Fenomena SCBD, Ingat La Sape!

Yamea, 58-year-old bricklayer and sapeur for 50 years, in Brazzaville.

Ingat fenomena SCBD, jadi ingat budaya La Sape! Setiap orang ingin terlihat terpandang. Penampilan menjadi jalan satu-satunya untuk menyiasatinya. Apa pun diperjuangkan demi memenuhi kebutuhan sosial ini. Ya, sosial, lingkungan, bisa menjadi salah satu faktor pendukungnya.

Fenomena kehidupan mewah para karyawan di kawasan Sudirman Central Business District (SCBD) menjadi sorotan publik. Kawasan kerja elite ini dikelilingi dengan bangunan mewah, nuansa mewah, dan karyawannya yang cenderung mengenakan outfit mewah. Tentu fenomena ini membuat masyarakat bertanya-tanya, mulai dari outfit yang dikenakan, harga, merek, sampai gaji yang didapatkan.

Lantas, apa kaitannya dengan budaya La Sape? La Sape merupakan akronim dari The Society of Ambianceurs and Elegant Person. Budaya La Sape diusung oleh masyarakat Kongo. Mereka adalah orang-orang yang memiliki gaya hidup mewah, mengenakan pakaian bermerk, dan semua yang dipakainya cenderung mencolok. Mulai dari pakaian, sepatu, tas, dan asesoris lainnya, semuanya branded! Semuanya mewah!

Namun, di balik kemewahan penampilan mereka, sebenarnya hidup mereka sangat memprihatinkan. Kok bisa? Mereka lebih mementingkan penampilan dibandingkan kebutuhan lainnya yang lebih esensi. Mereka kelaparan, bahkan sering persediaan air di rumah pun sangat minim. Tapi jika memiliki uang, mereka lebih baik membeli pakaian mewah dan mengikuti tren daripada membeli makanan.

Bagi masyarakat Kongo, budaya ini sudah menjadi subkultur mereka. Biasanya, penggila mode kebanyakan wanita, tapi La Sape diikuti oleh wanita dan pria dewasa, remaja, sampai anak-anak. Mereka biasa disebut dengan Sapeurs. Berasal dari kata se saper dalam bahasa Prancis. Sapeurs berarti menggunakan pakaian berkelas, dan mereka umumnya tinggal di Brazzaville, kota besar Kongo.

Budaya ini mulai dipraktikkan di Kongo sejak akhir tahun 1980-an. Sebagian besar harga pakaian Sapeurs bernilai tiga kali lipat lebih besar dari penghasilan mereka setiap bulan (New York Times, 1988). Jika Sapeurs memiliki uang, mereka akan membeli pakaian di toko yang menjual barang bermerek seperti Pierre Cardin, John Foster, Yves Saint Laurent, Gabrielle, sampai Yohji Yamamoto. Jika tidak memiliki uang, Sapeurs biasanya akan menyewa.

Meski berfokus pada penampilan mewah, La Sape menjadi budaya Kongo yang mampu memengaruhi banyak dimensi, mulai dari seni, ekonomi, komunikasi, sampai politik. Meski negara ini terkenal dengan sejarahnya yang penuh kemiskinan, gizi buruk, penyakit, masalah berat, dan konflik sampai merenggut banyak nyawa, budaya La Sape tetap terjadi hingga kini. Sapeurs anti mengenakan pakaian tiruan. Bagi mereka, tindakan itu merupakan penghinaan. Prinsip Sapeurs di Kongo adalah sapologie, suatu ajaran supaya Sapeurs tidak melakukan tindak kekerasan dan harus tetap bahagia dengan tampil elegan, meski tidak cukup makan.

Mengapa budaya La Sape bisa bertahan sampai sekarang? Budaya La Sape memiliki motivasi untuk menjunjung tinggi keanggunan. Keanggunan dalam berpakaian. Selain dalam penampilan, tata krama juga dijunjung tinggi. La Sape menjadi sebuah gerakan untuk mementingkan penampilan dan mempertahankan keanggunan seperti zaman kolonial. Meski praktiknya membuat tatanan sosial terlihat aneh, tapi inilah nilai-nilai yang mereka dengungkan.

Di tengah-tengah kelaparan yang terjadi di negara itu, sebagian masyarakatnya justru tetap mempertahankan budaya La Sape. Jelas-jelas budaya ini menempatkan kebutuhan tersier di urutan teratas. Bagi masyarakat umum, kebutuhan tersier akan dipenuhi paling akhir. Namun, ini tidak berlaku bagi kaum Sapeurs, sekalipun budaya La Sape banyak mengarah hanya pada pemuasan diri dan mengejar kemewahan semata.

Apakah fenomena SCBD sama seperti budaya La Sape? Sama persis, mungkin tidak. Tapi mirip, iya. Bekerja di kawasan elite, dengan puluhan gedung tinggi yang berfungsi sebagai hotel, mall, apartemen, pusat hiburan, dan gedung perkantoran, lambat laun akan memengaruhi gaya hidup orang-orang di sekitarnya. Faktor lingkungan banyak berbicara! Belum lagi ditambah penilaian sosial, prestise, dan enggan dianggap konvensional atau ketinggalan zaman.

Menuntut diri terlalu berlebihan untuk memenuhi penilaian sosial tentu akan fatal. Ini akan bermuara pada utang konsumtif. Sama halnya Sapeurs yang menuntut diri terlalu berlebihan untuk mengikuti tren dan merek terkenal. Sampai-sampai, Severin Muengo, maxime pivot (predikat Sapeurs terbaik), pernah berutang hingga ribuan dollar hanya untuk membeli baju bermerek dan membuat penampilannya terbaik di antara Sapeurs lainnya.

Menurut Kotler (2009), gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Keseluruhan diri seseorang digambarkan melalui interaksi seseorang dengan lingkungannya. Jelas bahwa La Sape sudah menjadi gaya hidup bagi Sapeurs, bagaimana dengan karyawan SCBD? Apakah akan mengambil penampilan mewah sebagai gaya hidup yang dipertahankan, bahkan menjadikannya budaya? Semua bergantung pada masing-masing orang dalam memaknai hidup ini. Sudah ada tatanan yang pas: kebutuhan primer, sekunder, lalu tersier. Namun, jika dalam praktiknya tatanan ini dibolak-balik hanya demi prestise dan dalam konteks komunal, itu akan menjadi budaya baru yang entah diterima atau dilawan.

Responses (11)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *