Ojo Dibandingke, Lagu Hipster yang Efeknya Menyasar Random ke Segala Arah

Sejak wafatnya Didi Kempot sebagai sosok yang disebut fansnya sebagai Godfather of The Broken Heart. Trend lagu patah hati dalam khazanah lagu pop Jawa bukannya menyurut, tapi bisa dikatakan makin menggila. Mungkin tema “patah hati” itu identik nasib dan perannya dengan tema horor dalam dunia perfilman. Menyebalkan dianggap bermutu rendah, tetapi sudut pandang dan ruang eksplorasi-nya seolah tak pernah habis digali. Ia justru nguripi, menghidupi bukan ssaja para pelakunya, tapi terutama kultur dan industri-nya.

Lagu pop Jawa memiliki karakteristik yang bagi saya sangat lucu, wagu dan sering tidak masuk akal. Sumber materi lagunya bisa menjadi tak terbatas, justru karena ia bersifat sangat terbuka. Ia tak melulu berasal dari kultur lokal saja, penutur dari bhasa Jawa yang bisa terserak dari ujung Barat yang nngapak dan Cirebonan, menyusur model Pantura-nan hingga yang agak halus gaya Mataraman, hingga ke sudut Timur di Banyuwangi dengan gaya patrol dan jaranannya. Bahkan melintas pop etnis lain, hingga mneyruk gaya pop-rock melankolis Melayu yang berbasis di Malaysia misalnya.

Hal itu justru dimungkinkan, bila meminjam analisis seorang pengamat musik, karena teknik bermusiknya sangat terbatas dan sederhana, kalau tak mau dibilang justru tak berkembang. Apa pun imbuhan atau micin atau bumbu penyedapnya. Apakah itu keroncong, rock, qasidahan, bahkan hip-hop atau house music tetaplah tak menghilangkan cita rasa aslinya sebagai “semangat kejawaannya”. Apa yang kemudian disebut “permainan satu jurus”, hingga bisa sangat disederhanakan dengan dimainkan dalam format organ tunggal.

Ringkes, praktis, hemat tapi jembar, kaya walau tetap berselera rendahan. Cermin asli masyarakat kita di hari ini…

Paradoks2 seperti inilah yang pada akhirnya, melahirkan lagu2 yang bila dikaji lebih mendalam tampak nyaris kacau dalam segala halnya. Sering tidak jelas siapa pencipta aslinya, tapi dinyanyikan oleh siapa saja. Tak pernah jelas sistem pembagian keuntungannya, tapi bisa berjalan mulus seolah tak ada hukum formal di dalamnya. Hal ini sekali lagi diperparah dengan tema2 yang nyaris mengabaikan batasan usia. Karena ia seolah boleh dinyanyikan siapa saja, seolah umur hanya sekedar deret hitung tanpa makna.

Norak dan sialnya di luar sana orang menjadikan hal2 seperti itu, melulu sekedar isu-isu politik untuk saling membedah habis dan goreng menggoreng kelemahan lawan politiknya.

Dalam tulisan ini, saya ingin menunjukkan kecarut-marutan itu. Sebuah rimba tanpa aturan, yang kalau kita tak berhati-hati memaknainya. Hidup kita barangkali akan sama persis sifat dan makna “lagu pop”. Seperti permen, cepet enaknya, tapi segera hilang rasa. Namun di balik itu, saya sekaligus ingin menunjukkan bahwa justru karena sifatnya yang longgar, cair, dan terbuka itu proses regenerasi bisa terus berlanjut. Melulu karena mengikuti selera zaman dan trend pasar. Tak perlu ada pembinaan, penyuluhan, atau seminar ini itu yang hanya menghabiskan biaya negra. Seolah negara tak perlu hadir dalam industri musik pop-Jawa.

Dari berbagai lagu tersebut “Ojo Dibandingke” adalah fenomena yang menurut saya sangat unik bahwa ji ro lu pat. Yak …

Betapa lagu “Ojo Dibandingke” sejak dari ia diciptakan, seolah “salah papan”, salah tempat. Lagu ini pertama kali dipopulerkan oleh figur yang memiliki nama pop “Abah Lala”. Seorang berasal dari Boyolali, bernama asli Agus Purwanto. Ia sesungguhnya masih berusia cukup muda, kelahiran 1986. Artinya baru menjelang 36 tahun. Tapi saat melihat video-clip solo-nya ketika membawakan lagu ini. Ia tampak “salah umur”, (maaf) ia terlalu “boros muka”. Terlalu tua bila ditelisik dari lirik lagunya.

Ia seolah adalah orang yang “kasep kawin”, terlambat menikah. Atau kalau pernah, ia pernah gagal. Ketika mencoba lagi, ia jatuhnya minderan, kehilangan kepedeannya lalu kakean sambat. Perlu dicatat untuk mengejar “kepantasannya”, ia merlokne mengecat rambutnya, memake-up wajahnya. Untuk ya itu tadi membuat pantas untuk umurnya ….

Demikian pula, ketika ia dinyanyikan oleh seorang biduan cantik yang sedang naik daun. Seorang yang rela pansos mengejar karier dengan mempacari biduan lain yang lebih dulu naik daun. Ia adalah penyanyi muda dari Kediri bernama Happy Asmara. Di mata saya, ia ini adalah semacam “Ken Dedes dari Zaman Now”. Aura kecantikannya terpancar secara alami dari dirinya, pesona calon diva lokal baru yang tak dibuat-buat. Bila tanpa ngomong, kita akan mudah tertipu bahwa ia berasal dari keluarga sederhana. Yang di masa kecilnya rajin membantu neneknya mencari rumput untuk makan kambing piaraan mereka.

Nama aslinya adalah Heppy Rismanda Hendranata, tapi sebagaimana trend penyanyi musik pop Jawa, ia menanggalkan nama aslinya. Kurang menjual adalah alasan paling umum yang dipakai. Ia tampak pas dengan lagu2 lainnya, termasuk saat duet dengan kekasihnya yang bernama Denny Cak Nan yang dianggap “penerus paling sahih bagi Didi Kempot”. Tapi saat menyanyikan lagu Ojo Dibandingke, terlihat sekali ia memaksakan diri. Terburu2 dan ritmenya jadi kacau, barangkali ia sadar sekedar sedang “kejar setoran”. Mungkin karena ia tahu betul bahwa lagu ini sebenarnya lebih cocok dinyanyikan seorang laki2.

Sekali lagi menunjukkan bahwa lagu juga “memiliki kelamin”, ia tidak free-sex (eh salah). Ia tidak selalu all-sex, selalu bisa dinyanyikan laki2 dan perempuan….

Terakhir lagu ini menjadi gunjingan yang seolah tanpa habis, justru ketika dibawakan oleh seorang penyanyi cilik bernama Farrel Prayoga. Sebagai penyanyi ia “sudah” (bukan “baru”) berusia 12 tahun. Jadi kalau ada yang mempertanyakan apakah ia sudah aklil baliq. Jawabannya sudah, bila ukurannya apakah ia disudah disunat apa belum. Pasti sudah! Pertanyaannya, apakah dengan usia 12 tahun ia pantas menyanyikan lagu “Ojo Dibandingke” yang mustinya secara etis-liris dinyanyikan seorang pria berusia 15-24 tahun yang sering disebut kelompok usia muda. Atau lebih tepat lagi usia 25-34 tahun yang lazim disebut kelompok usia pekerja awal. Di sini jelas ia di bawah umur!

Bagaimana pun ia terlalu muda untuk bisa masuk dalam azas kepatutan. Tapi bukankah nyaris semua lagu yang pernah dinyanyikannya dapat dianggap telah “offide”. Tak layak umur!

Tentu tulisan ini menjadi tidak lengkap, bila tidak menyinggung lirik lagu ini yang ketika dinyanyikan dalam Upacara Peringatan Kemerdekaan RI pada moment 17 Agustus-an yang baru lalu. Liriknya “dihajar habis”, dipas-paskan untuk memberi ruang pada sepotong lirik ubahan “di hati ini hanya ada Pak Jokowi”. Sebenarnya siapa yang “dibanding-bandingke”? Apakah Pak Jokowi dengan rival politiknya? Pendahulunya dulu atau malah sosok yang kelak diharapkan jadi penerusnya? Tak pernah jadi jelas.

Pada kasus Jokowi. Sebenarnya ia tak pernah secara linier dibanding-bandingkan! Bila berkait dengan pendahulunya, khususnya SBY ia sama sekali “not boot to boot”. SBY jadi tampak jelek sekali bila dibandingkan dengan Jokowi secara literer. Semakin jelek karena ia tak mau hadir di peristiwa kenegaraan setahun sekali ini. Ia memilih pergi ke Malaysia untuk urusan yang tidak jelas. Bila ukuran kenegarawanan seseorang diukur dari loyalitasnya pada negara, ia tentu jauh panggang dari api.

SBY adalah contoh pemimpin yang gagal pada saat ia menjabat, dan jatuh makin buruk setelah meninggalkan jabatannya.

Sebaliknya, jika itu mengukur pada calon penerus Jokowi. Tentu tidak fair, dan justru melulu hanya akan kembali memunculkan wacana Jokowi Tiga Periode. Secara rasional maupun irasional, Jokowi terlalu kuat dalam prestasnya, terlalu rendah hati dalam kepribadiannya, dan terutama terlalu berhati-hati dalam mengambil keputusan siapa penerusnya. Sehingga justru membuat wajah Indonesia seolah gelap setelah periodenya kelak berlalu. Sebaliknya lagu ini seolah membari harapan baik jika kelak memilih penerus Jokowi, kuncinya ya jangan dibanding-bandingkan. Berilah ia kesempatan, jangan sampai ia memimpin hanya sekedar jadi “penerus dalam arti sebagai bayang2”.

Itu jelas akan menjadi persoalan baru yang jauh lebih serius…

Satu-satunya hal yang menurut saya juga “aja dibanding-bangke” secara lebih serius dan fair. Tentu saja masalah hutang luar negeri, yang tampak tidak masalah benar karena Menkeu kita adalah seorang Sri Mulyani Indrawati (SMI). Saya menjadi jauh lebih khawatir, bukan pada siapa penerus Jokowi, tapi apakah Presiden yang baru kelak masih mau mempertahankannya. Jika masih mau, apakah SMI masih bersedia. Apakah ia tidak bosen dengan rutinitas yang telah dijalaninya selama 2 kali masa kepresidenan yang berbeda. Sementara yang konsistenn publik selalu sok tahu, ajeg men-salah pahami-nya segala hal baik yan hati-hati dijalannya.

Dalam acara tersebut, SMI termasuk salah satu tokoh nasional yang bersedia “turun glanggang”, ikut berjoget tanpa rasa sungkan. Sebuah pertunjukan yang menyegarkan suasana. Ketika kesakralan acara tahunan ini, dibikin fresh dengan cara2 yang tidak umum dan kontroversial!

Tapi sekontroversial apakah sebenarnya?

Kontroversial di masa pro dan kontra menjadi hal yang sedemikian biasa dan tentu saja karena memang sangat diberi ruang. Saya hanya berpikir situasi ini adalah apa yang disebut sebagai “cara menyediakan keseimbangan”. Apa yang luhur dan mulia, harus diimbangi dengan sesuatu yang ringan dan segar. Kesakralah yang penuh retorika, harus diimbangi dengan kesederhanan, kepolosan, dan mungkin sedikit keganjilan. Hanya segal sesuatu yang ganjil yang membuat pikiran jadi segar, terbuka, dan tergerakkan kembali…

Di sinilah barangkali, keberhasilan Farrel Prayoga, seseorang yang sebagaimana galibnya para “penyanyi rakyat”. Ia meniti karier dari bawah, ia penuh kesederhanaan dan kesantunan yang alami. Sebuah ironi, ketika nyaris semua orang bersorak gembira menyambut kehadirannya, kedua orang tuanya tak bisa menontonnya langsung. Karena pesawat tivi-nya sedang rusak dan belum punya uang untuk memperbaikinya.

Itulah barangkali kenapa lagu “Ojo Dibandingke” menggambarkan ketidak beraturan, bahwa polanya adalah tidak ada pola. Keteraturannya adalah tidak ada aturan. Ketidakterdugaannya adalah justru sesuatu yang mudah diduga. Dunia yang jumpalitan tak karuan. Semua orang menontonnya, sementara mamak bapaknya malah sekedar sibuk, mikirnya honor anaknya bisa dipakai pesawat televisi baru atau tidak!

Makane urip ki ora usah dibanding-bandingke, jangan sok tahu….
.
.
.
NB: Fenomena dipanggungkannya lagu “Ojo Dibandingke” di Istana Merdeka meninggalkan beberapa cerita di balik layar. Sebelum lagu ini dipilih, ia menyingkirkan lagu “Joko Tingkir Ngombe Dawet” yang konon lebih disukai Jokowi. Tapi lagu ini berakhir dengak cerita yang norak dan lebay. Judul dan liriknya diprotes, karena mengandung nama tokoh Joko Tingkir yang dianggap mencederai kagungan tokoh yang dianggap ulama. Sebagai peminat sejarah Tanah Jawa, tentu saya kaget dan menyayangkan. Kenapa “nama tokoh” jadi persoalan personal dan spesifik yang malah didaku sesakral itu?

Joko Tingkir itu bisa siapa saja. Karena Tingkir itu juga nama toponim yang terdapat di banyak tempat, yang tak hanya di satu tempat sebagaimana dituduhkan si pemrotes. Apalagi sebutan “Joko” yang nyaris umum. Sekedar penanda tahapan usia yang pasti dialami semua laki2 sebelum ia melepas keperjakaannya…

Lalu, sebagaimana latahnya kondisi sosial-politik hari ini. Setelah populernya sosok cilik Farrel Prayoga, kemudian ia dihadiahi status sebagai “Duta Kekayaan Intelektual”. Semakin kacau, karena di luar umurnya yang terlalu dini untuk paham apa itu “kekayaan intelktual”. Juga lagu2 yang dibawakannya nyaris imun terhadap hal tersebut. Walau genre-nya adalah lagu pop jawa, tapi ia tetaplah berada di wilayah budaya tradisi. Yang ketentuan hukum formal, belum terlalu mengikat kuat terhadapnya. Hubungan yang cair antara pencipta dan penyanyi, tak selalu bisa disamakan dalam sengkarut hak cipta dalam industri musik nasional.

Lagu pop-Jawa itu punya jalannya sendiri. Ia punya daya hidup yang berbeda, yang sama sekali tidak sama dengan gaya industri musik nasional yang menjadikan ajang pencarian bakat sebagai gaya membangun regenerasi. Hanya sekedar snobisme yang mengangkat sebuah bakat secara sesaat, tapi tak lama kemudian membantingkan secara keras sebagai bentuk pembunuhan berencana. Pop-Jawa punya caranya sendiri, gayanya berbeda. Kenapa ia tetap bisa lestari bahkan memiliki pasar yang realitasnya jauh lebih luas dan loyal. Sesuatu yang membuat orang Jawa tidak terlalu cepat “ilang Jawane”.

Makanya to, mbok ya (sekali lagi) aja dibanding-bandingke…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *