Menapaki hari-hari di sepanjang Oktober, nuansa literasi akan semakin kental. Ya, kita sudah memasuki bulan bahasa dan sastra, dan tahun ini Sumpah Pemuda genap 94 tahun sejak didengungkan kala itu. Sumpah Pemuda turut menyertakan bahasa Indonesia sebagai salah satu alat pemersatu bangsa. Tentu, motivasi luhur di balik pernyataan itu masih dipegang erat dan terus diwujudkan hingga kini.
Menyoal bahasa dan sastra, tak melulu hanya mengungkapkan maksud hati penulis atau penuturnya. Mursal Esten (sastrawan, penulis, dan budayawan Indonesia) berpendapat bahwa suatu karya sastra tidak hanya merupakan pernyataan hati nurani pengarangnya, tetapi juga merupakan pengungkapan hati nurani masyarakatnya. Inilah yang melatarbelakangi adanya relasi erat antara karya sastra dan kondisi sosial. Kehidupan masyarakat atau kondisi sosial dapat digambarkan melalui karya sastra. Pengarang dengan kreativitasnya akan menciptakan karya yang sarat makna akan kehidupan masyarakatnya. Itulah mengapa tak mengherankan jika sastra mampu mewakili “suara” rakyat.
Masih ingat Wiji Thukul, sastrawan yang berjuang menyuarakan keadilan dan mengkritisi pemerintah melalui sastra? Wiji Thukul melalui karyanya Para Jenderal Marah-Marah (2013), Kumpulan puisi dalam buku Aku Ingin Jadi Peluru (2000), dan beberapa karyanya yang lain, mencerminkan kehidupan rakyat kecil yang menyedihkan di era kepemimpinan Soeharto pada masa itu.
Sayangnya, penyair yang mumpuni dan kritis ini hilang secara misterius di era Orde Baru. Hingga kini, tidak seorang pun tahu apakah Wiji Thukul masih hidup atau telah meninggal. Kisah ini membuktikan bahwa sastra tak sekadar tulisan indah atau permainan rima yang enak didengar. Suatu karya sastra dapat menjadi senjata yang mampu melucuti ketidakadilan dengan lebih terbuka dan jujur, serta berpihak pada rakyat kecil. Sifat inilah yang memungkinkan sastra menjadi media kritik yang lebih natural.
Sastra dengan bahasanya yang estetik dan penuh penjiwaan mampu dekat dengan rakyat. Bagaimana sastra dan bahasa di ranah kepemimpinan, pemerintah, dan seluk-beluk politiknya? Tidak dimungkiri bahwa perkataan seorang pemimpin ibarat sebuah magnet yang mampu membuat pengikutnya tunduk dan mengikutinya. Bahasa tidak sekadar memengaruhi seseorang, tetapi juga mengendalikan pikiran seseorang.
Aristoteles, filsuf besar Yunani, memercayai bahwa pengaruh atau persuasi akan terjadi saat penutur terhubung dengan pendengar/penonton dalam tiga dimensi: logos untuk menarik akal, ethos untuk karakter, dan pathos untuk emosi. Jika ingin memengaruhi pola pikir dan mendorong perubahan, pemimpin harus bisa berkomunikasi secara autentik, menyentuh hati, dan tetap menarik.
Bagaimana dengan para pemimpin di Indonesia? Pernahkah mereka bersastra atau berbahasa yang sarat akan persatuan, cinta akan Indonesia. Tidak banyak yang bersastra, tetapi ada … presiden Soekarno contohnya, pernah membuat puisi Aku Melihat Indonesia.
… Jikalau aku mendengarkan lagu Olesio dari Maluku
bukan lagi aku mendengarkan lagu Olesio
Aku mendengar Indonesia
Jikalau aku mendengarkan burung Perkutut
menyanyi di pohon ditiup angin yang sepoi-sepoi
bukan lagi aku mendengarkan burung Perkutut
Aku mendengarkan Indonesia …
Puisi yang bermakna mendalam dan menyentuh hati dalam menggambarkan kemajemukan Indonesia. Puisi menjadi salah satu bukti bahwa sastra dan bahasa mampu menjadi media yang mewakili kondisi Indonesia secara nyata. Beragam suku, banyak pulau, banyak budaya dan seni, tetapi semuanya satu dalam Indonesia. Ketika melihat, mendengar, dan menikmati salah satu budaya atau seni daerah tertentu, kita melihat dan mendengarkan Indonesia. Puisi ini memberi ruang baru bagi sastra. Selain sebagai media kritik, sastra dapat menjadi sebagai media untuk mempersatukan bangsa yang memiliki keragaman suku dan budaya.
Selain Ir. Soekarno, ada juga Susilo Bambang Yudhoyono yang tercatat telah menghimpun beberapa puisinya dalam buku Membasuh Hati di Taman Kehidupan (2014) yang mengandung pesan-pesan kerukunan, kebersamaan, lingkungan hidup, harmoni kehidupan, dan semangat untuk maju dan berjuang. Bisa jadi masih ada pemimpin-pemimpin lainnya yang menerjunkan dirinya dalam seni jurnalistik ini.
Dalam ranah politik, tak dimungkiri banyak puisi tercipta dengan motivasi untuk mengkritisi pemerintah dan segala kebijakannya. Bahkan, pemerintahan yang tergolong cukup kondusif pun tetap bisa menjadi sasaran kritik melalui diksi berbalut satire. Seorang politisi yang menyukai puisi sejak usia 12 tahun dan telah membuat antologi puisi, Fadli Sion, juga tak luput untuk bersastra dalam konteks politik. Puisi berjudul Sajak Orang Kaget, puisi bersifat satire karyanya ini cenderung menyindir pemerintahan. Terlepas dari kepentingan siapa atau kelompok mana yang diperjuangkannya, sastra telah membuktikan dirinya bahwa ia berpotensi menjadi media kritik. Siapa saja boleh bersastra dan menyampaikan pesannya. Lantas, mampukah bahasa dan sastra mendekatkan pemerintah dengan rakyat?
Berkaca dari pemanfaatan sastra dan bahasa Indonesia, kita perlu cermat dalam memahami karya sastra. Sejatinya, sastra adalah sebuah seni, yang sebenarnya berdaulat atas diksi dan isi. Sastra dapat dimanfaatkan dengan baik untuk memberikan nilai-nilai kearifan, kerukunan, persatuan dalam keragaman, dan mengkritisi demi kesejahteraan. Namun, kita tidak bisa menutup mata, bahwa sastra pun bisa jadi bermuatan narasi-narasi yang bertendensi untuk mendiskreditkan atau menyerang.
Tidak mudah mengejawantahkan persatuan melalui bahasa ketika karya sastra bertendensi semacam ini. Tidak mudah pula bersastra dengan diksi yang tidak dipertimbangkan dengan matang. Pada era digital, era di mana setiap orang bisa melihat dan mencermati segala macam via media sosial, bersastra menjadi kesempatan sekaligus tantangan dalam menyampaikan pesan. Jangan sampai bersastra dengan minim pertimbangan, dalam diksi dan konteks isi, malah menjadi boomerang bagi pengarang. Mari bersastra dan berbahasa demi persatuan Indonesia!