Pernah dengar tentang Youthful City Global Index? Ini adalah suatu laporan riset tentang generasi muda pada 2015. Mendata 55 kota di dunia untuk memetakan kota-kota mana saja yang dianggap ramah bagi anak muda serta memfasilitasi kehidupan mereka. Terbitnya laporan Youthful City ini menandakan bahwa anak muda bukan lagi kelompok yang diabaikan dalam pembangunan dan pengembangan kota. Bisa jadi mereka bahkan dianggap penentu landscape sebuah kota di masa depan.
Penelitian Youthful City menggunakan tiga dimensi utama. Pertama kebutuhan untuk hidup (life) meliputi suasana lingkungan, fasilitas kesehatan, akses digital, serta akses keterlibatan bagi warga sipil. Kedua adalah dimensi kerja (work) yaitu ketersediaan lapangan kerja bagi anak muda, pendidikan kewirausahaan serta ketersediaan fasilitas lembaga keuangan. Dimensi ketiga adalah bermain (play) yaitu ketersediaan ruang bermain bagi generasi muda, mulai dari public space, sarana olahraga, juga ajang menekuni passion seperti seni kreatif dan musik.
Agak menyedihkan mendapati hasil survei Youthful City tersebut. Kota Jakarta, yang dipilih untuk disurvei mewakili Indonesia, hanya menduduki posisi ke 41 dari 55 negara, tepat di bawah kota Mumbai yang menduduki posisi ke 40. Jakarta dianggap sebagai kota yang masih jauh dari ramah terhadap kalangan muda. Ini berbeda jauh tentunya dengan kota New York yang menduduki posisi pertama. Bila kota Jakarta yang termodern di Indonesia dianggap jauh dari ramah anak muda, bagaimana dengan kota-kota lain di Indonesia?
Tentu menjadi pertanyaan kita, mengapa perlu sekali membangun kota yang ramah bagi kalangan muda? Jawabannya tentu saja dapat kita mulai dari adanya bonus demografi di Indonesia, saat usia penduduk produktif mendominasi komposisi penduduk Indonesia. Implikasinya tentu saja membuat pemuda, kalangan muda menjadi penentu dalam menentukan arah masa depan bangsa. Pemimpin yang tampil dan terpilih, rata-rata akan berasal dari kalangan muda. Para pemimpin muda ini akan mewakili aspirasi orang-orang muda dalam menentukan kebijakan publiknya. Singkatnya, peran kalangan muda menjadi penentu masa depan bangsa, menjadi jauh lebih besar dari masa-masa sebelumnya.
Karena itu, generasi muda yang akan jadi penentu masa depan bangsa itu, harus dipersiapkan dengan sungguh-sungguh. Tanpa mempersiapkan dengan sungguh-sungguh, tanpa kita sadari negeri ini akan ditentukan nasibnya oleh orang-orang yang tak berwawasan kebangsaan, tidak berperikemanusiaan, dan juga tak mampu berkeadilan. Dan muara dari semua itu adalh disintegrasi bangsa. Ini masih ditambah resiko generasi muda yang tak sehat dan rentan penyakit. Akibat gizi buruk, dan perilaku hidup yang tak sehat di masa kecil mereka.
Dari beberapa pemimpin muda yang telah tampil, kota Surakarta termasuk yang telah memilih Walikota dari kalangan generasi muda. Secara umum, melihat visi misi Walikota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka, serta kiprahnya setelah beberapa bulan menjabat, perhatian yang diberikan Mas Wali untuk mempersiapkan generasi muda cukup besar.
Sebut saja pengembangan UMKM, sesuatu yang kini menjadi tumpuan banyak orang dari kalangan muda. Mas Wali sangat concern dalam upaya meningkatkan UMKM di kota Solo untuk dapat naik kelas. Menjadikan sektor ekonomi di kota Solo bertumpu pada wirausaha, sehingga fleksibel dan adaptif terhadap bencana maupun perubahan zaman. Sekaligus juga menciptakan ekosistem bisnis yang melibatkan pelaku industri, lembaga riset, lembaga pendidikan vokasi dan UMKM. Semuanya mulai dirintis kerja samanya melalui pembentukan coworking space, creative hub dan tentu saja technopark. Dari sana semua mata rantai ekosistem bisnis itu dipersiapkan untuk siap dengan digitalisasi, sebagai basis sistem perekonomian modern.
Disadari atau tidak oleh sebagian masyarakat, ada pergeseran budaya bisnis yang besar di era informasi ini. Informasi kini telah membuat bisnis dan usaha dapat dilakukan siapapun hanya dalam genggaman, tak harus oleh perusahaan besar dengan modal besar dan terikat aturan ketenagakerjaan yang ketat. Inefisiensi telah terpangkas jauh dengan adanya informasi, sehingga untuk suatu produksi dapat dikerjakan banyak orang di tempatnya masing-masing dengan efisien.
Pergeseran ini bukan berarti tak bersyarat. Ada syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menjadi pelaku usaha di era informasi ini. Tentu saja syarat utamanya, adalah kreativitas. Pelaku usaha masa depan adalah pribadi mandiri yang harus dapat mengambil keputusan mandiri pula. Di sinilah diperlukan kreativitas.
Kembali ke tantangan masa depan untuk mewujudkan kota yang ramah bagi kalangan muda, tentunya dimulai dengan usaha-usaha mempersiapkan lahirnya generasi yang kreatif. Dimulai dari pembangunan infrastruktur, sistem kesehatan dan sistem pendidikan yang berdimensi ‘life-work-play’. Kota mulai membangun public space, sarana olahraga, sarana kesehatan yang dapat diakses publik. Kesemuanya ini bila dimanfaatkan masyarakat dengan maksimal akan menaikkan kualitas hidup, bukan hanya dari sisi kesehatan, namun juga sisi kebahagiaan. Dan hal ini kita semua tahu, telah mulai dirintis oleh Mas Wali dan juga walikota-walikota sebelumnya.
Tetapi mungkin ada yang sering belum sempat kita lakukan, menyiapkan generasi muda yang gemar berolahraga. Menyiapkan di sini bukan hanya mempersiapkan sarana olahraga, tetapi menjadikan olahraga itu sendiri adalah bagian dari keseharian mereka. Sesuatu yang dilakukan rutin seperti makan dan minum serta belajar di sekolah.
Mengapa demikian dan bagaimana caranya? Pertama karena pembangunan kesehatan jasmani itu sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup generasi yang akan datang. Kita bisa mengambil contoh Korea Selatan, negara yang dalam tiga dekade ini melesat pesat menjadi negara maju. Di sana, ada perbedaan rata-rata tinggi badan masyarakatnya di era tahun 1950an dengan awal 1980an, saat Korea Selatan mulai beranjak menjadi masyarakat maju. Di tahun 1980an itu, rata-rata pemuda mencapai tinggi di atas 175 cm, berbeda hampir 15 cm dari tiga dekade sebelumnya. Pencapaian luar biasa ini tentu saja dicapai dengan kesadaran untuk meningkatkan gizi serta kesadaran berolahraga. Dari situlah lahir bangsa Korea Selatan yang ulet dan sukses sebagaimana kita kenal sekarang.
Kota Surakarta sendiri sesungguhnya kota yang beruntung, karena memiliki banyak fasilitas olahraga dan kesehatan. Bahkan Mas Wali sendiri berusaha mewujudkan ‘wellness tourism’ sebagai keunggulan kota Solo. Ini masih ditambah dengan adanya Fakultas Keguruan Jurusan Olahraga di Solo. Sehingga membangun kesadaran dan kebiasaan berolahraga untuk membangun kesehatan jasmani bisa dimulai di sekolah. Menambahkan kurikulum olahraga dalam muatan lokal.
Olahraga yang seperti apa? Olahraga apapun, karena pada dasarnya semua olahraga adalah baik, sepanjang dilakukan dengan terus menerus dan memang pembangunan kesehatan jasmani tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Sekolah memantau dan memastikan bahwa anak-anak berlatih olahraga setiap hari. Memantau mereka berolahraga bukan hal yang sulit saat ini. Hanya dengan ponsel, para guru dapat memastikan bahwa setiap muridnya berolahraga baik di rumah maupun di sekolah, sesuai dengan kondisi fisiknya masing-masing. Untuk itu dilakukan pencatatan setiap hari tentang kondisi fisik setiap anak. Mulai dari tinggi dan berat badan, hingga indikator kesehatan dan pertumbuhan lainnya. Secara periodik, dilakukan evaluasi terhadap capaian fisik mereka.
Bila ini berhasil dirintis di Solo, apalagi bisa diikuti di daerah-daerah lain, mungkin di era bonus demografi Indonesia akan memiliki generasi penerus yang sehat jasmani, bahkan mungkin pula akan lahir banyak atlet berprestasi. Dan rasanya kegiatan ini cukup sederhana untuk dilakukan. Sebagai info, olahraga tidak hanya baik bagi jasmani, tetapi juga kebiasaan berolahraga melahirkan jiwa sportif, tidak egois, ulet, kreatif dan tidak emosional. Suatu kualitas kepribadian yang sangat diperlukan bagi generasi muda agar tak menjadikan mereka mudah jatuh ke dalam hal-hal negatif.
Mens sana in corpore sano
Vika Klaretha Dyahsasanti