Hal-hal yang pertama dari Solo (3): Soos, Pendidikan, Pekan Olahraga dan Revolusi Mental

Modernisasi pelan-pelan menjelmakan kota Solo menjadi kota modern pada awal abad 20. Tiga poros kekuatan besar yang ada di Solo yaitu Kasunanan, Mangkunegaran, dan pemerintah Kolonial Belanda saling berlomba-lomba untuk membangun kota Solo. Mulai dari transportasi. Ada empat stasiun dan satu jalur trem membelah kota sepanjang Poerwosariweg. Membuat Solo menjadi kota yang ramai. Tak hanya di siang hari tetapi juga di kala malam.

Aktivitas di malam hari tak hanya diramaikan oleh pertunjukan wayang yang digemari warga pribumi. Orang-orang Eropa yang tinggal di Surakarta ternyata juga membawa berbagai bentuk kesenian. Bernyanyi, menari, atau menonton film di bioskop. Di tahun 1914, pertunjukan bioskop sudah menjadi tontonan umum di Solo.

Muncul pula beberapa societeit (soos) di kota Surakarta, antara lain: Societeit Harmonie, Societeit Abipraya, dan Societeit Sasana Soeka. Soos menjadi tempat berkumpul, dansa, sekaligus juga bersantap di restoran dengan menu rijstafel yang populer saat itu. Societeit juga dilengkapi dengan tempat bilyar atau sering disebut dengan kamer balen. Sering pula diadakan konser musik-musik klasik dan juga pertunjukkan drama, seperti toneel, komedie stamboel, dan tableau.

Kata Societeit dalam bahasa Belanda berarti masyarakat. Sesuai dengan arti katanya, Societeit menjadi pusat berkumpulnya masyarakat. Societeit di Kota Solo terus berkembang hingga fungsinya tak lagi sebagai sarana hiburan, namun juga pusat edukasi dan diskusi masyarakat. Sayang bangunan yang masih tersisa hingga hari ini hanya Societeit Sasana Soeka yang kini menjadi Monumen Pers.

Societeit Sasana Soeka dibangun pada 1918 atas prakarsa Mangkunegara VII. Gedung yang dirancang Mas Aboekasan Atmodirono dengan tujuan utama memberikan tempat hiburan kepada rakyat karena hiburan di dalam keraton tidak bisa digunakan dengan mudah oleh masyarakat umum.

Pada 1874 dibangun gedung hiburan bernama Societeit Harmonie di timur Benteng Vastenburg dan di selatan Kali Pepe. Societeit ini semula hanya terbuka untuk orang Eropa. Seiring berjalannya waktu, Societeit Harmonie terbuka untuk bangsawan pribumi.

Setelah Societeit Harmonie dibangun, Kraton Kasunanan membangun Societeit Abipraya atau Societeit Habiprojo. Pada mulanya, Abipraya adalah organisasi priyayi di Solo. Karena membutuhkan ruang pertemuan, Pakubuwono X memerintahkan pendirian gedung pertemuan di utara Singosaren pada 1910. Gedung ini juga digunakan untuk perkumpulan organisasi sosial dan partai politik . Pada 23 Desember 1933, para jurnalis membentuk Persatoean Djoernalis Indonesia (Perdi) di gedung ini. Dokter Soetomo mendeklarasikan Partai Indonesia Raya (Parindra) di gedung ini juga.

Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwono X memberikan kebebasan berorganisasi dan penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI), salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta (1938) pun diadakan pada masa pemerintahannya.

Bila Pakubuwono X mendukung pendirian SDI, Mangkunegara VII adalah tokoh di dalam organisasi pergerakan nasional Boedi Oetomo dan penasihat di organisasi pelajar Jong Java. Ia banyak berkontribusi terhadap kelangsungan kebudayaan Jawa dan gerakan kebangkitan nasional Indonesia.

Boedi Utomo sendiri berkembang pesat di Solo dengan anggota yang mayoritas kaum priyayi. Kondisi ini tak lepas dari peran Mangkunegara VII yang waktu itu masih bernama RMH. Soerjosoeparto. Namun pada tahun 1916, Hadiwijaya salah seorang putra Paku Buwono X diangkat menjadi ketua Cabang Surakarta. Keanggotaan Boedi Oetomo tak lagi hanya berafilisiasi ke Mangkunegaran, melainkan semua kaum priyayi. Di Solo, Boedi Utomo kemudian  mendirikan standard school di Loemboeng Wetan dan Timuran.

Pakubuwana X sendiri kemudian banyak berperan bidang pendidikan. Ia mewujudkan sekolah sendiri yang diberi nama HIS Kasatriyan pada 1 November 1910, disusul dengan pendirian Froberschool Pamardi Putri (yang kemudian menjadi Pamardi Siwi) dan HIS Pamardi Putri. Pakubuwono X juga mendirikan rijksstudiefond, sebuah lembaga yang memberi beasiswa bagi santana dan abdi dalem.

Meski terkenal sebagai kota dengan budaya Jawa yang kuat, mungkin tak ada yang mengira bila sekolah Islam modern justru didirikan pertama kali di Solo. Kasunanan mendirikan Madrasah Mambaul Ulum pada tanggal 23 Juli 1905. Maksud pendirian sekolah ini untuk membentuk kader-kader ulama dan calon tenaga penghulu Landraad dan Raad Agama, serta pengelola masjid atau langgar di wilayah Kasunanan yang telah meninggal. Keberadaan Mambaul Ulum ini, pada akhirnya tidak hanya sekedar menjadi madrasah pencetak para penghulu ataupun pengelola masjid semata. Dari sana lahir tokoh-tokoh besar muslim Indonesia, antara lain KH Moh Adnan, KH Saifuddin Zuhri, Munawir Sadzali, KH Imam Zarkasyi, dan Prof Dr Baiquni (Bapak Atom/Nuklir Indonesia). Bila Kasunanan mendirikan Mambaul Ulum, sekolah Muhammadiyah pertama di Solo dibangun di Mangkunegaran.

Tak hanya itu, museum pertama Indonesia juga berada di Solo. Museum Radya Pustaka didirikan pada tanggal 28 Oktober 1890 di masa pemerintahan Pakubuwono IX. Didirikan di Ndalem Kepatihan oleh Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat IV, seorang patih pada masa pemerintahan Pakubuwono IX dan Pakubuwono X. Museum ini kemudian dipindahkan ke kompleks Taman Sriwedari pada 1 Januari 1913. Kala itu gedung museum merupakan rumah kediaman seorang warga Belanda bernama Johannes Busselaar.

Tentu saja saja kita tak boleh melupakan Pekan Olahraga Nasional yang pertama. Diselenggarakan di Solo tentu saja. Berawal dari keinginan Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI), sebagai cikal bakal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), untuk menghidupkan lagi pekan olahraga sebagaimana yang pernah diselenggarakan di tahun 1938. Pada saat itu Surakarta termasuk kota dengan fasilitas olahraga terbaik di Indonesia, sehingga memenuhi semua persyaratan pokok penyediaan sarana olahraga. Termasuk dengan adanya stadion Sriwedari yang dilengkapi dengan kolam renang. PORI kemudian menetapkan Kota Surakarta sebagai kota penyelenggara PON I.

PON I juga membawa misi untuk menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia sanggup mengadakan acara olahraga dengan skala nasional. Meski Perjanjian Renville telah membuat wilayah RI dipersempit.

Semua kepeloporan ini mungkin karena Solo sudah menjadi kota perdagangan yang ramai sejak jaman dahulu. Menjadi tempat berinteraksi dan berkumpul-orang-orang dari berbagai tempat. Beraneka budaya, kepercayaan dan kepentingan berbaur menjadi satu. Akulturasi terjadi dalam segala bidang, termasuk kuliner.

Kuliner Solo dipengaruhi banyak budaya. Makanan-makanan berbahan daging kambing dipengaruhi kuliner Arab. Dari kuliner Tionghoa ada bakmi dan capcay yang dimodifikasi sesuai selera Jawa. Berbumbu rempah-rempah lokal. Sedang selat Solo yang terkenal itu adalah adaptasi dari beefstuck dari Belanda. Secara umum, kuliner Solo berciri khas sedikit manis.

Sebut saja gudeg, selat, tahu kupat hingga sate kambing bumbu kecap.

Rasa manis pada masakan Jawa itu tidak lepas dari sejarah di Solo, yang pernah menjadi produsen gula di masa kolonial. Ada banyak pabrik gula di sekitar Solo saat itu. Bahkan dalam buku ‘Sejarah Panjang Mataram karya Ardian Kresna, disebutkan bahwa kekayaan Mangkunegara IV meningkat pesat berkat manisnya gula, sekaligus menjadikannya pengusaha pribumi paling kaya pada masanya. Saat itu, pengusaha pribumi terbilang masih bisa dihitung dengan jari. Sebagian besar pemilik pabrik gula sendiri adalah perusahaan Eropa dan orang Tionghoa

Ketimbang mengelola sendiri, kebanyakan bangsawan Jawa saat itu lebih memilih menyewakan tanahnya kepada pengusaha Eropa dan keturunan etnis Tionghoa. Mangkunegara IV berpemikiran beda. Untuk mengganti sistem apanage atau tanah lungguh para abdi dalem dan pejabatnya, kepada mereka upah diberikan dengan sistem gaji. Tanah apanage tersebut dikembangkan menjadi perkebunan tanaman komoditas ekspor. Salah satunya adalah dengan menanam tanaman tebu serta mendirikan pabrik gula.

Mangkunegara IV membangun pabrik gula Colomadu dengan modal 400 ribu gulden yang berasal dari pinjaman pada pengusaha asal Semarang, Be Biaw Tjwan. Seorang Jerman bernama R. Kampf kemudian ditunjuk Mangkunegara IV sebagai administratur setelah PG Colomadu beroperasi. Mangkunegara IV juga mendatangkan mesin-mesin dari Eropa untuk PG Colomadu. Panen pertama tahun 1863 menghasilkan 6.000 dermaga gula. 135 sawah menjadi pemasok tebu bagi pabrik gula tersebut. Perlahan pabrik gula Colomadu menjadi yang terbesar di Asia.

Pabrik gula ini menjadi bukti bila pribumi bisa berbisnis sehingga sanggup mengikis tudingan pemerintah kolonial bahwa pribumi pemalas. Sejarawan Heri Priyatmoko mengatakan apa yang dilakukan Mangkunegara IV itu bentuk revolusi mental. Di masa depan, seorang putra Solo yang menjadi Presiden Indonesia kembali menggaungkan revolusi mental dan juga menata fisik dan perekonomian negara.

Vika Klaretha Dyahsasanti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *