“Jika tidak bekerja, kamu tidak makan.” Ini menjadi salah satu ungkapan yang sering didengungkan orang-orang ketika berbenturan dengan kondisi sulit dalam pekerjaan. Tidak dimungkiri bahwa masalah klasik ini selalu menjadi momok bagi masyarakat Indonesia dari masa ke masa. Apalagi pada masa pandemi ini, dengungnya semakin jelas terdengar dan sulit dipecahkan. Tidak mengherankan jika urusan bekerja semakin menjadi riskan.
Desmon Morris, Biolog, pernah mengatakan “Di dunia ini ada 94 jenis kera. Dari 94 jenis kera ini hanya ada satu jenis kera yang tidak punya bulu lebat seperti kera-kera yang lain, yaitu manusia yang biasa disebut homo sapiens.” Ya sekalipun kesannya seperti merendahkan manusia, tetapi Desmon ada benarnya juga bahwa manusia itu makhluk bijaksana (sapiens). Selebihnya, pasti ada banyak hal yang membedakannya dari kera-kera lainnya, salah satunya memiliki keinginan untuk memberi nilai hidup, baik secara ekonomis, sosial, maupun spiritual.
Manusia adalah makhluk yang bekerja. Konsep Homo Faber masih tetap eksis sampai sekarang. Bukan karena dipertahankan, melainkan sejatinya memang manusia harus menjadi seorang pekerja. Tanpa bekerja, manusia tidak memiliki nilai hidup, tidak dapat melihat serta mengukur dirinya, apalagi mengukur hal-hal lain di luar dirinya. Homo Faber pada hakikatnya membuat manusia menjadi makhluk yang kreatif dan bisa menjalani panggilannya untuk membangun hidup menjadi lebih baik. Bekerja bukanlah sebagai pancaran aktivitas motorik, melainkan suatu panggilan hidup.
Idealnya memang begitu. Namun, tidak dimungkiri bahwa keadaan sekarang tidaklah semudah masa sebelumnya bagi sebagian orang. Di tengah perkembangan industri yang maju pesat, perkembangan teknologi yang cepat, dan cara orang zaman sekarang menjalani hidup dengan berbasis koneksi, aplikasi, internet, dan jejaring lainnya, memang menuntut keterampilan-keterampilan khusus untuk bisa menjiwai Homo Faber ini dengan lebih baik. Gelar sarjana dan pengalaman bekerja di tempat sebelumnya tidak lagi bisa menjadi andalan untuk bekerja dengan baik pada masa sekarang. Tuntutan pengetahuan akan teknologi dan segala hal di seputarnya menjadi salah satu poin penting untuk dipertimbangkan dan dikejar.
Konsep bekerja seperti masa sebelumnya (minimal sebelum pandemi COVID-19 yang entah kapan berlalunya) mungkin menjadi kurang relevan untuk masa sekarang. Sekarang bisa bekerja saja rasanya tidak cukup. Namun, bekerja dengan terus mengembangkan kapasitas kita seiring dengan perkembangan kebutuhan sekarang (yang apa-apa serba digital), itulah yang dipertahankan dan harus terus diperjuangkan. Tidak gampang menjalani Homo Faber pada masa ini. Kalau hanya ingin menjalani sekadarnya, ya bisalah, tetapi dampaknya mungkin akan kurang terasa.
Faktanya, sekarang Indonesia sudah digital. Apa-apa serba digital, saling terkoneksi, terintegrasi. Sekalipun ini bicara tentang digital, tetapi ini juga menuntut sikap dan pikiran kita ke arah sana. Tidak bisa kita bekerja di dunia yang sudah digital, tetapi kita tidak ingin menyentuh digital atau bahkan tidak menjadikannya bagian hidup kita. Mau tidak mau, kita sebagai pekerja harus membuka mata dan berusaha mengikuti perkembangan yang ada. Jika belum bisa menjalaninya, minimal punya wawasan tentangnya.
Bagi digital native, hal ini akan sangat mudah dicerna, dipahami, dan dijalani. Mereka lahir di dunia yang sudah digital. Keakraban mereka dengan teknologi menjadikan teknologi adalah bagian hidup mereka, dan tidak terpisahkan. Jika kita merupakan anggota generasi X, ya jangan berkecil hati kalau harus mengejar dan mengimbangi hal ini dalam dunia kerja. Sekalipun gapnya sangat jauh, tetapi bukan berarti tidak bisa. Pengetahuan bisa dipelajari dan keandalan bisa dilatih. Sama-sama menjiwai Homo Faber, generasi apa pun pasti bisa menjalaninya dengan baik, asalkan tidak berhenti berusaha, belajar, dan memperjuangkan untuk memberi nilai hidup yang lebih baik.
Dalam konsep Homo Ludens, hidup manusia tidak akan mempunyai arti tanpa bekerja. Bekerja itu penting. Namun sekarang, maknanya tidak sesederhana ini. Bekerja dengan terus mengembangkan diri seiring perubahan sekitar yang terjadi, itu penting! Kalaupun dalam menjalani Homo Faber terasa sulit karena kondisi atau perkembangan di sekitar yang terlalu cepat, anggaplah itu sebagai tantangan sekaligus kesempatan untuk bisa menjadi Homo Faber yang lebih berkualitas. Jangan menjadi surut, lalu tenggelam.