Salah satu beban (sejarah) yang tak pernah terhapus oleh bangsa Indonesia adalah realitas bahwa bangsa ini akhirnya bisa merdeka setelah dijajah sedemikian lama. Kenapa saya sebut “sedemikian lama”, karena ukuran time-line nya memang tak pernah sama. Tentu saja, hiperbolik yang paling “menyesatkan” selalu saja bahwa kita pernah dijajah selama 350 tahun. Sebuah latah dan luka, yang bahkan hingga hari ini masih diajarkan di dimana saja.
Suatu fakta yang oleh para sejahrawan Barat (baca: orientalis) sendiri selalu dibantah. Sialanya, menurut Prof. Mr. G. J. Resink, ukuran waktu 350 tahun itu sebenarnya dihitung berdasarkan kedatangan ekspedisi pertama bangsa Belanda saat menjejakkan kaki di Nusantara pada 22 Juni 1596. Ketika itu, total ada empat kapal dagang pimpinan Cornelis de Houtman yang berhasil merapat di Pelabuhan Banten. Dan itu benar2 adalah ekpedisi dalam arti muhibah untuk sekedar “tahu tempat” dimana mencari keberadaan asal mula rempah2.
Butuh waktu lebih lama untuk meyakinkan para penguasa lokal, untuk bisa berlanjut pada hubungan dagang. Butuh beberapa ekspedisi lanjutan, dua tahun setelahnya Belanda melanjutkan ekspedisi ke Nusantara yang dipimpin Jacob van Neck, van Heemskerck, dan van Waerwjick. Sebuah ekspedisi yang sesungguhnya sudah sangat terlambat, mengingat Portugis telah melakukan jauh waktu sebelumnya. Portugis sendiri, telah hadir di Nusantara sejak tahun 1511, dengan menjadikan Malaka sebagai “home base” mereka.
Bahkan ketika Belanda baru masuk, Portugis telah lama meninggalkan Nusantara. Pada 1575, Portugis memilih pergi dari Nusantara dan berdagang di Tiongkok karena menganggap terlalu banyak saingan. Suatu periode yang terhitung pendek, hanya berkala antara 1512-1575. Sejak pelaut Portugis Afonso de Albuquerque mengirim sebuah armada ke tempat asal rempah-rempah di Maluku, tepatnya di Ternate. Dimana Portugis membangun sebuah benteng untuk memantapkan kedudukannya dan sempat meluaskan pendudukannya ke Pulau Timor bagian timur.
Di sinilah terjadi sengkarut dan kronik yang saya tidak tahu kenapa bisa terjadi? Kehadiran Portugis sampai hari tak pernah disebut sebagai bentuk “penjajahan”. Sebaliknya, kehadiran Belanda sejak saat pertama, yang sesungguhnya sekedar “muhibah” sudah dianggap sebagai awal penjajahan. Portugis sendiri hadir di “Nusantara” dalam kurun yang jauh lebih panjang. Sebagaimana diketahui, Portugis baru meninggalkan Timor Leste saat pemerintah Indonesia di tahun 1975 atas “desakan” AS masuk ke wilayah ini untuk “memerdekakannya”.
Realitasnya, baik Portugis maupun Belanda sama2 kemudian membangun “benteng pertahanan”, entah itu melalui bentuk perjanjian sewa lahan kepada raja setempat. Maupun penaklukan yang sifatnya “lokal”, karena terbatas di sejumput area kecil dimana pada umumnya mereka tinggal. Membangun markas, yang pada dasarnya juga sekaligus sebagai gudang. Hal ini lah mengapa secara global, istilah kolonialisme lebih dianggap tepat. Yang sayangnya di banyak teks kolonialisme disa artikan dengan istilah penjajahan.
Lalu mengpa istilah kolonialisme dianggap lebih tepat? Dan sebaliknya mengapa istilah penjajahan “harusnya” bukan sekedar tidak cocok lagi sebagai sebuah terminologi. Mari kita bahas pelan-pelan dan satu persatu.
Pertama, kosa kata jajah mula-mula diserap dari bahasa Jawa. Arti dasarnya adalah pergi. Terdapat peribahasa indah dalam budaya Jawa yaitu “jajah desa, milang kori”. Yang artinya harafiahnya pergi jauh mejelajahi desa-desa lain, lalu menghitung pintu yang ada di rumah2 yang ada di desa itu. Tentu saja, kata “milang kori” hanya kata kiasan. Di sini memiliki makna yang lebih luas adalah cara untuk bersilaturahmi, mengenali pribadi2 yang tinggal di dalamnya, mengenali ada istiadat mereka, dst dst.
Dari istilah dasar ini, tak tampak ada sisi negatif sama sekali, bahkan melulu bermakna positif. Tapi mengapa ketika ia mendapat imbuhan, ia bisa jauh menjadi sangat provokatif, bahkan cenderung sangat merendahkan. Baik bagi yang memperlakukan maupun diperlakukan. Sebagai contoh anonimisasi antara “penjajah” dan “terjajah”, antara pelaku dan korban. Bahkan untuk kosa kata lain yang sebenarnya lebih netral, seperti jajahan yang sebenarnya bermakna sebagai “ruang bergerak”.
Dalam bahasa Jawa, ada kalimat “kampung X kuwi jajahanku”. Artinya dia senang bermain di tempat tersebut, dia punya banyak teman di sana yang bisa dikunjunginya. Atau ia sedemikian mengenal kampung tersebut, dengan segala potensi dan persoalannya. Artinya “jajahan” justru menunjukkan konotasi yang “intimate” atau “keakraban” antara seseorang dengan suatu situs tertentu. Dengan demikian jajahan menunjukkan sekalipun ada jarak (distance), namun sesungguhnya ia sekaligus sebuah pengakuan bahwa ia (pernah) ada di dalamnya.
Sebaliknya, konotasi jajah jatuh menjadi (sangat) negatif bila ia mendapat tambahan huruf “i”, menjadi “jajahi”. Dalam sebuah kalimat berbahasa Jawa, bila seorang laki-laki sudah mengatakannya yang ditujukan pada sang lawan jenis. “Bocah kuwi wis tak jajahi”, artinya tentu saja ia pernah melakukan hubungan badan yang “sedemikian rupa”. Barangkali dalam konteks inilah, kemudian kata jajah akhirnya jatuh harga, ia disamakan dengan penguasaan tanpa batas, pemerkosaan, perbudakan, atau apa pun yang konteksnya tidak “win-win situation”.
Kedua, sayangnya kemudian kata “penjajahan” itu sendiri seolah diabadikan sebagai alasan untuk bangsa kenapa ini harus merebut kemerdekaannya. Hal tersebut secara eksplisit dinyatakan bahkan di kalimat awal dari “Preambule” atau Pembukaan UUD 1945. Dinyatakan “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Suatu kalimat pembuka yang sangat eksplosif, tegas, dan jujur menunjukkan perasaan para Bapak Bangsa pada saat itu. Ironisnya bahkan setelah 77 tahun, bangsa ini seolah masih terstigma sedemikian rupa sebagai pewaris negara terjajah. Sedemikian rupa, perasaan inferior tersebut, tersambungkan hingga saat ini. Hingga sepanjang waktu, perasaan terjajah itu tak pernah hilang. Ketika Orde Lama berlangsung, sikap anti penjajahan itu termanifestasikan pada segala hal yang berbau Belanda. Segala sesuatu yang berkonteks Eropa Barat.
Pengusirah pada tahap awal kemerdekaan, diikuti dengan nasionalisasi perusahaan mereka. Tak bisa dipungkiri PKI adalah aktor utama di sini, dimana mereka memang sejak awal adalah kelompok yang paling gigih menentang apa yang mereka pahami sebagai kapitalisme, liberalisme dan imperialisme, tiga serangkai yang kemudian dikonotasikan sebagai bentuk nyata penjajahan. Dan saat mereka gagal, diberangus, dan dilenyapkan di ujung 1965. Dalam periode panjang Orde Baru, kita seolah adalah daerah jajahan ipoleksosbud duo Jepang dan Amerika.
Dalam kaitannya dengan Jepang, termanifestasikan di awal Orde Baru pada peristiwa Malari dimana penolakan terhadap invetasi Jepang sedemikian kuat. Sesuatu yang bukan saja gagal dibendung, tapi justru seolah adalah kekalahan yang terlalu dini bagi aktivis anti-modal asing. Karena sejak itu, penguasaan sumberdaya alam di negeri ini sedemikian masif, khususnya oleh perusahaan2 multi-nasional milik Amerika. Freeport di Papua, Caltex di Riau dan Kalimantan. Perisiwa Malari puluhan tahun kemudian dikenang sebagai peristiwa “salah tembak”.
Dan sebagaimana kita tahu, Pasca runtuhnya Orbaru lalu munculnya Orde Reformasi. Ditandai dengan penjajahan agama dan budaya ala Arab, sesuatu yang tampak halus, mulia, dan tentu saja “beragama”. Walau kemudian tampak terasa di hari2 ini dimana penjajahan justru dilakukan oleh sesama anak bangsa. Mereka2 yang mendaku diri sebagai wakil kaum mayoritas, nyaris memaksakan semua kehendaknya. Ironisnya dengan dalih mereka adalah kaum terzolimi sekian lama. Aneh tapi nyata, bahwa yang menjajah adalah mereka yang merasa terjajah.
Ketiga, dari sinyalemen di atas. Masih relevankah kita menggunakan kata “penjajahan” dalam konteks penulisan atau wacana tidak saja kesejarahan, tapi lebih luas dalam aura pergaulan antar anak-bangsa. Bila mengingat bahwa istilah ini telah sedemikian lama, justru memberikan stigma buruk bahwa kita tak pernah benar2merdeka. Saya pikir tentu saja tidak! Dalam konteks sejarah bangsa ini, istilah kolonisasi (colonization), tentu jauh lebih tepat. Mengapa demikian?
Walau tentu saja, masih tetap memiliki konotasi negatif, dimana ada kepercayaan dan moral dasar bahwa pengkoloni lebih hebat ketimbang yang dikolonikan. Namun realitas lain menunjukkan bahwa kolonialisme juga memberi keuntungan bagi negara yang dikolonikan dengan mengembangkan infrastruktur ekonomi dan politik yang dibutuhkan untuk pemodernisasian dan demokrasi. Para pendukung istilah ini menunjuk ke bekas koloni seperti Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Hong Kong dan Singapura sebagai contoh sukses pasca-kolonialisme.
Bahkan harus diakui bahwa Nusantara yang kemudian jadi Indonesia pun juga memiliki jejak yang sama. Kosa kata “Indonesia” adalah buatan para penjajah,. Yang lucunya kemudian diusulkan kembali menjadi Nusantara itu, konon agar usianya lebih panjang. Juga secara nyata memperoleh keuntungan tersebut. Nyaris di seluruh bumi yang pernah dijejak Belanda, meninggalkan sisi baik minimal secara infrastruktur, apa yang akhir2 ini sangat giat dipaksakan sebagai ideologi-baru.
Indonesia sendiri mengalami awal modernisasi, justru sejak Belanda memperlakukan politik etis saat kehidupan sosial, politk, dan ekonomi menjadi stabil. Sesuatu yang kemudian dikenang secara puitik sebagai “zaman normal”.
Apa pun yang dianggap pemodernan dan balas budi yang wajib dilakukan. Pembangunan sarana transportasi (jalan, jembatan, pelabuhan, jalur dan stasiun KA, airport), fasiltas pendidikan, kesehatan, perdagangan, industri bahkan militer. Apa pun dilakukan untuk kemajuan dan kebaikan bersama. Tapi rupanya, keinginan merdeka sepenuh-penuhnya, yah lagi2 yang ujung2nya masalah “rasa dan perasaan” rupanya jauh lebih menonjol.
Sesuatu yang justru ironis, karena terjadi justru saat “kesalahan itu sedang diperbaiki”. Di saat kolonisasi diharapkan juga memberi dampak baik dan kebaikan….
Dan tanpa sadar para pendiri bangsa ini, para Bapak Bangsa ini mewariskan rasa dendam itu. Suatu dikotomi: bahwa mereka adalah penjajah, bahwa kita adalah terjajah. Sebuah kutukan yang tak pernah disadari bahwa hal tersebut menimbulkan awatak inferioritas yang berusia panjang dan berjejak hingga hari ini. Ketika jejak kolonisasi Belanda nyaris tak tersisa dalam konteks sosial, budaya, dan politik. Hari2 ini kita yang walau de facto maupun de jure walau sudah merdeka, tapi juga tak pernah sepenuhnya merdeka.
Bangsa ini akan selamanya inferior, apa yang dipahami sebagai “bangsa asor, watak paria”, dan selalu merasa jauh tertinggal. Justru ketika kemajuan fisik semakin nyata, sesuatu yang jauh meninggalkan sisi mentalitas bangsa ini. Sulit dipungkiri mental bangsa ini masih tetap sama, jika tak mau dikatakan semakin mundur.
Di hari ini penyeragaman yang terjadi dan dipakasakan, tak lebih penjajahan dalam bentuk lain yang lebih dalam yang (sedang) membekap bangsa ini …
.
NB: Salah satu alasan kenapa istilah “koloniasasi” dalam konteks Indonesia jauh lebih tepat. Terutama, karena warisan wilayah geografis negeri ini, adalah plek ketiplek, sama sebangun dengan apa yang dulu pernah dikolonisasi-kan Belanda di negeri ini. Dan Papua adalah simbol tertingginya? Apakah Papua dijajah Belanda? Belanda-lah lah justru membuka isolasi jazirah ini dari dunia luar. Kalimantan dan Timor adalah cerita lain lagi, walau pada wilayah tlatah yang sama ia tak sepenuh2nya kemudian berada di bawah Indonesia.
Realitas lain yang jauh harusnya membuat kita sadar dan berbesar hati, ternyata setelah sekian lama sumber referensi kesejarahan negeri ini di bidang apa pun adalah warisan dari siapa yang kita anggap sebagai penjajah. Tak ada satu referensi sejarah, sosial, budaya apa pun yang sebaik dilakukan “si penjajah”. Tidak sekedar menjangkau catatan di masa saja. Tetapi mundur jauh ke belakang, sejak zaman pra-sejarah, masa Hindu-Budha. Bahkan merekalah juga yang pertama kali merestorasi dan menuliskan jejak2 tersebut.
Di sinilah, penjajahan sekali lagi, melulu masalah psikologis, yang harusnya tersisa di kepala. Ia bukan ideologis, sebagaimana isme-isme yang kemudian terbukti gagal itu. Yang hanya tampak tak berguna, bila pemahamannya adalah sebagai “ilmu murni” atau “definisi tunggal”. Sesuatu yang kemudian seolah pupus-terhapus, tetapi sesungguhnya menjelma dan merasuk dalam perpaduan antar ideologi. Sesuatu yang saling mempengaruhi, sekaligus melengkapi dalam nilai-nilai baru yang saling menyeimbangkan.
Suatu nilai baru (baca: sebagai life style dan way of life yang bila dipahami secara baik, tepat dan terukur. Memungkinkan kita dan anak cucu kita, memiliki kehidupan yang lebih baik. Suatu buah yang jauh lebih mulia dan berharga dari makna yang lebih hakiki dari kata “merdeka”.