Bulan ini, 21 tahun lalu, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur lengser sebagai Presiden ke empat Republik Indonesia. Gus Dur lengser pada 23 Juli 2001 setelah sebelumnya MPR RI yang kala itu dipimpin Amien Rais melakukan Sidang Istimewa. Pelengseran itu menjadi puncak perseteruan antara mayoritas partai politik di DPR saat itu dengan Gus Dur. Mulai dari tudingan DPR tentang dugaan korupsi kasus Buloggate dan Bruneigate, hingga pernyataan Gus Dur yang pernah menyebut DPR seperti taman kanak-kanak.
Pada Senin 23 Juli 2001 petang, Megawati Soekarnoputri dilantik dan diambil sumpahnya menjadi presiden menggantikan Gus Dur. Masih di hari yang sama, malam harinya Gus Dur memerintahkan massa pendukungnya yang berkerumunun di sekitar Istana dan Gedung DPR untuk bubar dan tidak melakukan tindakan yang bersifat menimbulkan kerusuhan terkait pencopotan statusnya sebagai Presiden Indonesia. Menjelang dilengserkan, banyak kalangan kiai maupun santri yang berunjuk rasa untuk memprotes keputusan MPR tersebut.
Dengan tenang Gus Dur yang saat itu mengenakan celana pendek, berjalan ke luar Istana untuk menenangkan pendukungnya. Gus Dur berpesan agar ulama tidak terpancing amarahnya atas nama solidaritas umat Muslim. Ulama seharusnya tidak terlalu larut dalam politik. Dengan tegas, Gus Dur meminta ulama, kiai, dan santri di lingkungan NU untuk tidak pergi berunjuk rasa dan membuat kegaduhan di Jakarta. Ia meminta agar segenap pendukungnya tetap meyakini kemampuan pemerintah dalam menuntaskan persoalan politik, meski tak lagi dipimpinnya.
Pemunculan Gus Dur dan kata-katanya yang menenangkan itu menjadi fenomenal dan terus tercatat dalam sejarah. Menggenapi semua jiwa negarawan yang memang telah dimiliki Gus Dur sejak muda.
Abdurrahman Wahid atau Gus Durdilahirkan di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940. Gus Dur terlahir dengan nama Abdurrahman Ad-Dakhil yang artinya sang penakluk. Dalam perjalanan hidupnya Gus Dur memang benar-benar menaklukkan sekat-sekat SARA dan diskriminasi di antara Bangsa Indonesia. Bukan hanya saat menjabat Presiden, jauh sebelumnya Gus Dur sudah dikenal sebagai pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) dan pembela kaum minoritas di Indonesia.
Sebelum menjadi presiden, Gus Dur pernah menjabat sebagai ketua umum PBNU. Setelah reformasi 1998, Gus mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Gus Dur menyadari, partai politik merupakan satu-satunya cara untuk berjuang di dunia politik. Kala itu Gus Dur menjabat sebagai Dewan Penasehat. Gus Dur kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4.
Gus Dur juga dikenal sebagai Presiden yang gemar bercanda. Koleksi humornya seakan tak pernah habis. Hingga hari ini, ada banyak buku yang ditulis untuk mengisahkan kembali humor-humor Gus Dur. Raja Fahd dari Saudi pernah tertawa tertawa terbahak-bahak saat berbicara dengan Gus Dur. Untuk pertama kalinya orang-orang dapat melihat gigi Raja Fahd yang selama ini terkenal jarang tersenyum.
Salah satu humor Gus Dur yang terkenal tentu saja tentang Gus Dur yang menjadi Presiden dengan modal dengkul. Itu pun dengkulnya Amin Rais, kata Gus Dur. Dipilihnya Gus Dur sebagai Presiden ke empat tentu saja tak lepas dari peran kelompok Poros Tengah MPR yang saat itu dimotori Amin Rais. Kelompok ini tak menginginkan Megawati sebagai Presiden meski PDIP menang telak pada Pemilu 1999. Ironisnya, Amin Rais pula yang memotori pelengseran Gus Dur setelah menyadari Gus Dur bukan Presiden yang bisa disetir olehnya.
Salah satu humor Gus Dur yang terkenal lainnya adalah kisah Gus Dur tentang perilaku seorang Nyonya dari Indonesia di luar negeri. Saat itu pelayan hotel bertanya apakah sang Nyonya suka salad. Dengan mantap sang Nyonya menjawab, “Yes, five times a day.” Sang Nyonya menegaskan bahwa ia selalu shalat 5 waktu. Humor ini kata Gus Dur, menunjukkan kecenderungan sebagian masyarakat kita yang gemar menyombongkan ibadahnya. Akhirnya mereka terjebak dalam arogansi beragama dan berujung pada intoleransi.
Gus Dur juga tokoh yang selalu konsisten membela toleransi dan keberagaman. Dalam sejarah dunia terdapat banyak tokoh yang memiliki legacy yang kuat berkenaan dengan pembangunan budaya toleransi. Pada zaman modern, kita mengenal Mahatma Gadhi dari India, Martin Luther King Jr dari Amerika Serikat, serta Bunda Teresa, pelayan orang miskin lintas agama dan etnis dari Calcutta.
Di Indonesia, kita mempunyai Gus Dur sebagai tokoh yang memiliki legacy kuat dalam hal toleransi dan anti diskrisminasi. Sebagai cucu dari Hasyim Asy’ari,pendiri Nahdlatul Ulama, Gus Dur mempraktekkan toleransi dalam aksi nyata sehari-hari. Ketika menjadi Ketua Umum PBNU, Gus Dur adalah orang pertama yang memerintahkan Gerakan Organisasi Pemuda Ansor (Banser) untuk mengawal setiap gereja di malam Natal.
Tak lama setelah dilantik sebagai presiden di tahun 1999, Gus Dur menghadiri Perayaan Natal di Jakarta dan berpidato tentang pentingnya persaudaraan antar umat beragama yang berbeda. Ini tentu keberanian luar biasa melawan opini haram mengucapkan Selamat Natal yang cukup populer di kalangan Muslim. Apa yang dilakukan Gus Dur ini bukan saja karena toleransi, tetapi juga untuk mendinginkan suasana masa itu yang marak terjadi pertentangan antar agama dan kepercayaan.
Di bawah kepemimpinan Gus Dur, Konghucu diakui sebagai agama dan Tahun Baru Imlek dinyatakan sebagai hari libur nasional. Gus Dur pun menghapus Inpres Nomor 14/1967 lalu menerbitkan Inpres Nomor 6/2000 pada 17 Januari 2000, sehingga etnis Tionghoa bebas menjalankan kepercayaan dan adat istiadatnya. Gus Dur juga menjadi presiden dan ulama pertama yang meminta maaf atas genosida antikomunis yang terjadi pada tahun 1965. Dia juga mengembalikan nama Papua yang selama Orde Baru diberi nama Irian Jaya.
Legacy besar Gus Dur yang lain tentu saja sebagai salah satu peletak demokrasi dan gerakan reformasi. Gus Dur mampu menjembatani peralihan kekuasaan pasca Soeharto yang memberi peran besar pada militer dalam pemerintahan ke era reformasi yang bertumpu pada Demokrasi dengan Pemilu yang jujur dan adil. Efek buruk dwifungsi ABRI yang digunakan Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya, harus diimbangi Gus Dur dengan memperkuat civil society dan mengembalikan militer ke barak.
Tentu ini bukan hal yang mudah. Eforia kebebasan di masyarakat membuat masyarakat mudah terjebak pada politik identitas, di satu pihak. Di pihak lain, militer tak lagi punya kewenangan mutlak untuk menertibkan masyarakat yang terjebak eforia kebebasan ini. Masa pemerintahan Gus Dur banyak direpotkan oleh gerakan separatis di Aceh dan kerusuhan berlatar perbedaan agama di Poso dan Ambon.
Di situlah kemudian Gus Dur sebagai Presiden berlatar belakang ulama menyuarakan pandangan Islam yang moderat. Bahwa agama adalah pilihan personal setiap orang yang wajib dihargai dan dilindungi negara serta Islam pun mempunyai konsep kewajiban membela tanah air, meskipun tidak semua penduduknya muslim sehingga hukum yang berlaku bukan hukum agama.
Sebagai negara dengan populasi umat Islam terbesar di dunia, sejak dulu Indonesia telah mempraktekkan Islam yang moderat. Kelompok-kelompok radikal, yang kemudian banyak terlibat kegiatan terorisme, sesungguhnya hanyalah kelompok minoritas dalam populasi muslim di Indonesia. Sayang kelompok radikal ini bukan saja gemar melakukan teror, tetapi juga gemar menyebarkan dakwah-dakwah bermuatan kebencian dan intoleransi. “Masalah terbesar kita adalah adanya kelompok yang menggunakan agama untuk meraih kekuasaan dan melanggengkannya. Ini kemudian yang menimbulkan keresahan dan gesekan dengan penganut agama dan kepercayaan lain,” demikian kata Gus Dur.
Dari sinilah kemudian Gus Dur secara sadar berkomitmen dan mendedikasikan dirinya untuk memperjuangkan bertumbuhnya budaya toleransi. Menurut Gus Dur, nilai-nilai dan way of life masyarakat Indonesia sejatinya sangat menghargai keberagaman dan menjunjung tinggi semangat kekeluargaan dan toleransi. Yang harus dikembalikan adalah kesadaran untuk terus hidup dalam nilai-nilai yang menjunjung toleransi dan keberagaman itu.
Selama hidupnya Gus Dur bekerja keras untuk mewujudkan nilai-nilai toleransi dan kemanusiaan di masyarakat. Baik saat menjadi Ketua Umum PBNU, Presiden bahkan jauh sejak muda saat Gus Dur aktif menulis. Gus Dur pun menjalin kerjasama dan persahabatan dengan tokoh-tokoh lintas agama. Gus Dur pernah menulis pengantar dalam buku Menumbuhkan Religiusitas Anak-Anak karya rohaniawan Katholik YB Mangunwijaya yang dikenal sebagai Romo Mangun.
Dalam tulisannya itu, Gus Dur mengutip kisah menarik dari khazanah kaum sufi. Seorang perempuan solehah yang masuk neraka karena tidak mau memberi minum pada kucing peliharaannya hingga membuatnya mati dan perempuan pelacur yang masuk surga karena memberi minum anjing kehausan di tengah padang pasir.
Bagi Gus Dur, cerita itu mengandung pesan bahwa keimanan pada ajaran agama tak akan cukup bila tak disertai pada sikap untuk memuliakan kehidupan dan menghargai kemanusiaan. Maka, jangan heran bila Gus Dur begitu getol membela kemanusiaan tanpa pandang ras, suku, atau agama. Karena yang perlu dan penting untuk dibela bukan Tuhan, melainkan kemanusiaan.
Keimanan yang dimaksud Gus Dur bukanlah keimanan yang abstrak dan lepas dari kehidupan, melainkan keimanan yang konkret dan melekat dengan kehidupan. Keimanan yang senantiasa tergugah dan peka atas problem-problem manusia yang terjadi pada kehidupan ini.
“Bagaimana mungkin seseorang mencapai derajat kecintaan kepada Tuhan, kalau tidak mencintai manusia secara umum, karena Tuhan justru mencintai makluknya?” Demikian menurut Gus Dur. Melalui pemahaman itu, Tuhan tidak dilihat sebagai Yang Maha Pemarah, melainkan Yang Maha Pengasih.
Tidak heran bila Gus Dur dihormati bukan saja di kalangan umat Islam, tetapi juga umat lain dan kalangan minoritas. Para ASN, yang saat itu disebut pegawai negeri, pun tak akan pernah melupakan jasa Gus Dur yang telah menaikkan gaji pokok mereka hingga 270 persen. Kenaikan tertinggi sepanjang sejarah Indonesia.
Masyarakat mengenang Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme karena keberanian dan konsistensinya membela kaum minoritas termasuk para keturunan Tionghoa dan kelompok Ahmadiyah. Menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang damai, menjunjung keberagaman dan mengadakan dialog antar agama dan kepercayaan.
Di tengah krisis kepemimpinan dan maraknya politik identitas seperti saat ini, kita semua merindukan Gus Dur. Kita sudah lelah mendengar ujaran kebencian, fatwa-fatwa diskriminatif serta menimbulkan perpecahan. Gus Dur sudah lama berpulang, tetapi seorang pemimpin besar, negarawan akan selalu dihormati dan diteladani semasa hidupnya, tetapi juga tetap dicintai, diteladani dan dirindukan setelah kepergianya. Al Fatihah.
Fatimah Wardoyo