Dr. Radjiman, Bapak Bangsa yang “Dipaksa” Untuk Dilupakan

Bagi saya, ada dua tokoh Kejawen paling otentik, seorang local-jenius, tetapi memiliki reputasi pergaulan global. Pertama, sudah sering saya tulis adalah Sosrokartono, kakak dari RA Kartini. Kedua, adalah Radjiman. Tentu saya merasa lebih dekat dengan nama kedua, karena ia dilahirkan dan dimakamkan di kota saya. Keduanya punya kemiripan karakter sebagaimana umumnya penganut Kejawen sebagai figur yang tenang, sederhana, dan jauh dari ambisi. Namun demikian sesungguhnya keduanya saling bertolak belakang.

Sosrokartono, sekalipun seorang priyayi, ia sangat abai dan membuang jauh gelarnya itu. Ia sangat egaliter, karena lingkungan pergaulan dan luas lingkup pergerakannya di ranah global. Ia menguasai 35 bahasa, pernah menjadi penterjemah tatkala Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Sedemikian cerdasnya hingga ia dijuluki “Pangeran Jenius dari Timur”. Walau kemudian saat kembali ke tanah airnya, ia kembali menjadi asketis menjadi seorang penyembuh sekaligus tempat di mana banyak tokoh bangsa datang untuk meminta nasihat.

Sebaliknya, Radjiman, walau kemudian dianugerahi gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) sesungguhnya justru berasal dari keluarga biasa, kalau tidak malah dikatakan sangat miskin. Konon, ia mulai bersekolah hanya dengan mengikuti pelajaran dari balik jendela saat mengantar dan menemani “anak ndoro”-nya pergi ke sekolah. Seorang guru Belanda yang baik hati, kemudian memberinya kesempatan belajar di kelas dengan duduk di bangku paling belakang.

Tak nyana, ia adalah seorang murid yang bukan saja pandai tapi sangat cerdas. Ia sempat beberapa kali lompat kelas, dari tingkat dasar, menengah, hingga pada usia 20 tahun ia sudah berhasil meraih gelar dokter. Bahkan telah memperoleh gelar Master of Art pada usia 24 tahun. Bukan dari STOVIA Batavia tempat ia bermula, tapi sebagai mahasiswa yang mendapat beasiswa untuk belajar di Negeri Belanda. Berdasarkan nukilan Harry Poeze dalam buku “Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Penjajah 1600-1950” pada Oktober 1909 Radjiman tiba di Negeri Belanda.

Dia melanjutkan pendidikan sebagai dokter dengan tujuan awal akan mengkhitan putra-putra Susuhunan Keraton Solo. Radjiman lulus dengan hasil cemerlang dan bergelar Arts. Dengan demikian kedudukannya setaraf dengan para dokter lulusan Universitas bangsa Belanda. Suatu hal yang waktu itu tidak mudah dicapai oleh seorang anak pribumi, dimana ia harus cerdas dan sungguh-sungguh dalam belajar.

Radjiman juga menjadi orang Indonesia kedua, setelah WK Tehupeiory yang berceramah di Indisch Genootschap (Indies Institute) pada Februari 1911. Dalam ceramahnya, dia memberikan jawaban atas pertanyaan apakah orang Jawa dapat menerima pencerahan lebih lanjut. Pidato Radjiman, yang dilengkapi cuplikan dari buku-buku psikologi, dapat diterima dengan penuh pujian. Selain di Belanda, Radjiman memperdalam keahliannya di Berlin dan Paris hingga akhirnya menjadi dokter ahli bedah, ahli ilmu bersalin, dan ahli penyakit kandungan.

Pilihannya menekuni bidang kedokteran tak lepas dari pengaruh pamannya, yang tak kalah merakyat yaitu Dr. Wahidin Sudirohusodo. Seorang pahlawan kebangkitan nasional yang juga membawanya terlibat dalam organisasi hiper-nasionalis Boedi Oetomo. Di organisasi inilah, Radjiman muda memperoleh tempaan kepekaan sosial dan kecerdasan berpolitik. Ia adalah tokoh yang sangat visioner dan berani memiliki sikap yang tegas sejak dari muda. Salah satu sikapnya yang tak banyak orang tahu adalah “permusuhan”-nya dengan Agus Salim yang saat itu menjadi tokoh Sarikat Islam.

Sebagai seorang peminat theosofi (istilah lain bagi intelektual untuk menyebut mereka yang beraliran Kejawen), ia sudah melontarkan gagasan tegas untuk menolak usulan agar ajaran Islam dimasukkan dalam Boedi Oetomo. Argumentasinya adalah (sebagaimana dikatakannya): “Jika mengikuti hukum Islam secara konsekuen, maka seni pahat, seni patung, seni sastra Jawa akan lenyap. Demikian pula nasib adat istiadat Jawa”. Hal tersebut dikatakannya pada Kongres Boedi Oetomo pada 5-6 Juli 1917.

Artinya apa yang hari-hari ini terjadi, dimana hegemoni asing yang berwujud dari salah satu agama sesungguhnya bukanlah hal baru. Hal tersebut telah terjadi sejak lebih dari 100 tahun yang lalu.

Sebagai seorang jenius, ia juga terlibat dalam organisasi tertutup yang belakangan dianggap terlarang yaitu Freemansory. Ia menjadi satu-satunya Mason berkebangsaan Jawa yang tulisannya dimuat dalam Gedenkboek der Vrijmetselarij in Nederlandsche Indie 1767-1917 (Buku Kenang-Kenangan Freemasonry di Hindia Belanda 1767-1917) yang diterbitkan di Semarang pada 1917. Dalam buku tebal yang menjadi bukti tak terbantahkan tentang keberadaan Freemasonry di negeri ini, Radjiman menulis sebuah artikel berjudul, ”Een Broderketen der Volken” (Persaudaraan Rakyat).

Kedudukannya tersebutlah, yang memungkinkannya memiliki posisi strategis dan dipercaya oleh banyak pihak. Walau pernah menjadi dokter pemerintah kolonial, kemudian ia memilih di jalur kerakyatan untuk menjadi dokter desa di Ngawi. Sebuah posisi unik, yang justru membuatnya menjadi ditarik dalam lingkaran kekuasaan di Kraton Surakarta. Dengan reputasinya sebagai “lulusan manca”, ia dipercaya sebagai penguhubung dengan pemerintah kolonial maupun banyak negara asing lainnya. Hubungan baik inilah, yang kemudian justru membuat Surakarta lambat menyatakan dirinya ikut dalam proses “pemerdekaan Indonesia”.

Ia kemudian dipercaya untuk menjadi Ketua BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Pada tanggal 29 Mei, ia mengajukan pertanyaan “apa dasar negara Indonesia jika kelak merdeka?.” Pertanyaan ini dijawab oleh Bung Karno dengan Pancasila. Jawaban dan uraian Bung Karno tentang Pancasila sebagai dasar negara Indonesia ini kemudian ditulis oleh Radjiman selaku ketua BPUPKI dalam sebuah pengantar penerbitan buku Pancasila yang pertama tahun 1948 di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi.

Catatan ini baru terbongkar bertahun-tahun kemudian, dan menjadi salah satu bukti otentik dalam sejarah Indonesia yang memaparkan fakta bahwa Soekarno adalah Bapak Bangsa pencetus Pancasila.
Ia jugalah yang mengetuk palu penetapan Pancasila sebagai Dasar Negara RI, bahkan ia pula yang mencegah dijadikannya Piagam Jakarta yang mencantumkan 7 patah kata, yang berpotensi menjadikan Pancasila “miring” ke sebuah agama mayoritas.

Pertarungan ini, sesungguhnya bila dilacak lebih jauh sangat naif dan lucu, karena merupakan pertarungan sesama orang Jogjakarta. Ki Bagoes Hadikoesoemo di satu sisi dan Dr. Radjiman di sisi lain. Sebuah pertarungan klasik antara “cah lor rel” lawan “wong kidul rel”. Pertarungan mahzab Utara-Selatan yang abadi hingga hari ini dalam pergulatan pemikiran dan perebutan pengaruh di kota ini.

Belakangan, terungkap bahwa kebesaran organisasi agama yang berwatak sosial Muhammadiyah tak lepas dari dukungan internal Kraton Yogyakarta. Sementara tokoh2 pergerakan dan perlawanan, ditengarai berasal dari tiga kelompok: Pertama, tokoh2 yang dibesarkan di Belanda yang berasal dari Pura Pakualaman; Kedua ditengarai bagian dari pengaruh kaum Fremansory yang pada saat itu dianggap “tidak bertuhan”. Dan ketiga adalah gololongan sosial dan komunis yang memang menjadi motor paling keras melakukan perlawanan terhadap praktek kolonisasi.

Pada tanggal 10 Agustus di tahun 1945, Dr. Radjiman mengantar (bukan sekedar mendampingi!) Soekarno dan Hatta melawat ke Saigon, Vietnam. Untuk menemui Jendral Terauchi di Dalat. Peristiwa ini menjadi sangat penting. Karena, pemerintah pendudukan Jepang kemudian merestui kemerdekaan Indonesia yang direncanakan akan dilakukan pada 24 Agustus 1945. Tapi akibat peristiwa penculikan oleh para pemuda di Rengasdengklok itu, kemudian dipercepat pada tanggal 17 Agustus. Menjelaskan bahwa dari dulu sifat bangsa ini memang selalu grusa-grusu terburu2, tidak taktis, dan hobby memaksakan kehendak.

Setelah mengantarkan ke gerbang kemerdekaan, Dr. Radjiman seolah dilupakan sebagai salah satu Bapak Bangsa. Ia kembali menjadi dokter di mana semula ia berpraktek. Ia seolah disingkirkan, karena watak Kejawen-nya dan keanggotaannya sebagai seorang freemanson. Memang sempat beberapa kali menduduki jabatan lembaga negara, tapi ia selalu dicurigai karena “pikiran bebas”-nya. Sukarno sendiri baru membubarkan Fremanson pada tahun 1962, jauh hari setelah Radjiman meninggal. Sebelum akhirnya dipulihkan lagi oleh Gus Dur saat ia menjabat sebagai presiden.

Dr. Radjiman meninggal pada usia 73 tahun di tahun 1952. Ia wafat di satu-satunya rumah yang dimilikinya di Widodaren, Ngawi. Rumah yang oleh masyarakat setempat dikenal sebagai toponim “Kanjengan”, merujuk gelar keningratannya yang diperoleh dari Kraton Surakarta. Sebagaimana seorang Kejawen, ia meninggal di usia sepuh. Lalu kemudian dimakamkan di kampung kelahirannya di Desa Mlati, Sleman. Bersebelahan dengan pamannya Dr. Wahidin Sudirohusodo.

Sebelum ia meninggal, ia mencetuskan ide untuk lebih memberi perhatian pada manusia lanjut usia. Di usia tuanya, ia masih tercatat sebagai Anggota DPR yang aktif bolak-balik Ngawi-Jakarta. Usulannya tersebut disampaikan kepada Sukarno saat ia menjenguk ke rumahnya di Ngawi. Usulan tersebut, kemudian baru diterima oleh “Kejawen yang Lainnya” yaitu Suharto, pada tahun 1996. Berarti harus menunggu 44 tahun sejak gagasan itu pertama dilontarkan. Dan tanggal yang dipilih adalah 29 Mei sebagai tanggal ia memimpin Sidang Hari Pertama BPUPKI.

Radjiman adalah adalah sebuah ironi besar negeri ini, ia adalah seorang yang jenius dengan pergaulan “ke atas ke bawah” yang seimbang dan egaliter. Ia memiliki reputasi internasional, tetapi sekaligus tak malu kembali ke habitat aslinya di tengah rakyat jelata. Ia tak silau dengan Batavia, kota yang ikut membesarkannya. Ia tetap memiliki ikatan kuat dengan wong cilik yang membuatnya punya peran nyata yang lebih berarti. Hingga akhir hayatnya ia lebih bangga menyebut dirinya sebagai “Dokter Desa”.

Ia adalah potret “figur triple sial” yang akut di negeri ini. Sebagai seorang freemanson, kejawen, dan bersahaja. Sebagai seorang Bapak Bangsa ia baru ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional dengan sangat terlambat. Baru pada 6 November 2013, ia baru beroleh pengakuan setelah demikian lama dinggap bahaya laten. Atau sebaliknya, kurang keren untuk ukuran ibukota yang selalu butuh hal2 yang wah. Entahlah….

Demikianlah nasib seorang Kejawen sejati: seorang yang memiliki kepercayaan diri tinggi, tapi dengan kerendahan hati yang tak bertepi….
.
.
.
NB: Sepulang dari Belanda pada pertengahan 1911, Radjiman menjadi dokter Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang pertama di Solo. Pengabdiannya sebagai dokter Keraton Surakarta membuat Pakubuwono X memberikan gelar Wedyodiningrat, yang berdampak telah mengangkat strata psikis sosial bagi Radjiman sehingga naik ke teras lingkungan istana. Sekaligus memberi ruang pergaulan luas bagi kerabat Kraton Surakarta dalam lingkungan pergaulan “kaum pegerakan”. Sebuah jalan panjang yang mengintegrasikan tradisionalisme Jawa ke dalam nasionalisme Indonesia.

Namanya kemudian diabadikan sebagai jalan tertua di Kota Sala, sebuah jalan yang membentang dari depan Pasar Klewer hingga ke arah Barat sepanjang 12 km. Jalan inilah yang dulu dipakai Raja Pakubuwono II melakukan boyongan dari Keraton Kartasura yang hancur menuju Desa Sala yang kemudian disebut sebagai Surakarta Hadiningrat. Tak banyak yang tahu, sebelum dinamakan demikian dahulu nama jalan ini adalah Baronweg.

Sejajar dengan jalan yang saat ini lebih populer yaitu Jl. Slamet Riyadie (dulu disebut Purwosarieweg). Nama terakhir ini, sesungguhnya adalah sebuah sungai yang diuruk, untuk memberi akses ke arah Kartasura bagi Benteng Vastenburg. Dimana diatasnya kemudian dibangun jalur pertama Kereta yang semula ditarik kuda di bawah pengelolaan Solosche Tramweg Maatschappij (SoTM).

Ketulusan pengabdiannya terlihat dimana, walau ia terus berkarya hingga penghujung usianya. Sebagai bapak bangsa ia baru dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, stelah 68 tahun Indonesia merdeka. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya di Istana Negara, Jakarta pada 8 November 2013.

Mengingatkan pesan mulia dari Dr. Radiman: “jangan pernah meminta sesuatu dari negerimu, tapi jika negara membutuhkan sesuatu: berikanlah!”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *