Pemimpin Kurang Literasi, Hanya Bikin Sensasi

Indonesia, negara yang kaya dengan keragaman. Keragaman berpotensi memunculkan perbedaan yang tidak bisa ditepis. Namun, Indonesia patut berbangga. Tepat pada Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia dikukuhkan menjadi bahasa persatuan. Bahasa Indonesia memungkinkan adanya komunikasi antarsuku, meruntuhkan dinding-dinding perbedaan, dan menjadi identitas nasional.

Nasib perjalanan bahasa Indonesia terus jatuh bangun. Selama masa penjajahan maupun setelahnya, bahasa Indonesia terus diperjuangkan untuk bisa menjadi bahasa resmi negara ini. Pada saat Jepang menduduki Indonesia pada 1942, Jepang hanya bisa menggunakan bahasanya sendiri. Setelah bahasa Belanda disingkirkan dan tidak boleh digunakan, Jepang berusaha mengajar orang Indonesia untuk berbahasa Jepang.

Ternyata, usaha Jepang tidak berhasil baik. Malah ini bisa membuat pemerintahan berjalan lambat dan bermasalah. Hingga akhirnya, bahasa Indonesia justru mengalami perlakuan yang lebih baik pada masa penjajahan Jepang dibandingkan ketika masa penjajahan Belanda. Kedudukan bahasa Indonesia menjadi semakin kuat setelah Jepang menyerah dan kalah.

Seiring berjalannya waktu, bahasa Indonesia terus berkembang. Dalam ranah pendidikan, ekonomi, kesenian, kehutanan, politik, bahkan media sosial, bahasa Indonesia punya peran dalam porsi besar. Untuk bisa cakap dalam beragam ranah ini, kemampuan berbahasa harus teruji. Kecakapan untuk hidup dan berkemampuan bahasa yang baik, mau tidak mau membawa kita pada area literasi. Literasi yang tidak hanya terbatas pada baca-tulis, tetapi Literasi dalam beragam jenis: numerasi, sains, digital, finansial, sampai budaya.

Bagaimana kualitas literasi rakyat Indonesia, atau para petinggi yang sering berorasi di sana-sini? Bagaimana juga dengan kualitas literasi digital netizen Indonesia? Selalu menarik ketika melihat bagaimana netizen merespons informasi di dunia maya. Lebih menarik lagi ketika melihat ada pemimpin yang “asal” bicara demi mementingkan golongannya.

Menarik bukan karena kagum, tetapi menarik untuk dikaji. Julukan netizen mahabenar yang sempat disinggung dalam kompas.id menegaskan bahwa “dengan literasi yang relatif rendah, masih banyak warganet yang tidak bisa membedakan antara berpikir kritis dan perundungan. Alhasil, netizen Indonesia mudah sekali terperangkap oleh penghakiman massal hari demi hari”.

Blogger muda sekaligus pelajar, Robi Aulia, sempat berujar, “Indonesia tidak kekurangan para pemikir, kita hanya kekurangan para pembaca”. Betul juga ‘kan? Banyak orang bisa berpikir, tetapi bagaimana dengan kualitas cara dan hasil berpikirnya, itu persoalan lain lagi. Di sinilah, kemampuan literasi memiliki andil yang sangat penting. Kuantitas dan kualitas kita dalam membaca dan berpikir kritis dipertaruhkan.

Dengan banyak membaca, pertimbangan-pertimbangan akan cenderung lebih terarah dan berdasar, tidak “ngasal”. Lebih mengutamakan kebenaran dan fakta dibandingkan impulsif semata. Lebih kritis dalam menyikapi informasi dan tidak terburu-buru mengambil konklusi. Apalagi pada era digital ini, netizen harus memperlengkapi diri dengan literasi digital supaya tidak tersesat dan disesatkan dalam tsunami informasi yang tiada henti. Menurut hasil survei literasi digital nasional 2020, Mulya Amri, Research Director Katadata, menyatakan bahwa indeks literasi digital di Indonesia belum mencapai skor baik (4.00). Indonesia baru mencapai skor di atas sedang (3.00). Skor paling rendah berkaitan dengan informasi dan literasi data, sedangkan skor paling tinggi berkaitan dengan kemampuan teknologi dan keamanan.

Jangan sampai kita membangun opini publik berdasar pikiran yang tidak kritis dan tidak memiliki dasar yang benar. Ingat bagaimana hebohnya netizen dengan pernyataan AHY yang membandingkan kondisi utang Indonesia pada era Jokowi dan SBY? Banyak respons netizen yang nyinyir ditujukan untuk si anak manja yang tidak melihat fakta dengan benar dan jeli, apalagi menganalisanya. Pemimpin kurang literasi hanya akan bikin sensasi, kurang tajam, dan menumbuhkan keprihatinan masyarakat pada kualitas tokoh-tokoh negeri ini.

Sempat juga tercium adanya kesan playing victim dari Anies Baswedan. Mundurnya Pilgub DKI dari 2022 ke 2024 dianggap telah menghalangi ambisi politiknya. Anies seperti membangun narasi yang menyatakan bahwa pemerintah pusat menunda Pilgub DKI hanya untuk menjegal dirinya maju sebagai capres 2024.

Meski terlihat sebagai respons biasa, tetapi ini mencerminkan sejauh mana kualitas pertimbangan dan berpikir kritisnya. Secara logika, ditundanya Pilkada dari 2022 ke 2024 pasti akan berpengaruh pada ratusan kepala daerah lainnya, baik walikota, bupati, maupun gubernur. Semuanya harus menunggu kurang lebih 3 tahun lagi untuk bisa mengikuti Pilkada serentak nasional 2024. Dan, sudah jelas bukan bahwa aturan Pilkada serentak nasional ini tidak dibuat untuk dirinya saja?

Sebagai netizen pun, kita perlu kritis dalam membaca dan merespons setiap informasi atau berita. Hoaks bertebaran di mana-mana. Respons masyarakat dari kalangan biasa sampai pejabat tinggi pun bisa benar, bisa salah. Bisa cerdas, bisa dangkal. Bisa akurat, bisa “ngasal”. Kabar tentang Jokowi yang mengundurkan diri dari kursi presiden pun bisa tidak hanya akan memengaruhi opini publik, tetapi bisa berpotensi membuat kegaduhan dalam kancah politik. Namun faktanya, berita ini tidak benar. Tidak ada informasi yang valid tentang hal ini.

Itu hanya salah satu hoaks, belum lagi hoaks lainnya. Ribuan orang di Indonesia meninggal dunia setelah vaksin Covid-19. Gatot Nurmantyo berjanji beri gaji Rp5 juta kepada seluruh rakyat jika menjadi presiden. Dan masih banyak lagi hoaks lainnya yang tersebar di internet, mulai politik, bencana alam, penjarahan, sampai iming-iming kerja tanpa susah payah untuk bisa dapat uang jutaan.

Tidak adanya pikiran yang kritis, indeks literasi digital yang rendah, pertimbangan yang tidak matang, dan wawasan yang sempit serta dangkal akan menjadikan hoaks semakin meraja lela. Banyak masyarakat berpola instan: baca sedikit dan sebarkan secepat mungkin! Ada informasi hanya baca judul dan kalimat pembukanya, lantas disebarluaskan tanpa mencari tahu dulu kebenarannya. Ambisi berbagi lebih kenceng dibandingkan kekritisan berlogika.

Guru, dosen, pelajar, bisa mendapatkan dan menggenjot kecakapan literasi mereka dengan lebih mudah. Bidang pendidikan sudah memfasilitasinya. Bagaimana dengan masyarakat kebanyakan? Berpikir kritis masih harus diperjuangkan! Seseorang bisa mudah tertipu karena tidak memiliki filter atau kecakapan berpikir kritis. Tidak bisa menyaring informasi dengan baik karena tidak tahu bagaimana menyaringnya dan dengan apa.

Kegandrungan masyarakat dalam menyebarkan informasi harus diimbangi dengan kemampuan literasi yang baik. Tantangan ini makin besar mengingat generasi sekarang adalah generasi yang kurang terlatih membaca konten yang panjang. Maunya hanya baca yang pendek-pendek. Maunya baca yang sudah dikemas menjadi IG swipe, dengan kalimat sesingkat mungkin, ringkas, padat, jelas, dan to the point.

Generasi sekarang sangat terlatih melihat layar, bergoyang, kedip-kedipan, dan baca konten sependek mungkin. Miris kalau nantinya generasi Indonesia ke depan hanya maju dalam hal bergoyang, tetapi pikiran tidak terlatih berpikir mendalam. Indonesia masih perlu pemimpin-pemimpin yang cakap, cerdas, kritis, dan mementingkan kepentingan Indonesia.

Bagaimana membangun kecakapan literasi dengan segala aspeknya ini di tengah-tengah perkembangan teknologi dan rasa impulsif masyarakat yang makin meninggi?

Literasi, meski terkesan biasa di telinga, menjadi kemampuan penting bagi setiap orang dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Seseorang tanpa literasi seperti makhluk hidup yang hanya hidup tanpa kualitas. Tanpa memiliki kemampuan literasi, sering kali malah bikin sensasi. Masyarakat, tenaga didik, tokoh-tokoh masyarakat, pemimpin-pemimpin negeri ini harus memiliki literasi yang baik supaya ide, opini, respons, penilaian, kritikan, bahkan teguran bisa disampaikan dengan elegan, berisi, berfaedah, dan mampu memengaruhi masyarakat dengan nilai-nilai yang benar dan berkualitas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *