Kasus Nakes yang Dituntut Penistaan Agama dan Populisme Agama

Baru-baru ini kita dihebohkan oleh berita kriminalisasi nakes RSUD Pematang Siantar. Para nakes itu dituntut dengan pasal penistaan agama, hanya karena mereka memandikan jenazah yang bukan muhrimnya. Kisah berawal dari meninggalnya pasien suspect Covid 19 bernama Zakiyah di RSUD Djasamen Saragih, Pematang Siantar pada 20 September 2020. Para nakes tersebut, 2 perawat dan 2 petugas forensik dianggap telah melakukan penanganan jenazah yang tak sesuai dengan syariat tentang fardhu kifayah. Inilah yang membuat Fauzi Munthe suami almarhum murka dan melaporkan kasus tersebut ke Polres Pematang Siantar.

Penyidik polisi di Polres Pematang Siantar kemudian menetapkan 4 nakes tersebut sebagai tersangka dan melanggar Pasal 156 huruf a juncto Pasal 55 ayat 1 tentang Penistaan Agama dengan ancaman 5 tahun penjara. Lebih memprihatinkan lagi, sebelum memutuskan keempat nakes sebagai tersangka, polisi telah meminta keterangan saksi ahli dari MUI. Klausul penistaan agama itu sendiri muncul karena pengaruh fatwa dari pengurus MUI Pematang Siantar.

Kembalinya penggunaan pasal penistaan agama ini tentu sangat memprihatinkan. Kita semua tahu, pasal ini sering sangat multitafsir dengan subyektifitas tinggi. Mengutip apa yang dikatakan pegiat medsos Eko Kuntadhi: jangan sampai pasal ini menjadi simbol penindasan mayoritas atau menjadi simbol persekusi kepada mereka mereka yang dianggap tidak sesuai dengan tafsir agama. Pola yang hampir sama dengan kasus Ahok. Menggunakan massa untuk menekan hukum. Kelompok-kelompok dengan pemikiran radikal dan gemar mempertentangkan semuanya dengan dalih agama. Lebih memprihatinkan lagi, MUI Daerah memberi mereka ruang untuk berkiprah.

Kisah ini kembali menambah daftar panjang kasus-kasus intoleransi di negeri ini. Dalam buku Post-Truth dan (Anti) Pluralisme, kumpulan diskusi Forum Mangunwijaya, dipaparkan sejumlah penelitian dan survey yang menunjukkan maraknya pandangan-pandangan intoleran di masyarakat. Dalam penelitian Center for Strategic and International Studies (CSIS) pada Agustus 2017 menunjukkan bahwa generasi muda di 34 provinsi, 58,4% tidak menerima pemimpin yang berbeda agama. Jajak pendapat Litbang harian Kompas tanggal 30-31 Mei 2018 menemukan ancaman terhadap persatuan yang berasal dari ajaran, budaya dan perilaku yang bertentangan nilai-nilai Pancasila, kini nyata dirasakan.

Survey lain dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah pada 2.237 guru muslim di 34 provinsi. Hasil survei menunjukkan ‘enam dari sepuluh guru memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain’ atau sekitar 63,07%. Salah satu bentuk opini intoleran di kalangan guru terlihat dari fakta 56% guru muslim tak menyetujui non muslim mendirikan sekolah berasis agama di sekitar mereka. 21% tidak setuju bila tetangga berbeda agama melakukan upacara keagamaan. Opini sangat radikal dimiliki 46,09% responden, diukur dengan pengukuran implisit.

Gejala intoleransi parahnya menghinggapi banyak guru-guru di sekolah negeri. Berbeda dengan 2 dekade lalu, sekolah-sekolah negeri saat ini cenderung homogen, khususnya terkait identitas agama. Survey ini makin membuat kita tak kaget dengan kasus seperti pemaksaan penggunaan jilbab bahkan untuk siswa berbeda agama yang berujung dengan diterbitkannya SKB 3 Menteri. Masih ditambah penolakan terang-terangan Bupati Pariaman atas SKB 3 Menteri itu, bahkan juga opini kontra SKB Menteri dari peneliti LIPI, yang kita ketahui adalah lembaga penelitian pemerintah.

Intoleransi pelan-pelan telah menjadi kecenderungan sikap masyarakat akibat ketakmampuan menerima keberagaman. Setara Institute menyatakan kekhawatiran tentang menguatnya ‘intoleransi pasif’, yaitu sikap, pandangan atau persetujuan dalam hati atas suatu tindak intoleran. Banyak pakar mengaitkan maraknya intoleransi belakangan ini berkait dengan penyebaran pandangan dan sikap anti keberagaman dan radikalis yang difasilitasi secara masif oleh teknologi informasi digital. Bahkan dibandingkan kelompok masyarakat yang secara ideologis berhaluan moderat, kaum radikalis dan anti pluralis cenderung ‘lebih lincah’ dalam menggunakan teknologi. Sebuah ironi yang memang telah diramalkan lebih 30 tahun lalu.

Ekses akibat meluasnya penggunaan teknologi informasi selalu dikaitkan dengan apa yang disebut fenomena ‘post-truth’. Saat kebenaran dapat dimanipulasi menurut kepentingan tertentu, dan teknologi informasi sungguh fasilitator luar biasa bagi manipulasi ini. Mengamplifikasi dampak-dampak dari benturan peradaban. Berawal dari runtuhnya komunisme di awal 90an, liberalisme menjadi satu-satunya ideologi negara yang bertahan, setelah pergolakan ideologi negara sepanjang abad 20. Diawali dengan runtuhnya tembok Berlin di tahun 1989, mulailah lahir pemikiran-pemikiran tentang bentuk tata kelola sosial-politik masyarakat masa depan. Salah satu pemikiran klasik yang terkenal adalah The End of History oleh Francis Fukuyama. Pemikiran tentang akhir sejarah ini kontroversial pada zamannya.

Fukuyama mengulas kemenangan ‘demokrasi liberal’ melawan komunisme berkonsekuensi hilangnya polar ideologi. Demokrasi menjadi satu-satunya tata kelola kehidupan sosial politik yang dominan. Pertentangan akan tetap terjadi hanya dalam koridor penerimaan pada demokrasi. Bagi Fukuyama, bubarnya blok komunis merupakan bukti bahwa demokrasi liberal adalah ideologi yang cocok untuk masa depan dan kehidupan masyarakat modern. Namun secara tidak langsung pendapat Fukuyama dibantah Samuel Huntington dalam The Clash of Civilizations and Remaking of World Order. Memang setelah perang dingin, menurut Huntington, tidak akan adalagi perbedaan ideologi politik. Meski demikian, tata dunia abad 21 ditandai oleh persoalan-persoalan yang timbul dari persoalan-persoalan yang timbul dari perbedaan ideologi budaya. Dunia abad ke 21 akan diwarnai pertentangan akibat perbedaan ciri-ciri identitas sosio kultural kolektif yang sifatnya tribal. Artinya, berbasis kelompok. Pertentangan berbasis tribal ini seringkali terjadi antara kelompok-kelompok dengan akar tradisi budaya berbeda. Inilah yang disebut benturan peradaban oleh Huntington.

Penjelasan Huntington ini membantu memahami tata dunia pasca perang dingin. 30 tahun kemudian, Fukuyama mengoreksi tesis kontroversialnya tentang berakhirnya ideologi. Ia menjelaskan bahwa semua gejolak dan benturan serta konflik antar kelompok dalam tata sosial politik dunia bersumber pada perebutan pengakuan atas identitas kelompok. Di pihak lain terjadi penyempitan penerimaan pluralitas. Fukuyama menolak keyakinan yang banyak diamini bahwa sumber-sumber ekonomi merupakan faktor utama aneka konflik dan benturan politik. Penguatan identitas kelompok serta upaya mendapat pengakuan kelompok lain menjadi ciri penting interaksi global pada abad ke 21. Interaksi dapat berwujud kerja sama, kooperasi atau yang mudah berekses negatif: kompetisi dan konflik.

Benturan yang bersumber pada perbedaan akar kebudayaan ini seringkali mewujud dengan menguatnya gerakan-gerakan ultra kanan. Partai sayap kanan menguat di Eropa. Nasionalisme Eropa yang kemudian berujung terbentuknya Uni Eropa mendapat tentangan baru dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Di Amerika, terpilihnya Trump menunjukkan gejala menguatnya nasionalisme sempit dengan populisme menjadi pembakarnya.

Populisme ini semakin menguat dengan topangan teknologi informasi. Maka benturan peradaban akibat perebutan pengakuan atas identitas kolektif makin mendapat corongnya dengan teknologi digital. Merenggut sikap kritis dan rasionalitas. Minimnya ruang refleksi ini memunculkan kadar relativitas yang tinggi tentang kebenaran. Kebenaran menjadi semakin rentan multitafsir, dan seringkali tafsir yang intimidatif, rasis, dan mengeliminasi kelompok lain yang dominan di masyarakat. Sialnya lagi, ‘kebenaran versi hardcore’ ini semakin teramplifikasi dengan cepat berkat jaring informasi digital. Hal-hal inilah yang menjadi pemicu kasus-kasus intoleransi yang banyak terjadi di sekitar kita. Seperti kasus 4 nakes yang dituntut pasal-pasal penistaan agama tersebut.

Populisme juga dimanfaatkan pihak-pihak yang berkepentingan menguasai politik dan ruang publik. Segala cara ditempuh termasuk mengintensifkan manipulasi berita dan hoax sebagai sarana disinformasi. Kelompok yang berseberangan akan selalu dimanipulasi sebagai pihak yang menjadi ancaman mematikan bagi eksistensi kita. Oleh karena itu mereka layak dihabisi, dimulai dengan menghabisi pemikirannya. Politik pencitraan merebak, dan mendadak agama menjadi salah satu alat terefektif untuk mempromosikan citra baik. Populisme agama telah menutup pemahaman tentang esensi nilai-nilai, menjadi pemaksaan nilai-nilai. Logis atau tak logis, manusiawi atau tidak, semua dipaksakan dalam nama perintah agama. Meski pada saat bersamaan, agamawan-agamawan lain memberi pendapat yang jauh lebih manusiawi dan berkesesuaian zaman. Namun seringkali pendapat yang radikal yang memenangkan opini mayoritas. Opini mayoritas ini kemudian menjadi gerakan intimidatif bagi mereka yang berpendapat beda, bahkan juga berlaku meski agama sama.

Populisme agama juga telah mengambil alih kegelisahan menjadi perasaan takut terhadap musuh berbahaya. Musuh yang lagi-lagi hanya prasangka kelompok. Akibat adanya pertentangan yang berakar dari perbedaan akar budaya tersebut. Pada perbedaan budaya biasa, tak adanya label ‘suci’ dan janji jaminan kebenaran di hari akhir membuat masyarakat mampu berpikir rasional. Mampu menyanggah nilai-nilai yang dianggap tak adil, tak benar dan merugikan. Hal berbeda terjadi pada nilai-nilai yang kadung dilabeli agama.

Sejatinya , disamping ekses buruk teknologi informasi, teknologi itu sebenarnya dapat dimaksimalkan unutk menyebarkan gagasan-gagasan dan praksis kebaikan, solidaritas dan kepekaan kepada sesama. Kita tentu saja masih ingat gerakan solidaritas ‘koin untuk Prita’ di masa-masa awal maraknya sosial media. Teknologi informasi juga ternyata bisa menciptakan peluang-peluang usaha baru, memperpendek rantai perdagangan, dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Manfaat yang sering netizen lupakan dibanding kecenderungan untuk beropini negatif dan menyebarkan pikiran-pikiran intimidatif dan rasial.

Maka cara tersederhana untuk tetap rasional di era post-truth adalah membiasakan ‘fact-checking’. Memeriksa dan memverifikasi berita, membiasakan diri mencari sumber beritanya, dan terbiasa berpikir ada kepentingan apa di balik berita itu. Bahkan untuk berita-berita ataupun keputusan-keputusan berlabel agama. Di atas segalanya tentu saja dengan membiasakan membaca. Meningkatkan literasi. Sehingga kasus serupa 4 nakes tertuduh menista agama tak terjadi lagi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *