Presiden-presiden RI Era Reformasi: Kapan Mereka Mulai Nyapres?

Para politisi mulai ramai mendeklarasikan diri akan menjadi capres pada 2024. Tentu kita jadi bertanya, apakah ini telalu cepat? Apakah efektif?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita mungkin bisa sedikit flashback ke pilpres-pilpres lalu.

Peristiwa terdekat yang terjadi tentu saja pencalonan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo menjadi Capres pada Pilpres 2014. Masuknya nama Jokowi sebagai kandidat presiden bisa dibilang cukup mendadak, setelah PDIP memenangkan pemilu legislatif. Sebelum itu, wacana tentang calon presiden tidak jauh dari nama-nama lama seperti Prabowo Subianto, Hatta Radjasa, bahkan tokoh sepuh Akbar Tanjung, dan yang konon dibilang paling potensial adalah Aburizal Bakrie….

Namun demikian Jokowi bukan tokoh yang tak dikenal. Ia fenomenal di jagad politik Indonesia. Seorang walikota yang sangat berprestasi, dan kemudian dipinang menjadi Gubernur DKI. Dalam masa relatif singkat (sekitar 1,5 tahun hingga menjelang Pilpres), Jokowi telah membuat sejumlah gebrakan. Antara lain yang cukup fenomenal adalah pembenahan Waduk Pluit yang dulu dihuni 1.600 pemukim liar sehingga menjadikan waduk itu dangkal dan tak efektif membendung banjir Jakarta.

Biasanya penggusuran selalu meninggalkan konflik sosial. Jokowi tidak menggusur secara paksa seperti gubernur-gubernur sebelumnya, melainkan direlokasi ke sejumlah rumah susun. Perpindahan itu tak menimbulkan gejolak. Bahkan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte terkejut karena Jokowi bisa merubah tempat yang dulu kumuh menjadi waduk yang asri, lengkap dengan taman kota yang sehat bagi anak-anak.

Waduk Pluit itu seolah menggenapi kekaguman khalayak pada kerja cepat Jokowi yang dimulai dengan memfungsikan kembali waduk Ria Rio hanya dalam 100 hari menjadi Gubernur.

Jokowi juga berhasil ‘membujuk’ pedagang kaki lima (PKL) Tanah Abang yang sebelumnya  berjualan di badan jalan sehingga memacetkan kawasan itu untuk pindah. Ratusan PKL pun pindah ke Blok G Pasar Tanah Abang. Di sana para PKL diberi tempat yang layak serta uang sewa yang murah. Kemacetan kawasan Tanah Abang pun berhasil diurai.

Jokowi juga melakukan program Penataan Kampung, Penataan Pasar dan Pembuatan Rumah Susun Marunda dan Muara baru, pembangunan 200 Rumah susun di Pulo Gebang, pembangunan Kampung Deret Tanah Tinggi, penataan kampung Cakung Barat, pembangunan Rusunawa di Rawa Bebek, pembangunan 8 blok Rumah Susun Daan Mogot.

Gebrakan Jokowi juga meliputi pemberian layanan kesehatan gratis bagi warga kurang mampu Jakarta melalui program Kartu Jakarta Sehat. Mewajibkan rumah sakit swasta untuk menambah perawatan kelas 3 sebanyak 40%. Di bidang pendidikan, Jokowi memberi dana bantuan pendidikan pada 320 ribu pelajar melalui program Kartu Jakarta Pintar. Jokowi juga berkonsentrasi kepada perbaikan transportasi massal cepat seperti MRT Jakarta, penambahan armada Transjakarta, dan peremajaan bus kota. Ia juga mengupayakan pengambilalihan pengelolaan Sumber Daya Air melalui akuisisi Aetra dan Palyja.

Dengan sejumlah gebrakan itu, tak mengherankan Jokowi mendapat penghargaan kepala daerah terbaik tingkat dunia, dan ini akhirnya yang membuatnya diinginkan banyak orang untuk menjadi calon presiden. Akhirnya PDIP mengusungnya sebagai Capres 2014. Banyak pengamat mengatakan, prestasi luar biasa Jokowi semasa kepala daerah, baik sebagai Walikota maupun Gubernur, akan menjadi standar yang dituntut masyarakat pada calon-calon presiden di masa depan, dan ini tak mudah untuk dipenuhi. Rakyat di masa depan tak akan mudah silau hanya oleh penampilan fisik dan keramahan ala politisi.

Bisa disimpulkan, hiruk pikuk pencalonan Jokowi baru terjadi menjelang Pemilu Presiden 2014. Bukan bertahun-tahun sebelumnya seperti yang terjadi saat ini. Kisah serupa juga terjadi pada presiden-presiden sebelumnya setelah era reformasi. Baik BJ Habibie, Gus Dur, Megawati bahkan SBY. Mereka semua bukan orang yang sedari awal mematok target menjadi Presiden. Mereka orang yang berprestasi, diapresiasi dan kemudian moment mempertemukan dengan takdir menjadi Presiden.

Setahun sebelum Soeharto lengser, dengan kemenangan Golkar yang nyaris mutlak pada Pemilu 1997, tentu BJ Habibie tak akan mengira bila hanya dalam setahun ia menjadi Presiden RI. Demikian juga Gus Dur. Tak ada hujan, tak ada angin, namanya diajukan sebagai calon Presiden dalam Sidang Istimewa MPR 1999. Naiknya Megawati sebagai Presiden juga cukup cepat, tak terduga. SBY mendapat momen untuk mencalonkan diri sebagai capres pada 2004 juga hanya dalam hitungan bulan sebelum Pemilu.

Sekali lagi, benang merahnya adalah prestasi. Prestasi seperti apa? Tentu saja mereka selalu menjadi tokoh pelopor. Menjadi yang pertama, dan bukan sekadar pengekor. Apa yang menjadi kunci sukses Presiden Habibie misalnya, berbeda dengan Gus Dur, Megawati dan SBY. Masing-masing punya kiat sukses sendiri. Tidak ada yang cuma meniru.

Gusdur dikenal sebagai jurnalis yang berani, dan banyak mengkritisi masalah-masalah sosial serta menawarkan solusi. Sesuatu yang tabu dan berbahaya di era Orde Baru. Sebagai Ketua Umum PB NU, Gus Dur mengawal NU menjadi ormas Islam yang menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Ini mungkin terobosan besar Gus Dur yang tak dilakukan banyak pemimpin Islam lain masa itu. Gus Dur menerima keberagaman, kebhinekaan. Di samping Gus Dur menawarkan konsep keagamaan yang moderat. Tak heran Gus Dur pernah dianugerahi Ramon Magsaysay Award pada tahun 1993, sebuah penghargaan yang cukup prestisius untuk kategori Community Leadership.

BJ Habibie lebih dulu dikenal sebagai ilmuwan hebat melalui perannya mendirikan industri pesawat terbang Indonesia dan mendorong perkembangan sains di Indonesia. Habibie juga berperan penting dalam tranformasi politik di Indonesia. Dia dijuluki bapak demokrasi karena berhasil mengantar Indonesia ke era demokrasi setelah 32 tahun berada di bawah pimpinan Suharto dan rezim otoriter Orde Baru.

Nama Megawati tentu tidak diragukan lagi. Sejak dulu ia terkenal sebagai pemimpin perempuan yang berani. Di masa Orde Baru, ia bahkan berani menjadi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia. Partai yang dianggap oposan dari pemerintah Orde Baru. Ini artinya dia siap untuk ‘dihabisi’ Soeharto. Berbagai cara digunakan Soeharto untuk menurunkan Megawati, tetapi Megawati tak pernah gentar. Keberaniannya bahkan melebihi kebanyakan pria yang kemudian mengaku sebagai tokoh reformasi.

Bahkan SBY, yang kini sering ditertawakan karena terlalu banyak ‘curhat’ dan merasa prihatin, bukan tokoh tanpa prestasi. Di awal reformasi, SBY pernah dilema saat harus memilih meneruskan karir sebagai TNI atau menjadi menteri. Presiden Abdurrahman Wahid memintanya menjadi menteri. Sehingga ia harus pensiun lima tahun lebih cepat dari TNI. Peristiwa ini ditengarai menghalangi SBY untuk menjadi KASAD. SBY akhirnya menjadi Menteri Pertambangan dan Energi di Kabinet Persatuan Nasional. Karier militer SBY berakhir.

SBY pensiun dengan pangkat Jenderal Bintang Tiga. Meski kemudian dianugerahi pangkat Jenderal Kehormatan Bintang Empat oleh Gus Dur di tahun 2000. Namun dibalik peristiwa itu, nama SBY dalam dunia politik justru semakin meroket. Hingga akhirnya dicalonkan sebagai calon presiden oleh Partai Demokrat pada 2004. Pada Pemilu 2004 itu, partai Demokrat sebagi partai baru langsung membuat kejutan masuk dalam 5 besar pemenang Pemilu Legislatif. Seperti juga kemenangan Partai Demokrat yang tak tertebak, kemunculan SBY sebagai capres juga hanya dalam hitungan bulan.

Kisah di atas memberi kita dua pelajaran penting: para Presiden era reformasi kemunculannya sebagai capres tidak pernah direncanakan dalam bertahun-tahun. Hanya dalam hitungan bulan. Mereka adalah orang yang menekuni pekerjaannya dengan sungguh-sungguh, hingga berprestasi. Prestasi itulah yang kemudian menjadikan mereka dipilih sebagai calon presiden. Artinya, menjadi Presiden tak pernah menjadi target jangka panjang mereka. Berprestasi dulu, menjadi Presiden adalah buahnya.

Vika Klaretha Dyahsasanti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *