Pilih Nyinyir atau Filantropi: Nasehat Untuk Para Darah Biru

Cuitan Annisa Pohan di twitter direspons telak oleh akun Ranty_Ry : “Waktu Bapak Anda korupsi di BI apakah juga banyak yang Anda pertanyakan ke Bapak Anda?”. Respon Ranty_Ry itu menjadi klimaks dari semua hujatan netizen saat Annisa Pohan tak henti-henti nyinyir pada isu vaksin berbayar. Kali lain cuitan Annisa tentang ‘fitnah lebih besar dari pembunuhan’ mengutip ayat AlQuran. Annisa menulis surat Al Baqarah ayat 291. Kontan ia dihujani reaksi negatif dari netizen, karena ternyata surat Al Baqarah hanya 286 ayat.

Bukan cuma Annisa, politikus dari PDIP Puan maharani juga sering mendapat respon negatif. Bukan hanya karena Puan menyindir Ganjar Pranowo, Gubernur Jateng yang ia anggap kompetitornya. Menurut Puan, GP hanya aktif di media sosial bukan di dunia nyata. Puan juga mendapat serangkaian reaksi negatif lain. Yang paling baru terjadi adalah baliho Puan Maharani di Blitar dan Surabaya menjadi sasaran vandalisme. Baliho tersebut dicoret-coret dengan kata-kata tak senonoh. Sungguh kejadian di dunia nyata, bukan sekadar cemooh di media sosial.

Sebelumnya politikus partai Demokrat, ipar Annisa Pohan sekaligus putra bungsu mantan Presiden SBY juga terkena badai hujatan saat mengatakan Indonesia menjadi bangsa/negara gagal (failed nation) karena tidak mampu menangani Pandemi Covid-19. Ibas mencoba mengkritisi langkah-langkah pemerintah saat menangani pandemi Covid-19 ini. Apa daya, ia tak mendapat apresiasi. Justru Ibas seperti melakukan blunder. Ibas melengkapi hujatan pada kakaknya AHY yang akhir-akhir ini dianggap tak lagi simpatik karena terus menerus memainkan sentimen anti pemerintah, bukan karya nyata.

Berkebalikan dengan Ibas, Annisa dan suami gantengnya, serta Puan yang terus dicela, Gibran Rakabuming, Bobby Nasoetion, Emil Dardak serta Hanindhito Himawan Pramana, mengalami nasib yang berbeda, meski sama-sama anak dan menantu tokoh nasional. Gibran terpilih menjadi Walikota Surakarta, Bobby Walikota Medan, Emil Dardak pernah menjadi Bupati Trenggalek dan kini Wagub Jatim, sedang Hanindhito menjadi Bupati Kediri. Gibran, Bobby, Hanindhito tercatat telah membuat banyak gebrakan dan inovasi setelah 100 hari menjabat. Emil Dardak, jangan tanya lagi, ia punya catatan akademik yang fantastis, sebelum terjun ke politik pun karirnya cukup mengesankan, ditambah lagi rekam jejak karir politiknya yang terus melesat.

Mari kita lihat kesamaan AHY, Ibas, Nyonya AHY dan Puan yang membuat keempatnya banyak mendapat respons negatif belakangan ini. Mereka berdalih bila apa yang mereka sampaikan adalah kritik. ‘Kritik membangun’ mengkamuflase hasrat nyinyir mereka agar terasa membahana. Faktanya kritis dan nyinyir jelas beda. Kritis lebih bersifat nalar, rasional, sedangkan nyinyir lebih bersifat emosional dan cenderung tanpa nalar.

Trio ‘partai biru’ , lebih tepat dikatakan adalah ‘asal kontra’ dengan pemerintah. Bicara tanpa data, hal-hal negatif dan sering dengan melontarkan hoax, sengaja ataupun tidak sengaja. Annisa mungkin saja tak berniat membuat hoax saat menyebut Al Baqarah ayat 291, murni karena tergesa-gesa dan kurang teliti, tetapi ini bukti bila ia terbiasa bertindak emosional. Hasrat kuatnya untuk menjelek-jelekkan pemerintah agar ia, atau kelompoknya terlihat baik. AHY dan Ibas punya kebiasaan lain, selalu mengedepankan ‘pokoknya’…. Pokoknya pemerintah selalu salah, dan mereka tidak.

Efektif gaya serangan nyinyir ala trio biru Cikeas? Tentu saja tidak. Makin kencang mereka nyinyir, mereka makin dibandingkan dengan putra-putra tokoh nasional lain yang berani menapak karir politik dari bawah di daerah. Hujatan sebagai anak manja, karena tidak berani jauh dari orang tua. Hanya melihat ke atas dan tak mau belajar memahami kemajemukan masyarakat Indonesia dimulai dari masyarakat level terendah di desa atau kampung. Alih-alih mau keluar masuk gang, tempat kumuh, mendengarkan keluhan masyarakat yang seringkali sangat sederhana seperti: mengapa tetangga saya mendapat bansos sedangkan saya tidak……

Tidak mencoba pula belajar birokrasi, memahami kendala-kendala birokrasi, mulai dari ASN level kelurahan. Masyarakat lebih memilih mereka yang mau bekerja keras, bukan hanya mengandalkan mesin partai saja. Lalu abrakadabra, tiket ke Senayan di tangan.

Keluhan lain terhadap mereka tentu saja karena framing yang mereka pakai sudah ketinggalan zaman. Playing victim, nyinyir, mendadak bernuansa relijius dan menebar baliho, cara-cara yang sudah tertinggal hampir dua dekade. Bila SBY berhasil dengan teknik ini di 2004, menggunakan teknik ini menuju 2024 ibarat berkomunikasi dengan telepon umum koin di era smartphone. Mereka bisa ditertawakan Ganjar dan RK yang terkenal selalu mampu menampilkan content-content menarik dalam setiap media sosialnya. Membuat Puan dan balihonya semakin terasa blunder, demikian juga Annisa dan cuitan sejuta ayatnya. Masih ditambah Rocky Gerung dan nyinyir abisnya belakangan ini, yang kemudian didapati sedang berpose dalam jaket Demokrat bersama kakak beradik Cikeas. AHY dan Ibas makin nyungsep di mata netizen karena fakta ini.

Menarik apa yang disampaikan Pepih Nugraha pada tanggal 22 Juli 2021 di status Facebooknya: “Yang ingin saya katakan kepada kalian yang berharap menjadi Presiden RI Pengganti Jokowi, mulai sekarang kalian harus merebut hati netizen (warganet) yang memenuhi medsos itu. Kalian harus jadi ‘medsos darling’, sosok yang dicintai dan diterima dengan baik oleh penghuni dan pegiat medsos.”

Bagaimana cara menjadi medsos darling? Berita paling mendapat respon positif belakangan ini adalah berita filantropi di tengah pandemi. Yang paling menghebohkan tentu saja sumbangan warga keturunan Tionghoa sebesar 2 Trilyun untuk penanganan pandemi Covid-19. Terlepas apakah nanti sumbangan itu akan benar-benar sebesar itu atau tidak, wajar bila masyarakat menjadi eforia karenanya. Pandemi ini sangat memprihatinkan. Dampaknya secara kesehatan maupun ekonomi luar biasa menyedihkn. Apalagi setiap dampak ekonomi seringkali menimbulkan dampak sosial pula. Tak sedikit orang mengalami tekanan jiwa dan berperilaku negatif karenanya.

Berita-berita filantropi itu seperti mengembalikan kepercayaan masyarakat tentang makna kebaikan. Orang baik masih ada. Menambah optimisme bila krisis akan segera berlalu. Berita sederhana seperti individu yang menyediakan makanan bagi mereka yang isoman, susu dan obat, telemedicine, dan kegiatan positif lainnya akan selalu viral dan mendapat respon positif. Berkali-kali acara penggalangan danaoleh perorangan maupun organisasi, untuk mereka yang paling terdampak pandemi, direspon positif. Pendirian Rumah sakit terapung, misalnya, dalam sekejap mampu mengumpulkan dana dalam jumlah yang sangat fantastis.

Artinya, sebagian besar masyarakat tahu, pandemi ini tak main-main. Sejarawan Yuval Noah Harari pernah mengatakan bahwa pandemi Covid-19 merupakan bencana terburuk dalam seratus tahun terakhir. Tak ada satu pun pihak, baik pemerintah, pimpinan organisasi, tokoh masyarakat, maupun perseorangan yang mempunyai pengalaman menghadapi pandemi dengan jangkauan seluas kali ini. Semua pemerintahan di dunia wajar bila kaget menghadapi pandemi ini. Sebab ketersediaan Rumah Sakit, tenaga kesehatan maupun peralatan kesehatan pada awal 2020 sebelum pandemi, tidak akan sanggup untuk menghadapi lonjakan pasien yang terjadi kemudian. Ini berlaku di negara maju sekalipun.

Artinya lagi, masyarakat paham, siapa pun Presidennya, pasti akan berada pada posisi yang sangat sulit dalam pandemi ini. Termasuk seandainya SBY masih menjadi presiden. Bisa jadi keputusan-keputusan SBY lebih payah dari langkah-langkah yang diambil Presiden Jokowi. Bisa jadi pasien Covid tidak ditanggung negara, dengan alasan dana sudah terserap untuk penyediaan vaksin. Dan bisa jadi pengadaan vaksin jatuhnya lebih mahal, karena ketidakefisienan birokrasi. Karena Menteri Kesehatannya bukan orang yang paham ekonomi dan distribusi barang jasa. Bisa jadi juga bantuan sosial yang ada jauh lebih sedikit dan diberikan benar-benar dalam bentuk tunai, dan menimbulkan kerumunan massa di kantor pos. Bisa jadi juga Gibran, Bobby, Emil Dardak dan Hanindhito tidak akan nyinyir pada kebijakan-kebijakan SBY karena mereka terlalu sibuk mengurusi wilayahnya dan berkarya nyata sebagai Kepala Daerah.

Maka, menjadi filantropis jauh lebih dihargai masyarakat di saat pandemi ini, daripada menjadi nyinyiris. Dianggap sangat tak peka. Orang tidak peka tak pantas jadi pemimpin. Masyarakat jauh lebih menghargai bila kakak beradik itu mendanai kegiatan untuk penanganan pandemi, atau bila tak cukup dana, mengkoordinasikan suatu kegiatan sosial jauh lebih bermakna dan dihargai. Pansos positif. Untuk Puan misalnya, daripada menghabiskan uang banyak untuk baliho besar di lokasi strategis, mengapa uangnya tidak untuk kegiatan sosial saja. Masyarakat terbiasa melihat baliho berisi iklan air mineral, atau biskuit, atau barang apapun. Tak heran bila masyarakat banyak yang menganggap baliho tempat untuk mengiklankan sesuatu yang dijual dan bisa open order.

Itu kiat yang jauh lebih dihargai. Mungkin masyarakat lebih menunggu Ibas membuka lengan bajunya daripada melihat Annisa buka tutup akun medsos. Seperti juga masyarakat lebih menghargai istri pemimpin yang aktif dalam kegiatan sosial dan tak banyak nyinyir seperti Selfi Ananda atau Arumi Bachsin. Buat kakak beradik Cikeas, hal paling sederhana yang dapat dilakukan untuk meraih hati masyarakat adalah dengan menganjurkan masyarakat untuk taat protokol kesehatan, menjaga jarak dan ikut vaksinasi. Bukan dengan menebar pesimisme ‘negara failed’, tanpa sadar akan akibatnya bagi ketahanan bangsa.

Mereka perlu tahu analogi ini: bila ada anak kecil jatuh dari sepeda, yang kita lakukan adalah segera menolong anak itu. Bukan dengan menyalahkan orang tuanya karena membolehkan anak itu bersepeda. Kan nggak asyik kan bila SBY disalahkan atas kekonyolan cara-cara pansos Trio Cikeas itu?



Nia Megalomania

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *