Kembali bicara tentang hal-hal pertama di Kota Solo, kita tak bisa melupakan kepeloporan Solo dalam penerbitan surat kabar. Kota Solo menjadi kota pertama yang memunculkan koran lokal modern. Pada 29 Maret 1855, terbit surat kabar Bromartani yang berbahasa krama inggil dan beraksara Jawa. Surat kabar ini ditopang oleh Pakubuwana VII dan berisikan berita-berita, ilmu alam, pengumuman pemerintahan, pertanian, cerita, jadwal kereta api, dan kejadian-kejadian mancanegara. Adanya surat kabar Bromartani ini kemudian memicu penerbitan surat kabar dan buku-buku berbahasa selain Belanda setelahnya.
Koran berbahasa Melayu pertama di Solo adalah Sarotomo milik Sarekat Islam (SI) yang terbit di tahun 1914. Menyusul setelah itu surat kabar lain Doenia Bergerak dan Islam Bergerak. Hingga kemudian, Solo menjadi kota yang memunculkan koran Islam modern, yakni Medan Moeslimin.
Yang menarik, surat kabar saat itu memiliki dua bentuk. Ada koran biasa yang memuat berita seperti pada umumnya. Adapula yang berbentuk sebagai koran opini. Jauh sebelum era media sosial, ternyata sudah pernah ada media cetak yang memang khusus beropini sebagaimana kita di era internet ini. Koran-koran opini itu menyuarakan identitas kelompok dan mengkritisi pemerintah kolonial dengan nama anonim.
Mengingat sejarah panjang surat kabar di Solo, tidak mengherankan bila Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dibentuk di Solo pada 9 Februari 1946. Tanggal 9 Februari itu kelak ditetapkan sebagai Hari Pers Nasional. Bangunan tempat lahirnya PWI kemudian dijadikan Monumen Pers Nasional.
Dibangun sekitar tahun 1918 atas perintah Mangkunegara VII, Monumen Pers Nasional, sebelumnya adalah balai pertemuan bernama ‘Societeit Sasana Soeka’. Daerah sekitar balai itu kemudian disebut Ngesus oleh masyarakat. Societeit Sasana Soeka pun menjadi saksi sejarah kepeloporan Solo untuk hal lain, pendirian radio pribumi pertama.
Pada tahun 1933, Insinyur Sarsito Mangunkusumo dan sejumlah insinyur lainnya bertemu di gedung ini dan merintis Solosche Radio Vereeniging (SRV), radio pertama yang dioperasikan pribumi Indonesia. Berawal dari ketertarikan Mangkunegara VII pada teknologi radio. Pada masa itu radio yang mengudara pertama di Tanah Air bukanlah radio Indonesia, melainkan radio milik Belanda. Radio-radio Belanda itu membuat Mangkunegara VII ingin melawan budaya asing yang makin kuat masuk ke Indonesia. Ia mengawalinya dengan memproduksi lagu-lagu tradisional dengan format piringan hitam bermerek Columbia GLX.
Ternyata, produksi piringan hitam tidak maksimal karena durasi piringan hitam hanya sebentar. Sementara lagu tradisional Jawa yang banyak menggunakan gamelan bisa memakan waktu berjam-jam. Mangkunegara VII melirik radio sebagai senjata melawan budaya asing. Ia merintis stasiun radio dengan membeli pemancar tua milik Djocjchasche Radio Vereeniging, radio swasta milik Belanda di Yogyakarta.
Pemancar itu diberikan pada sebuah perkumpulan seni bernama Javansche Kuntskring Mardiraras Mangkunegaran. Perkumpulan itu menyiarkan lagu-lagu Jawa yang dimainkan dengan gamelan dengan call sign PK2MN. PK adalah kode radio amatir Jawa Tengah dan MN adalah kode Mangkunegaran. Karena teknologi semakin berkembang, pemancar itu semakin buruk kualitasnya. Mangkunegara VII berencana membeli pemancar baru.
Mangkunegoro VII kemudian menunjuk Sarsito sebagai pimpinan proyek pengadaan pemancar baru. Saat itu juga, Sarsito melibatkan masyarakat luas untuk proyek ini. Pada tanggal 1 April, diselenggarakan rapat pengadaan pemancar baru di Gedung Societeit Sasana Soeka. Pada rapat itu Sarsito mengatakan pendirian pemancar baru yang modern akan sangat penting bagi martabat bangsa. Lewat pemancar baru nanti akan dilestarikan dan dikumandangkan kesenian Nusantara.
Gagasan itu disambut antusias. Kesepakatan dicapai bukan hanya tentang pembelian pemancar baru. Hasil rapat itu juga menyepakati pendirian lembaga penyiaran baru yang diberi nama Solosche Radio Vereeniging (SRV) dan Sarsito didapuk sebagai ketua SRV. Pemancar itu tiba di Solo pada 5 Januari 1934 dan siaran pertama SRV dengan jangkauan luas terjadi pada hari itu juga.
Sejak itu SRV selalu tampil dalam siaran dengan konten budaya Jawa. Yang paling fenomenal tentu saja saat Gusti Nurul, putri Mangkunegara VII, menari Bedhaya Srimpi di Istana Noordeinde, Belanda, dengan iringan gamelan yang disiarkan langsung dari Solo pada 28 Desember 1936. Gusti Nurul juga yang meresmikan Gedung SRV baru pada 29 Agustus 1936. Di gedung SRV baru itu kelak menjadi gedung Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta.
Bicara kepeloporan Solo dan hal-hal yang pertama, tentu kita tak bisa melupakan Studio Rekaman Lokananta, pabrik piringan hitam yang diresmikan Ir.Soekarno pada 29 Oktober 1956. Nama Lokananta berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti ‘gamelan dari khayangan bersuara merdu’.
Piringan hitam produksi Lokananta digunakan untuk mensuplai materi siaran RRI di seluruh Indonesia. Lokananta kemudian berkembang menjadi perusahaan rekaman yang merilis rekaman untuk konsumsi masyarakat umum. Lokananta juga memiliki sistem rekaman kelas dunia, termasuk speaker JBL yang hanya satu-satunya di dunia. Selain itu ada pula mixer yang hanya dimiliki oleh Studio Lokananta dan Studio BBC di Inggris. Karena keberadaan sistem kelas dunia itu, kualitas rekaman di Lokananta bisa dikatakan setara Studio Abbey Road di London.
Yang menarik tentu saja bila membahas perkembangan seni pertunjukan di Solo. Kehadiran listrik berdampak sangat besar terhadap maraknya seni pertunjukan di Solo. Terutama dengan kehadiran Taman Hiburan Sriwedari. Kesenian lokal, terutama Wayang Orang, berkembang pesat dengan hadirnya Taman Hiburan Sriwedari ini. Menariknya, meski berada di wilayah Kasunanan, keberadaan Wayang Orang Sriwedari tak bisa lepas tanpa peran serta Mangkunegaran. Mengapa?
Awal mula wayang orang di Mangkunegaran muncul pada masa Mangkunegara I yang dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa. Mangkunegara I menciptakan wayang orang untuk memotivasi dan membangkitkan jiwa patriotisme rakyatnya. Wayang berkembang pesat pada masa Mangkunegara IV (1853-1881), bersamaan dengan munculnya Langendriyan yang digunakan sebagai pertunjukan sakral di istana. Wayang orang Mangkunegaran mengalami masa kejayaan pada masa Mangkunegara V (1881-1896).
Ketika pertama kali dipentaskan pada tahun 1760, wayang orang hanya dinikmati oleh keluarga istana, kerabat Mangkunegaran dan para punggawa. Di masa Mangkunegara V, wayang orang Mangkunegaran mengalami perkembangan dalam hal busana, pemain dan lakon-lakon yang dimainkan. Perubahan busana ini, memberi kemudahan bagi penonton untuk membedakan antara tokoh yang satu dengan tokoh lainnya.
Pada masa Mangkunegara V pula terjadi perubahan fungsi pementasan wayang orang yang semula memiliki fungsi sakral menjadi fungsi hiburan, sehingga memiliki unsur yang memikat daya tarik penonton. Wayang orang pun mulai menampilkan pemain perempuan dalam wayang orang. Pemain perempuan yang dikenal memiliki sifat halus, luwes, lebih romantis sehingga mampu mengekspresikan diri sesuai dengan tokoh yang diperankan.
Tampilnya penari perempuan merupakan terobosan baru, karena di daerah lain belum ada. Mangkunegara V sangat menghargai peran perempuan. Pandangannya juga mendukung kesetaraan perempuan. Perubahan Wayang Orang juga terjadi pada penciptaan naskah lakon carangan, yaitu lakon wayang yang keluar dari jalur pakem. Pementasan wayang orang pun mulai dapat dinikmati terbuka untuk umum.
Namun, perubahan paling penting terjadi pada akhir abad ke-19. Ketika Pura Mangkunegaran tak punya cukup dana akibat krisis ekonomi, lahirlah wayang orang panggung yang dipelopori Gan Kam, pengusaha keturunan Tionghoa. Gan Kam, atas izin Sri Mangkunegara V pada 1895, mengemas wayang orang menjadi pertunjukan komersial.
Tata panggungnya wayang orang komersial ini mirip opera Tiongkok atau opera Italia. Di Pendopo Istana penonton berada di keempat sisi, sedang penonton pada pertunjukan komersial ini hanya berada dari sisi depan penari. Akibatnya gerakan penari tidak lagi harus diulang ke segala penjuru, melainkan sekali saja.
Gan Kam pun merekrut mantan pemain wayang orang dari Kraton Mangkunegaran menjadi grup pementasan dan menarik bayaran dari para penontonya. Pertunjukan wayang orang gagasan Gan Kam ini pun semakin memasyarakat. Hingga akhirnya di tahun 1895, Pakubuwono X memberikan ‘Kebon Rojo‘ atau Taman Hiburan Sriwedari sebagai tempat pertunjukan wayang orang. Sambutan yang hangat atas hadirnya wayang orang ini akhirnya membuat para seniman membentuk berbagai kelompok wayang. Bahkan, pertunjukan wayang orang ini berhasil memunculkan beberapa bintang panggung seperti Rusman, Darsi, Soerono. Bisa dibilang Wayang Orang Sriwedari ini adalah pelopor seni pertunjukan komersial.
Kehadiran pertunjukan Wayang Orang ini pula menjadi pemicu Solo menjadi kota yang ramai selama 24 jam. Bahkan di tengah malam dan dini hari pun dapat dengan mudah ditemukan pedagang-pedagang makanan dan minuman karena memang penduduk Solo masih banyak yang aktif.
Masih ada beberapa hal-hal pertama lagi yang muncul dari Kota Solo yang akan kita ulas pada episode berikutnya. Simak terus ya..
Vika Klaretha Dyahsasanti