Jangan asal hidup di media sosial. Semua yang tampak di sana mencerminkan kepribadian, meninggalkan rekam jejak, dan membentuk opini orang tentang kita. Media sosial tak lagi hanya untuk berjejaring, update status, dan hihi haha … melainkan sebagai sarana mendeteksi kepribadian kita. Tidak heran banyak perusahaan mulai mempertimbangkan hal ini dalam kadar yang besar dalam menyeleksi calon tenaga kerjanya. Meski portofolio sangat menjanjikan dan mengesankan, tetapi jika aktivitas di media sosial tidak sesuai etika di era digital, tamatlah sudah mimpi Anda untuk bekerja di perusahaan yang Anda idamkan.
Teori kepribadian “Model Lima Besar” (Big 5 Traits Personality Prediction) yang dikemukakan oleh seorang psikolog terkenal, Lewis Goldberg, sering dimanfaatkan untuk mendeteksi hal ini. Dengan 5 dimensi kepribadian: openness, conscientiousness, extraversion, agreeableness, dan neuroticism, yang setiap dimensi diukur pada spektrum mulai dari rendah sampai tinggi, memberi pengaruh nyata dalam kehidupan seseorang ketika menggunakan atau terlibat di media sosial. Aktivitas kita di media sosial bisa menjadi indikator yang cukup valid untuk hal ini.
Apakah kita seorang yang openness? Orang berdimensi ini memiliki keterbukaan yang baik dalam berpikir. Memiliki keterbukaan terhadap banyak hal, mulai dari pengalaman, imajinasi, wawasan, pengetahuan, bahkan minat. Keterbukaan ini bisa dinilai dari keterlibatannya dalam grup online, kuantitas pembatuan status atau postingan, dan jumlah ‘suka’ yang diberikan orang lain. Karena memiliki tingkat keterbukaan yang lebih tinggi, maka mereka bisa mendapatkan lebih banyak “pengalaman” bersama media sosial. Orang golongan ini rajin membuat pembaruan update status dan foto.
Atau, kita tergolong conscientiousness? Dimensi ini mencerminkan orang yang sangat memperhatikan ketelitian, hal-hal detail. Menempatkan disiplin dan produktivitas pada prioritas yang lebih tinggi, dan cenderung tidak mau terlibat dalam aktivitas yang dia anggap sebagai gangguan atau buang-buang waktu. Orang yang sangat teliti ini cenderung mengunggah lebih banyak gambar untuk mendokumentasikan peristiwa yang dianggap penting, sesuatu mengenai keterampilan organisasi atau komitmen mereka akan suatu hal.
Jika dalam bermedia sosial, kita memiliki keterbukaan, banyak bicara, ekspresif, mengutamakan interaksi yang kuat, dan cenderung memiliki kehidupan media sosial yang cukup aktif, kita tergolong berdimensi extraversion. Ya, orang-orang dalam dimensi ekstraversi ini sering ditemukan berinteraksi langsung dengan teman, teman dari teman, dan mengekspresikan pikiran dan emosi mereka untuk dilihat dunia. Orang-orang ini juga aktif ‘menyukai’ postingan teman, memberi rasa simpati atau persetujuan, dan terhubung dengan orang-orang di luar lingkaran pertemanan dan koneksi langsung mereka. Kebalikan dengan orang yang introvert. Mereka menganggap media sosial sebagai hal yang tidak berguna, tetapi itu tidak berarti mereka tidak menggunakannya.
Bisa jadi, ketika di media sosial, kita justru memiliki kecenderungan berperilaku pro-sosial, dalam hal ini altruisme. Jika iya, kita ada dalam lingkaran dimensi agreeableness. Para peneliti mengatakan bahwa orang golongan ini menghindari hal-hal yang cenderung memicu perselisihan di antara teman dan jejaring mereka, dengan menyukai sesuatu yang berpotensi memecah belah. Namun, orang yang kurang menyenangkan tidak terlalu peduli tentang apa yang dipikirkan orang lain terhadap preferensi mereka sehingga mereka ‘suka’ sesuka hati.
Atau, malah ternyata kita adalah bagian dari neuroticism? Seseorang yang memiliki kecenderungan terhadap kecemasan, kemurungan, kesedihan, kemarahan, dan ketidakstabilan emosi. Orang yang tergolong dalam dimensi ini akan memiliki kecenderungan untuk ‘menyukai’ (like). Respons ‘menyukai’ ini menjadi respons aman bagi mereka. Orang golongan ini sering merasa tidak aman dalam berelasi. Media sosial menjadi sarana untuk mereka bisa mencoba mempertahankan atau memperkuat relasi. Bisa juga untuk menjangkau orang lain supaya mendukung mereka. Respons ‘menyukai’ ini menjadi upaya terbaik mereka untuk mendapatkan perhatian, pengakuan, atau penegasan. Orang neurotik ‘menyukai’ konten orang lain dengan harapan mereka akan menerima validasi timbal balik. Yang mana tipe kepribadian Anda?
Era digital yang makin kental memang menuntut perubahan dalam berkomunikasi, berinteraksi, dan cara belajar. Ini semua juga menuntut adanya perubahan cara kita menanggapi perubahan yang ada. Bagaimana dengan netizen +62? Tidak semua punya bekal yang sama dalam merespons perubahan dan kemajuan yang signifikan ini. Inilah mengapa media sosial semakin dikuatkan menjadi jalur yang sempurna untuk mendeteksi kepribadian seseorang dengan andal dan konsisten yang diekspresikan melalui aktivitas dan keterlibatan online.
Melalui profil, postingan, dan pilihan kata yang digunakan dalam berkomunitas atau beraspirasi bisa menjadi tahapan pendeteksian yang mumpuni. Biasanya, profil menjadi kesempatan bagi seseorang untuk menciptakan dirinya seperti yang ia inginkan. Meski tidak semua, tetapi kebanyakan memiliki tujuan ini. Pembaruan status pun menjadi kesempatan yang lain lagi untuk menciptakan diri sendiri seideal mungkin, bahkan di atas kenyataan yang sering kali kurang menarik. Dari waktu ke waktu, konten dan pembaruan status dapat memberi wawasan yang cukup andal tentang tipe kepribadian, jenis kelamin, usia, bahkan lokasi. Meski ada daya pikat menggunakan media sosial sebagai sarana untuk menciptakan orang yang kita inginkan, pada akhirnya itu lebih mewakili siapa kita sebenarnya.
Pilihan kata dalam setiap postingan tak luput dari pengamatan. Cara kita menyusun dan menggunakan kata-kata dalam posting dan pembaruan status dapat memberi wawasan yang dapat diandalkan tentang kepribadian Anda. Pilihan kata yang kita gunakan dalam dunia online mewakili dunia pribadi, perspektif, dan kepribadian bawaan kita. Biasanya, orang-orang golongan ekstraversi sering kali membumbui dengan kata-katanya seperti “sayang”, “ya”, “pesta”, … kesalahan dalam posting atau pembaruan status juga sering kali mereka lakukan, baik salah eja, salah ketik, akronim, singkatan, dan memiliki unsur kontraksi. Berbeda dengan introvert yang cenderung menyampaikan sesuatu dengan emotikon, memanfaatkan anime, video, dan simbol-simbol lain yang mampu mewakili ekspresinya.
Di balik perkembangan dan perubahan yang ada, yang notabene sebenarnya lebih memudahkan setiap orang untuk berekspresi dan beraspirasi, kita tetap dituntut untuk arif menanggapinya. Tidak serta merta kita bisa melakukan apa saja di media sosial. Sekalipun itu halaman profil kita, tetapi itu adalah ekspresi kepribadian kita. Di sana terekspresi banyak umpatan, itulah kita. Di sana terekspresi banyak kekritisan beropini, itulah kita. Di sana hanya terpampang ratusan meme, foto, atau video, kontennya tetap mencerminkan bagian diri kita. Eksistensi kita di media sosial adalah hasil pikiran, perenungan, kebiasaan, pilihan, motivasi, kadar etika, dan keputusan kita. Eksistensi kita di media sosial adalah jendela kepribadian kita.