Gak Usah Move On, Rakyat Jadi “Oposisi” Saja

Dari pilpres 2014, 2019 hingga yang terkini pilpres 2024, ketika selesai proses perhitungan quick count, ada satu suara yang sama yang didengungkan oleh kubu yang menang kepada pihak yang kalah yaitu move on, yang artinya segera terima kekalahan, legowo apapun hasilnya, lupakan perseteruan, dan kembali bersatu seperti sediakala. Lalu ditambah lagi dengan narasi begini, “negara ini butuh kegotong-royongan dalam membangun, butuh kerjasama semua pihak”. Ya begitulah, manis dan seolah-olah bijak.

Sik sik sik .. kalau pihak yang kalah akhirnya bergabung, bersatu dengan yang menang dalam pemerintahan, ngapain kemarin kita berjibaku, berkompetisi sampai menghalalkan pelanggaran etika dan aturan dalam ajang pilpres? Ngapain capek-capek rakyat diajak berseteru, buang-buang duit, waktu dan energi jika endingnya kayak yang sudah-sudah, adem ayem pada berbagi jabatan? Tul gak?

Pertanyaan mendasar saya selalu sama, sejauh mana sih memaknai move on atau arti move on yang terus menerus kamu minta dan utarakan wahai kaum “baterai kembung” 58%? Dengan semua kontroversi, pelanggaran etika, kerusakan demokrasi yang sudah dibuat dan berbagai kecurangan yang dibiarkan, apakah arti move on ini kita harus tutup mata dan melupakan semuanya begitu saja? Emang wajib ya hukumnya harus move on? Apa enggak lebih baik gini. kita melihat dulu, apa sih sebab musabab pihak yang dianggap tidak menang itu susah untuk move on dan memilih untuk menjadi “oposisi” terhadap pemerintahan?

Coba kita tengok sebentar ke belakang di pilpres 2014 dan 2019. Pilpres yang kala itu tidak seburuk dan sebrutal pilpres 2024 saja, kubu yang kalah juga sulit untuk move on. Alasan utama dari pihak yang kalah ternyata juga sama, adanya praktek kecurangan yang massif, sistematis, dan terstruktur. Dalih yang saya kira sampai pilpres terakhir kemarin masih sama bahwa KPU, Bawaslu dan perangkat yang menjalankan proses Pemilu gagal melakukan tugasnya dengan baik, yaitu agar “pertandingan demokrasi” bisa berjalan dengan fair, adil, dan bebas dari kecurangan. Sesuatu yang akan terus menjadi polemik di masa yang akan datang jika tidak ada perubahan dan perbaikan yang signifikan.

Coba lihat, 2014 dan 2019 saja masih banyak yang gak terima hasil pilpres, apalagi kini di pilpres tahun 2024, yang “drama”nya jauh lebih banyak dan lebih parah. Gak usah disuruh move on, biarkan saja sebagian rakyat menjadi “oposisi”. Itu sudah risiko yang muncul akibat dari penyelenggaraan pemilu yang tidak sehat dan banyak akal-akalan. Kalau memang mau pemilu yang lebih damai, minim polarisasi, lalu yang kalah diminta cepat move on, ya perbaikilah. Kalau kecurangan terus dibiarkan, bahkan diberikan dukungan dan pemakluman, ya sudah, ucapkan saja selamat tinggal kepada impian pemilu yang jurdil dan berkualitas. Sengketa pelanggaran pemilu akan terus terjadi, kian memburuk dan bakal makin menjadi-jadi.

Deklarasinya Pak Ganjar yang berkata bahwa beliau akan tetap di luar pemerintahan, dan ini “diamini” juga oleh Pak Hasto, sekjen PDI Perjuangan dengan mengatakan bahwa sikap itu adalah cerminan partai, lalu disusul oleh Pak Anies yang juga menyatakan berencana akan di luar pemerintahan sebagai pihak yang kalah, sesuai pakem katanya, nah dua kabar ini tentu menjadi poin penting yang menggembirakan bagi iklim politik di negeri ini. Ada secercah harapan bahwa demokrasi di negeri ini masih bisa diselamatkan. Ada tokoh-tokoh yang tidak silau dengan jabatan namun lebih memilih tetap menjunjung tinggi elemen dalam demokrasi bahwa sebuah negara dalam kehidupannya juga membutuhkan pihak “oposisi” sebagai penyeimbang, pihak yang bisa cek dan ricek dari setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Negeri ini jelas butuh “oposisi”, baik di parlemen maupun di pihak rakyat itu sendiri. Eksekutif yang makin ugal-ugalan jelas butuh rem, butuh kekuasaan penyeimbang supaya gak makin kebablasan. Coba lihat kembali periode kepemimpinan Jokowi. Dengan alasan merangkul pihak yang kalah waktu itu, eksekutif menjadi tak tersentuh kekuasaannya, sedangkan legislative menjadi tumpul karena tersandera politik. Anggota Dewan tidak lagi menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Alhasil, loloslah berbagai undang-undang dan kebijakan yang dinilai kontroversial dan bermasalah seperti omnibus law, proyek kereta cepat, hingga proyek jor-joran IKN. Ketika Paman Usman menyelewengkan wewenang untuk keponakannya pun, legislative bak kuburan, sepi. Memblenya kekritisan anggota dewan juga terbukti dengan mudahnya menyetujui apa-apa yang dimaui oleh pemerintah. Sebuah pengalaman pahit yang tidak boleh terulang di masa yang akan datang.

Mengapa kita perlu menyerukan gak usah move on!! Jadi oposisi saja!? Coba sekarang lihat pihak yang menang di pilpres kemarin. Makin kesini, bau-baunya sudah terlihat mulai sak karepe dewe. Belum juga dilantik, belum juga resmi menjabat, eh sudah berbuat ulah. Contoh terbaru nih, muncul wacana dan ide membuat “presidential club”, di mana mantan presiden diberikan wadah agar tetap ikut terlibat di dalam pemerintahan. Ide yang bungkusnya terlihat apik, tapi sudah tercium kok ada bau-bau post power syndrome ya dari presiden sebelumnya, yang masih ingin punya kuasa. Hmm ..

Jangan-jangan, wadah ini digunakan sebagai alat perpanjangan tangan dari seorang presiden yang ingin menjabat tiga periode namun gagal karena mendapat penolakan. 😊 Di sisi lain, “presidential club” ini sepertinya hanya akan menjadi alat legitimasi dan mencari tambahan restu untuk menggolkan agenda-agenda politik tertentu.

Ada lagi, muncul wacana jumlah pos kementrian akan ditambah dari 34 menjadi 41 kementrian. Nah lho … Terlalu banyak anggota koalisi yang perlu ditampung dan dikasih jabatan ya Pak kok sampai gak cukup? 😊 Penambahan jumlah kementrian jelas sebuah pemborosan anggaran, tidak efektif dan tidak efisien.

Kecenderungan kelakuan miring pihak eksekutif ini jelas tidak akan mudah lolos jika ada pihak-pihak yang menjadi oposisi, dalam artian oposisi yang berani bersuara berbeda, mengkritik dan meluruskan yang bengkok. Masyarakat harus diajak lebih melek politik dan berani bersuara ketika negara tidak diurus dengan benar, tidak lagi jadi pendiam ketika “disogok” bujuk rayu manisnya gula-gula bansos dan BLT.

Rakyat yang menjadi oposisi bisa menjadi senjata ampuh agar penguasa tidak lagi semena-mena memanfaatkan aji mumpung kekuasaan demi kepentingan keluarga dan kroni-kroninya. Publik tentu masih ingat bagaimana seorang paman begitu berperan mengubah jalannya pesta demokrasi di negeri ini demi keponakan. Lalu di Medan baru-baru ini terjadi lagi hal yang mirip, bagaimana seorang keponakan menunjuk dan membuka jalan kekuasaan bagi pamannya. Miris memang. Nepotisme yang berusaha diberangus sejak 98, kini justru dikembangbiakkan, dibiasakan, dipraktekkan tanpa rasa malu dan tanpa merasa bersalah.

Jadi, gak perlu lagi kan bertanya, eh kita perlu move on atau enggak? Move on? Sorry ye … kita oposisi saja ye ….

Itu saja dari saya, kurang lebihnya mohon maaf, Salam POV (Poin of View).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *