MEGAWATI, QUEEN OF PASANG BADAN
Tak mudah menjadi Megawati. Masa kecil dia dilalui dengan penuh keprihatinan walau ayahnya adalah sosok yang membacakan teks proklamasi kemerdekaan bahkan kemudian menjabat sebagai orang nomor satu negeri ini. Jangan bayangkan menjadi anak Presiden Soekarno waktu itu juga bisa hidup bergelimang kemewahan seperti anak-anak presiden dan pejabat tinggi sekarang.
Saat menginjak dewasa, tampuk pemerintahan berganti. Ayahnya digeser oleh anak buahnya sendiri. Sejak itu hidup mereka sekeluarga penuh oleh tekanan rezim Orde Baru. Kondisi membuat pemilik nama lengkap Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri ini tak bisa menyelesaikankuliahnya. Ditambah lagi Mega yang masih gadis belia harus menyaksikan ayahnya diperlakukan bak sampah oleh pemerintah Orde Baru. Ayangnya yang seorang proklamator diasingkan di tempat yang bau dan jorok dan menghembuskan nafas terakhir di pengasingan, dengan tidak mendapat penanganan kesehatan yang memadai.
Trauma demi trauma membentuk karakter Megawati yang seperti sekarang ini. Keras, tegas, tangguh, namun tetap keibuan. Bagaimanapun dia adalah perempuan Jawa tulen. Mega tetap menangis ketiga salah satu putranya lebih dahulu berpulang. Apapun yang terjadi, dia adalah seorang ibu.
Megawati bisa lembut dan keras di saat yang tepat. Karir politiknya justri dimulai saat perbedaan diharamkan, era demokrasi palsu ketika pilihan orang harus seragam. Bila tidak, bisa hilang keesokan harinya. Orang lain takut terhadap rezim Soeharto yang kejam dan zalim. Namun Megawati justru melawan. Tak sedikit yang harus dia korbankan. Banyak pendukungnya hilang, mati dan diculik. Namun perjuangan panjang itu berakhir dengan kemenangan. Era reformasi membalikkan keadaan. Rezim Soeharto jatuh. Singkat cerita, Mega juga sempat merasakan menjadi presiden.
Menjadi Presiden Indonesia, sambil menjadi ketua umum partai dan menjadi istri sekaligus ibu rumah tangga, hanya Megawati yang bisa melakukannya. Tak banyak perempuan sanggup seperti itu. Bahkan pria lebih diragukan lagi bisa bertindak dan berpikir multi tasking seperti Megawati. Sejak dulu, saat menjabat presiden hingga sekarang, Megawati tidak banyak bicara. Namun sekali bicara, akan didengarkan semua orang. Dan ketika memutuskan sesuatu, tak mudah bagin siapapun untuk mengubah keputusannya. Itulah Megawati.
Kalau sampai kini masih dipercaya sebagai ketua umum partai, dalam hal ini DPP PDI Perjuangan, itu bukan karena ambisi dan kehendak Mega sendiri, melainkan karena memang dikehendaki oleh para petinggi dan kader partai banteng. Sosoknya memang belum tergantikan. Orang di luar partai tak usah banyak cingcong, karena kader di dalam PDIP sendiri merasakan dan membutuhnya kehadiran sosok Mega di tengah mereka..
Pada masa pemerintahan Megawatilah, pemilihan umum presiden secara langsung mulai dilaksanakan, dan dianggap sebagai tonggak keberhasilan demokratisasi di Indonesia. Tapi, Megawati tak menikmatinya. Sistem ini justru mengorbankannya. Ia kalah oleh bekas menterinya sendiri, SBY pada Pilpres 2004. Sepuluh tahun lamanya ia menahan diri dari dorongan syahwat kekuasaan. Hingga keadaan berbalik dan PDIP kembali menempatkan kadernya sebagai pemimpin negara
Orang yang tahu perjalanan hidup dan karir politik Megawati pasti menghormatinya. Orang PDIP tahu betul sejarah perjuangan Megawati. Bagaimana dia merintis dengan berdarah-darah partai banteng semenjak Orde Baru hingga hari ini. Tak terkecuali Presiden kita, Jokowi. Jokowi dan Megawati saling menghormati dan menyayangi. Tak heran kini Megawati selalu pasang badan menjadi tokoh pelindung buat pemerintahan Jokowi.
Ketika Jokowi di-bully dan dianggap tidak harmonis dengan PDIP, Megawati muncul menetralisir isu tersebut. Ketika Menteri Nadiem Makarim digoyang isu reshuffle, Mega muncul bersama Nadiem. Ketika RUU Omnibus Law banyak ditentang SJW, Megawati dan PDIP justru mensupport dan ikut memperjuangkannya, karena sudah menjadi amanat beberapa pemerintahan sebelumnya.
Saat RUU Ibu Kota Negara digulirkan, PDIP pun men-support penuh. Dan ketika anggota DPR RI Ribka Tjiptaning protes dan menghambat program vaksin, dia pun langsung digeser dari Komisi IX yang menangani bidang Kesehatan ke Komisi lainnya di DPR. Demikianlah, dengan komposisi 20% suara di DPR, posisi Mega memang kuat sebagai “Ibu Pelindung”.
Yang paling menarik tentu yang baru-baru ini, saat Megawati menyatakan pembelaannya terhadap Presiden Jokowi yang kerap dihujat atau di-bully oleh banyak orang. Sambil meneteskan air mata, Megawati, mengungkapkan kesedihannya.
Dia terlihat sangat sedih. Megawati adalah King Maker. Dialah orang yang mencalonkan Jokowi mulai sebagai Wali Kota Solo, Gubernur DKI hingga menjadi Presiden RI dua periode. Dari awal hingga saat ini, kedekatan antara Megawati dengan Jokowi tidak berubah.
Saat ini banyak orang ingin menggerus citra diri Megawati. Di media sosial orang membrandingnya sebagai dalang dengan boneka di tangannya. Boneka yang dimaksud siapa lagi kalau bukan Presiden Jokowi. Dia juga dicitrakan sebagai diktator partai, orang yang sangat berambisi dan berbagai embel-embel negatif lainnya. Netizen di media sosial memang beringas dan kejam membunuh karakter seseorang.
Kalau memang Megawati adalah diktator dan berambisi, dia sendiri yang akan mencalonkan diri. Jutaan kader partai siap tegak lurus kalau ada instruksi. Siapa berani melawan kalau Mega sudah memutuskan? Sebagai manusia, wajar saja dia memiliki harapan untuk dirinya sendiri. Kalaupun ada, harapan itu Megawati telah berhasil memendam dalam-dalam dan tak pernah dia ucapkan. Ia telah menunjukkan sebuah pengorbanan tak ternilai, saat mengantar Joko Widodo dan cawapresnya dalam Pilpres 2014 dan 2019.
Megawati adalah perempuan yang dalam nadinya mengalir darah biru politik negeri ini. Tapi dia juga yang paling berdarah menjaga keberlangsungan hidup diri, keluarga, partainya dan bangsa ini. Megawati adalah aset penting bangsa dan negara. Dalam sikap diamnya, dalam senyapnya, dia membereskan banyak hal.
Jadi ingat quote Margareth Teacher, “Jika kamu ingin berdebat, tanya lelaki. Jika ingin segala sesuatunya beres, tanya perempuan.”