaji dan upah pegawai, penyelenggaraan layanan kesehatan, kependudukan dan persampahan pun, Pemkot bakal kesulitan.

Tarik ulur paling nyata terlihat dari adanya ‘polarisasi tak terlihat’ menyusul adanya friksi besar partai politik sejak Pilpres 2024 lalu. Kelompok yang disebut KIM Plus di satu sisi, yang diwakili partai-partai pengusung duet Prabowo-Gibran di satu sisi, serta kelompok banteng yang diwakili oleh PDIP.

Di Solo, kelompok KIM Plus menuding kelompok banteng menjadi penyebab terhambatnya pengesahaan RAPBD, meski sejatinya, tudingan itu tidak benar. Kelompok KIM terlihat memaksakan penetapan RAPBN tanpa melalui prosedur yang seharusnya sebagaimana ditetapkan Undang Undang.

Berawal dari pembentukan alat-alat kelengkapan (alkap) DPRD yang tertunda-tunda. Mengacu PP No 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Kabupaten dan Kota, seharusnya alkap DPRD sudah terbentuk paling lambat 30 hari kerja setelah pelantikan. Yang terjadi, hingga akhir November 2024, DPRD Solo baru membentuk tiga alkap. Pertama, pimpinan DPRD, kedua Badan Musyawarah (Banmus) dan Badan Anggaran (Banggar) pada 25 November 2024. Alkap lainnya seperti komisi-komisi, badan pembentukan peraturan daerah, dan badan kehormatan hingga kini belum terbentuk. Ini kemudian yang bermuara pada keterlambatan pembahasan RAPBD 2025.

Tanpa menghiraukan pembentukan alkap lain yang belum terwujud, DPRD Solo terkesan mendadak ngebut membahas RAPBD. Alasannya mengejar deadline pada akhir November. Setelah penyampaian nota penjelasan Wali Kota Solo tentang RAPBD 2025, pemaparan pandangan umum fraksi-fraksi kemudian berubah menjadi hujan interupsi, dan akhirnya, hingga bulan November usai, APBD 2025 gagal disahkan.

Interupsi dari Fraksi PDIP menganggap pembahasan RAPBD ini belum sah, karena belum terpenuhinya kelengkapan Alkap. Komisi-komisi di DPRD sebagai salah satu alkap belum terbentuk. Aturan ini jelas tertulis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12/2018 dan Tatib DPRD bahwa anggota Banggar adalah representasi anggota komisi yang ditugaskan fraksi masing-masing.

Aturan yang jelas itu menjadi berbeda di tangan kelompok KIM Plus, tepatnya Koalisi Indonesia Maju Plus (sebagaimana kelompok tersebut menyebutnya). Entah bisikan dari mana, mereka memaksakan untuk membentuk komisi dengan cara voting, yang jelas-jelas tidak ada aturannya dalam PP 12/2018. Lebih ganjil lagi, mereka pun memaksakan keterwakilan dalam bentuk koalisi KIM Plus sebagai wakil dalam DPRD, meski jelas-jelas menyalahi aturan. Sistem dalam DPRD maupun DPR kita tidak mengenal bentuk koalisi, yang ada hanyalah fraksi. Fraksi mengacu pada partai, ataupun gabungan partai bagi partai yang hanya memiliki satu atau dua orang wakil.

Pemaksaan penggunaan voting inilah yang menjadi awal terhambatnya proses pembentukan komisi. Bukan tidak sering terdengar berita bahwa mereka diarahkan seorang Ketum Muda Belia, yang baru dua hari jadi anggota langsung jadi Ketua Umum. Di belakang dia, tentu saja kita semua tahu siapa….. Raja cawe-cawe. Siapa pun di belakang ide penggantian fraksi menjadi koalisi, satu pola terlihat jelas: kebiasaan tabrak aturan seenak jidat demi kepentingan yang bukan kepentingan masyarakat.

Amanat dari PP nomor 12/2018 sebenarnya jelas dan logis. Komisi-komisi di DPRD nantinya akan memberikan usulan maupun pengawasan pada program-program yang dijalankan Pemerintah Kota. Para anggota komisi ini akan menjadi orang yang paling paham kebutuhan, terutama dukungan anggaran yang diperlukan bagi jalannya program-program dan kegiatan tersebut. Bagaimana mungkin suatu anggaran dibuat tanpa masukan dari orang-orang yang akan membidangi kegiatan-kegiatan tersebut.

Pembentukan anggaran tanpa terbentuknya komisi rawan menjadi anggaran yang tidak tepat guna. Salah sasaran. Bukan saja sulit untuk dilaksanakan, melainkan juga bakal sulit dipertanggungjawabkan. Ujung-ujungnya pun sama, para pengguna anggaran akan berpikir dua kali untuk menggunakan anggaran yang tidak tepat dengan kebutuhan riil. Jika dipaksakan, hanya akan membawa masalah baru. Disemprit BPK misalnya, atau yang lebih berat lagi…. Panggilan dari para aparat penegak hukum: polisi, kejaksaan dan KPK. Serem….

Deadlock penetapan RAPBD Kota Solo kali ini jelas membuat ingatan kita flashback pada Pilpres 2024 saat terjadi penetapan Putusan MK 90 yang terkesan terburu-buru, kelompok KIM Plus terlihat ingin mengikuti pola “pengambilan keputusan dengan terburu”. Mengambil momen kesibukan pasca Pilkada. Membuat banyak orang berpersepsi: “Mengapa harus terburu-buru? Ada agenda tersembunyi yang akan dipaksakan……?”

Bisa dikatakan, di periode kedua pemerintahan Jokowi, terlihat pola-pola penetapan Undang Undang penting dengan terburu-buru, mengambil momen saat-saat negara sedang sibuk oleh masalah pandemi. Kita bisa melihat penetapan UU KPK, UU Cipta kerja, dan UU IKN, mengambil pola “terburu-buru” dan memanfaatkan kelengahan masyarakat, termasuk juga kelengahan kita sehingga mungkin saja ada aturan-aturan yang “diakali”. Penetapan APBD 2025 kali ini terlihat akan mengikuti “teladan” Jokowi tersebut.

Kita sendiri kemudian mengetahui, ketiga UU yang ditetapkan dengan terburu-buru dan dipaksakan itu menimbulkan masalah. Pertama pelemahan KPK, menjadi lembaga di bawah Presiden, sehingga independensinya hilang. Efeknya jelas, kasus korupsi mendadak tembus angka trilyun. Dan terjadi bukan hanya satu kasus, melainkan banyak kasus. Kasus korupsi timah misalnya.

UU Cipta kerja pun bermasalah karena merugikan hak-hak pekerja. Terutama soal kepastian hukum dari status mereka sebagai pekerja. Bisa dipecat sewaktu-waktu tanpa pesangon. Di sisi lain, UU yang digadhang-gadhang bakal menyuburkan iklim investasi itu justru membuat banyak investor pergi dari Indonesia. Investor pergi, investor baru pun gagal datang. Terakhir UU IKN menyebabkan pemaksaan pembangunan ibukota negara tersebut, meski pasca dilantiknya Prabowo sebagai presiden RI, belum ada kejelasan kapan ibukota bakal resmi pindah ke sana.

Pola memaksakan menetapkan keputusan penting di saat-saat menjelang deadline ini bukan cuma menjadi kebiasaan mantan presiden Jokowi, tapi kali ini polanya juga diikuti oleh partai-partai pendukungnya di legislatif. Aroma membela kepentingan kelompok KIM Plus menjadi tercium kuat. Apalagi kemudian kelompok tersebut mem-framing seolah-olah Fraksi PDIP menghambat penetapan APBD 2025.

Pembahasan anggaran di Kota Solo sendiri tentu saja bukan sesuatu yang bisa dianggap sepele sehingga bisa selesai dalam hitungan hari sebagaimana yang hendak dipaksakan di DPRD Solo. Kepemimpinan Gibran sebagai Walikota Solo telah menyisakan masalah besar. Terutama dalam penggunaan anggaran. Diketahui, sebagai anak presiden saat itu, Gibran seolah menjadi “anak emas” di kabinet Jokowi, yang ditandai datangnya beragam proyek mercusuar dari APBN di kota ini. Mulai dari aneka revitalisasi gedung tua seperti Lokananta, Taman Balekambang hingga Kraton, sampai pembangunan jalur kereta api baru untuk mengurai kemacetan di Joglo.

Meski didanai APBN, bukan berarti proyek-proyek mercusuar itu tidak meninggalkan masalah. Dari segi anggaran jelas, proyek yang dipaksakan itu menyisakan biaya pemeliharaan yang terlalu berat jika dibebankan pada APBD Kota Solo. APBD menjadi kehilangan kesempatan untuk digunakan dalam program-program yang lebih bermanfaat seperti pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan pengentasan kemiskinan dan pencegahan stunting. Wajar kalau sebagian menjadi berpikir: jangan-jangan memang kemiskinan dipertahankan sehingga bansos bisa dipolitisir untuk kemenangan kelompoknya.

Di sisi lain, bila tidak ada pemeliharaan, proyek-proyek mercusuar ini berpotensi mangkrak. Nah lho….

Mangkrak sendiri berbahaya, bukan karena kemubaziran anggaran, tetapi juga berpotensi membawa para eksekutor proyek ke meja hijau. Dianggap telah melakukan penyalahgunaan anggaran negara.

Bukan cuma berpotensi memeja hijaukan mereka yang terlibat, proyek-proyek mercusuar tersebut ternyata juga gagal meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang digembar-gemborkan Gibran sebelumnya. Pendapatan Asli Daerah Solo bahkan tidak mampu memenuhi target, meski pandemi dinyatakan telah berakhir. Pajak hotel, yang seharusnya terangkat sebagai imbas dari gencarnya promowi pariwisata Kota Solo, bahkan tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan. Tingkat pertumbuhan ekonomi pun gagal menembus angka 7 persen sebagaimana yang dijanjikan.

Dari situ kita bisa melihat, warisan masalah dari kepemimpinan Gibran, ternyata sangat berimbas pada APBD Kota Solo. Untuk mencapai Solo yang lebih baik, tentu tidak bisa sembrono dengan ditetapkan seenaknya dengan terburu-buru. Kecuali memang ada kelompok yang memaksakan agenda tersembunyi dari penetapan terburu-buru.

Masalah Solo itu rumit, sementara anggaran terbatas. Sudah selayaknya para Dewan yang terhormat berhati-hati memutuskan penetapan APBD. Lebih baik terlambat daripada tidak tepat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *