Cinta di Tengah Asap yang Mengepul

https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRpqbZz7lgmQ_Q6TMMlUojTYT2U6rKX8IjbMA&s

Nggak mudah menulis ini,
kesannya akan panjang …
semoga terobati.

Aku cuma bisa bilang aku mencintaimu.

Memang, aku belum menikmati semua hal yang kamu punya.
Tapi aku terlanjur cinta …
karena sedari awal ketika aku mulai berjalan,
tanahmulah yang kupijak.

Dan sampai sekarang,
di tanah yang sama,
di negeri ini,
aku berdiri.

Keinginan untuk sengaja berlari
dan memilih tanah negeri lain,
tak pernah ada dalam pikiranku.

Bukan karena negeri lain tidak menarik,
banyak yang lebih menarik ..
tapi aku sudah terlanjur mencintaimu
dengan segala kondisimu.

Sebenarnya,
kau negeri terindah yang pernah kulihat.
Tapi akhir-akhir ini,
banyak sekali bagian di dirimu yang membuatku gelisah.

Baru saja kau merayakan ultah ke-80 tahun.
Seluruh rakyat mengingatmu
dan lagu kesukaanmu
dinyanyikan di seantero nusantara.

Kau pasti bangga
sama ..
aku juga bangga.

Tapi Agustus ini,
kebahagiaanmu nggak bertahan lama.
Setelah ultahmu,
beragam rencana untukmu sudah matang tertata.

Hari itupun tiba,
bahkan sampai hari ini.

Banyak hal terjadi di atas tanahmu,
penuh harap, amarah, emosi,
caci maki, bela diri,
dan entah rasa apa lagi yang terluap ..
semuanya bercampur.
Semuanya rusuh.
Semuanya terjadi di tanahmu.

Malam ini,
tak terlihat ada kesejukan di kota-kotamu.
Yang tersisa hanyalah serpihan,
kerusakan,
dan asap mengepul yang sampai ke awan-awan.

Aku nggak berani bayangkan
jika awan mulai sesak dan berontak.

Aku tahu bangsamu banyak nggak terima,
dengan banyak hal
yang diputuskan ‘orang-orangmu’.
Mereka yang duduk di kursi empuk,
dengan sebotol air mineral
dan sekotak makanan
dengan diselimuti udara sejuk yang menidurkan.

Maaf, kadang keputusan ‘orang-orangmu’ mengerikan.

Putusan yang jauh
dari kepekaan akan sosial.
Putusan yang jauh
dari rasa empati untuk bangsa ini.
Putusan yang sulit dimengerti
oleh pikiran dan hati nurani.

Putusan yang sepertinya mudah sekali diputuskan
dengan menatap ‘orang-orang’ di kursimu,
kursi mewah yang menjadi saksi bisu.

Coba bayangkan,
kalau yang dilihat adalah bangsa ini
di kursi reyotnya masing-masing.
Masih sama keputusannya?
Seharusnya ada kegentaran,
bahkan rasa takut akan Tuhan.

Tentang kursi reyot,
aku ingin bercerita kepadamu.
Ini bukan cerita klasik,
ini cerita baru,
baru terlintas di pikiranku.

Sebuah rumah megah berdiri kokoh,
dan kemewahannya jangan ditanya.
Tapi di sudut ruang,
tampak kursi reyot
yang sering diduduki
oleh anak lelaki
yang sepertinya nggak banyak tingkah.

Untuk duduk di kursi itu,
nggak gampang.
Butuh perjuangan.
Butuh ketahanan.
Butuh kewaspadaan.

Kalau terlena,
jatuhlah segera.

Kenapa mau
anak lelaki itu duduk di sana?

Itu impian.
Yang namanya impian,
harus diwujudkan.
Tak peduli pendapat orang.

Impian yang terwujud,
bukan karena kerja sendirian.
Butuh pertolongan.
Butuh dukungan.
Butuh perhatian.

Sumringah rasanya
ketika ada yang menolong
mendudukkannya
di kursi reyot itu.
Serasa klasik,
unik
dan menarik.

Pastinya,
ada hormat setinggi-tingginya.
Dan peluk hangat,
pada orang-orang yang menolongnya.

Namanya kursi reyot.
Lagi-lagi, butuh ketahanan
dan kewaspadaan.

Tak lama,
yang dihormatinya
mulai mencungkil kursinya.
Perlahan tapi pasti.

Bukan dengan tangannya sendiri,
tapi tangan-tangannya.

Seisi rumah mewah mulai berisik
mulai teriak
mulai memamerkan kursinya
yang katanya empuk.

Mulai menari
berjoget
dan jumawa.

[Aku juga bangsamu,
tapi nggak bisa menari.
Menari dalam ketidakpekaan.]

Anak lelaki gelisah.
Belum menyadari,
walau akhirnya paham.
Dan berakhir meratap.

Dulu pernah meratap,
tak bisa duduk di kursi reyot.
Tapi rasa itu masih bisa diterapi.

Kali ini,
ratapannya begitu dalam.
Mungkin tak bisa lagi diterapi.
Anak lelaki mulai mengenal
arti dikhianati.

Bisa jadi,
kursi reyot tak lagi berarti.
Tapi mungkinkah kecewa menusuk hati,
terobati?

Mungkin,
tak lagi tentang kursi reyot
di pikirannya.
Tapi tentang penolongnya,
yang mengkhianati dirinya.

Dan,
tiba-tiba ada anak kecil
berlarian
dan duduk di kursi reyot itu
dengan disangga
teman-temannya.

Aman kelihatannya,
tapi entah.
Yang pasti,
rumah mewahnya tetap ada,
dan
tanahnya sama
di negeri ini.

Yah, itu hanyalah
sekelebat cerita di pikiranku.
Aku cuma malu
dengan sudut pandangku
yang mungkin salah melihatmu
akhir-akhir ini.

Tapi,
semua yang berdiri di atas tanahmu
sekarang sedang berlarian.
Sedang berteriak.
Sedang membara.

Ya,
aku tetap mencintaimu,
negeriku,
apa pun kondisimu.

Pingin ikut meluapkan di jalan,
cuma aku takut kesasar.
Aku nggak pintar cari jalan,
bukan jalan aman,
tapi jalan yang benar.

Sekadar curhat di tengah malam,
kalau aku
mencintaimu
Indonesiaku,
di tengah asap yang mengepul di kotaku.

Doaku,
kuyakin banyak yang mendoakanmu,
yang tidak baik di atas tanahmu
bisa dibenahi
dengan bijaksana
adil
santun
penuh wibawa
dan kelak sejahtera
bisa dirasakan bangsamu tercinta.

Penuh rasa bangga
dan akan tetap bangga padamu,
Indonesia.

Berjuanglah menahan semua pijakan ini.
Aku pun akan terus belajar,
belajar berjalan tidak sembarangan
kapan pun itu
di tanahmu.

Semoga aku bisa
tidak menyakitimu.
Harapku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *