“Sukses” memaksakan Gibran menjadi pendamping Prabowo bakal diikuti oleh anggota keluarga Jokowi lainnya. Gibran yang menjadi “kelinci percobaan” dan “pilot project”-nya Jokowi ternyata tetap laku meskipun dilakukan dengan berbagai pelanggaran, manipulasi dan kontroversi. Hancurnya nama baik, penyalahgunaan alat negara, dan rusaknya tatanan hukum serta demokrasi hanya dipandang sebelah mata. Ah enggak penting, yang paling utama adalah menang dan bisa tetap lanjut berkuasa.
Kini, usai pilpres. proyek Jokowi berikutnya adalah Pilkada yang sudah ada di depan mata. Kaesang, Bobby, hingga Erina kabarnya mulai digadang-gadang menjadi calon pemimpin daerah. Menarik untuk ditunggu, akankah proyek yang “menghidupkan kembali” praktek Nepotisme di pilpres kemarin berlanjut sukses juga di pilkada 2024 ini? Lalu, masih ampuhkah nama Jokowi dan Gibran jika dibawa-bawa ke dalam pemilihan kepala daerah nanti?
Perhelatan pilpres 2024 kemarin tentu menjadi catatan tersendiri baik untuk partai-partai dan koalisinya, maupun ketua umum partainya. Nama Jokowi di luar dugaan masih cukup laris untuk dijual karena masih ada sebagian rakyat yang jadi penggemar fanatiknya. Masih ada kepercayaan dari sebagian masyarakat yang merasa baru bisa menikmati pembangunan massif di masa Presiden Jokowi. Mereka yang masih terbius pencitraan Jokowi mungkin memang tak akan ambil pusing dengan hutang negara yang semakin menggunung, hukum yang dipermainkan, dan tatanan demokrasi yang amburadul.
Di sinilah memang kelicikan Jokowi. Rakyat dibuai dengan pembangunan yang jor-joran, bansos BLT yang melimpah, dan bayang-bayang citra merakyat yang sudah dibangunnya sejak dulu zaman walikota. Tak mudah untuk meruntuhkan “bangunan” tersebut yang sudah dipoles selama bertahun-tahun. Mungkin mereka fans Jokowi ini baru akan sadar ketika harga-harga melambung dan ekonomi negara terpuruk karena hutang yang ugal-ugalan. Mungkin baru bisa ngeh ketika sudah merasakan, merasakan penderitaan, kesulitan seperti di keadaan yang sama saat era reformasi di tahun 98.
Kembali ke urusan pilkada. Saya melihat partai-partai akan mencoba mengulang pola yang sama yang terjadi di pilpres kemarin. Nama Jokowi dan kini ditambah anaknya Gibran akan dijadikan “bahan jualan”. Bodo amat sama nepotisme, peduli setan dengan penilaian miring politik dinasti. Partai akan ramai-ramai cari aman dengan mendompleng penguasa. Bukankah yang penting adalah menang dan bisa berkuasa? Toh kalau sudah menang, rakyat juga akan cepat lupa. Usai pilkada, masyarakat akan kembali sibuk dengan kehidupannya.
Seperti yang sudah sudah, lambat laun pemimpin yang terpilih akan diterima dan dimaklumi apalagi jika bisa segera membuat sensasi dan dicitrakan “berprestasi”. Pelanggaran etika yang kemarin, aturan hukum yang ditabrak tempo hari, ah sudah lupa tuh. MKMK, makhluk apa itu? Sedih memang, tapi begitulah jeleknya warga negara Konoha, pemaaf dan suka cepat lupa.
Menyeruaknya anggota keluarga Jokowi yang bakal dijagokan partai-partai dalam pilkada mendatang antara lain Bobby Nasution sebagai cagub Sumatera Utara. Ada partai Golkar dan PAN yang sudah memberikan statement dukungan ke sana. Sinyal bahwa Bobby bakal maju di Pilgub Sumut juga terekam jelas, apalagi setelah Bobby mendapat label tokoh nasional baru-baru ini. Lalu berikutnya ada Kaesang, ketua umum PSI ini diisukan bakal menjadi cagub Jawa Tengah, DKI atau Walikota Solo. Dan yang terakhir adalah Erina Gudono, istri Kaesang, yang isunya sudah mulai diwacanakan menjadi calon bupati Sleman.
Ckckck .. udah kayak kacang goreng aja ini anak-anak Jokowi dan menantunya, laku semua. Tapi kesannya kok jadi aji mumpung ya hmm. Mumpung Jokowi masih sebagai Presiden, masih punya power untuk bantu “jualan”, masih punya kuasa untuk mensupport. Ya kayak si Gibran kemarin to ya, full didukung penuh dengan segala daya upaya hingga akhirnya diprotes oleh banyak kalangan. Bakal adanya dukungan Jokowi di pilkada nanti justru akan semakin membenarkan guyonan yang sempat viral bebrapa waktu yang lalu, “cari kerjaan sekarang memang susah, sampai-sampai seorang Presiden mencarikan pekerjaan buat anaknya, dan kini akan ditambah juga menantunya”. 😊
Sekali lagi, mendorong maju anak-anak Jokowi dan menantunya, bagi partai-partai pengusung, mereka tak peduli, mau ini nepotisme, mau ini disebut politik dinasti, oligarki, bukan di situ poinnya. Yang menjadi tujuan akhir adalah besarnya peluang untuk menang. Namun di sisi yang lain, aksi mengusung keluarga Jokowi ini terlihat berbeda di mata tokoh politik nasional. Faktor bisa maju via orang dalam, nepotisme, ini jelas buruk bagi karir politik mereka. Seperti waktu di pilpres kemarin, seharusnya yang terjadi adalah pertarungan antar generasinya Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan dan Gubernur berpengalaman lainnya. Tapi, akibat ulah Jokowi, Gibran dan Pamannya, “regenerasi” kepemimpinan tersebut akhirnya diserobot dan dilewati.
Pilpres yang seharusnya lebih berkualitas dengan menghadirkan calon pemimpin dari tokoh-tokoh yang segar, trek record karir politik yang bertahap dan punya kinerja mumpuni, punya kompetensi, justru diambil alih oleh anak muda yang minim pengalaman, yang bisa maju hanya karena dia anak Presiden dan punya Paman di MK. Coba bayangkan jika itu masih berlanjut di ajang pilkada nanti. Calon pemimpin yang lebih layak akan kalah dan digeser oleh calon yang bisa ikut pilkada karena campur tangan lagi-lagi oleh ordal, kekuatan wong njero dan modal.
Keberlanjutan pilot project Gibran ke anggota keluarga Jokowi lainnya, bagi masyarakat yang melek hukum dan politik, ini jelas dianggap suatu kemunduran demokrasi. Praktek Nepotisme yang sejak tahun 1998 diupayakan, diperjuangkan bisa hilang dari negeri ini, justru kini makin menjamur dan dibiarkan berkembang lagi. Contoh buruk dinasti ratu Atut di Banten kini bisa saja menjadi lebih buruk yang berpotensi terjadi di level yang lebih tinggi dan meluas. Kalau dinasti keluarga ratu Atut berkuasa hanya di Banten dan seputarannya, kini praktek yang mirip bakal terjadi dari level wakil presiden, gubernur dan bupati/walikota. Mengerikan bukan? Bayangkan di setiap level kekuasaan ada anggota keluarga Jokowi yang memerintah dan mereka saling support. Mau jadi apa negeri ini kedepannya? Republik rasa keluarga?
Sebelum hal negatif itu terjadi, sebelum hal yang lebih busuk itu datang, masyarakat harusnya bisa dididik, disadarkan agar lebih melek dalam berpolitik. Praktik pencitraan palsu dari para pejabat sudah saatnya dibongkar. Role model pejabat yang hanya gemar blusukan tapi tidak kompeten wajib disetop. Petinggi negara yang hanya hobi berbagi bansos dan BLT demi mendapat simpati sudah waktunya diakhiri. Wajah buruk kejahatan nepotisme yang kembali menggurita harus terus digaungkan untuk diberantas. Jangan sampai kita, kamu dan saya lagi-lagi hanya diajak joget-joget biar happy sambil sesekali bilang oke gas oke gas, sementara keadaan negara semakin tidak jelas.😊
Itu saja dari saya, kurang lebihnya mohon maaf, Salam POV (Poin of View).