Dede Eri Supria

Berbelas tahun lalu, saya tersentak melihat lukisan Dede Eri Supria ini. Di rubrik seni majalah Tempo, kalau tidak salah, diulas tentang kecenderungan Dede Eri Supria untuk menggambarkan sesuatu menjadi hiper realis. Pembangunan infrastruktur yang masif, dan hanya menyisakan sedikit lahan untuk bercocok tanam.

Dibanding tema-tema demokrasi, isu lingkungan belum populer saat itu. Jauh lebih sering saya melihat lukisan yang secara tersamar menggambarkan mulut terbungkam menghadapi tindakan represif. Tema yang membangkitkan sensasi horor, rasa takut yang akut, selalu gagal membangkitkan rasa indah bagi saya. Hanya menggugah kesadaran semata.

Jauh lebih sering lagi saya melihat lukisan dengan nilai-nilai keindahan konvensional: pemandangan alam dengan hamparan ladang menghijau, berlatar bukit dan gunung, serta langit yang membiru. Gambaran tentang dunia yang indah tanpa masalah. Indah, tapi cuma indah saja. Keindahan yang kemudian saya lupakan dengan mudah.

Sementara, lukisan Dede Eri Supria ini begitu lain. Warna dan komposisinya memukau. Seorang petani tua terlihat tetap teguh bercocok tanam di lahan sepetak kecilnta. Memandang keteguhannya memberi pengalaman indrawi baru bagi saya, rasa indah sekaligus miris.

Apakah rasa miris itu kemudian menggugah kesadaran saya untuk cinta lingkungan? Jawabnya belum. Meski di sekolah saya belajar tentang Malthus dan mengerti betapa pertumbuhan produksi pangan hanya mengikuti deret hitung, tertinggal jauh dengan peningkatan populasi yang mengikuti deret ukur. Saya masih abai pada masalah lingkungan, meski kesadaran tentang pentingnya kelestarian alam mulai bertumbuh saat itu.

Yang terpenting, saya seperti menemukan genre seni baru untuk disuka. Seni yang memotret lingkungan keseharian yang saya kenal, memotret hal-hal sederhana di sekitar saya. Dari situlah kemudian lahir banyak kesadaran-kesadaran baru bagi saya.
Kecintaan pada apa yang telah kita miliki tanpa kehilangan nalar kritis. Sehingga kita tidak silau melihat sesuatu di luar, meski tidak juga menjadi merasa yang paling besar dan paling benar.

Jika demikian, masihkah saya harus menabukan seni?

Solo, September 2015

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *