Di tahun-tahun sebelum pandemi, kita semua merayakan hari kemerdekaan dengan mengadakan serangkaian acara yang ramai. Mulai dari lomba-lomba, pawai, dan yang serius: tirakatan dan upacara pengibaran bendera Merah-Putih. Keprihatinan akibat Pandemi Covid-19 yang melanda dunia sejak tahun 2020, otomatis membuat peringatan Hari Kemerdekaan dalam 2 tahun terakhir ini tak lagi dapat dirayakan dengan terbuka dan meriah. Tetapi kita tak perlu bersedih. Makna kemerdekaan justru dapat kita hayati dengan kesederhanaan.
76 tahun lalu, pada Jumat, 17 Agustus 1945, proklamasi Indonesia dibacakan dalam kesederhanaan. Dunia dan juga Indonesia sedang prihatin usai Perang Dunia Kedua. Tak banyak yang tahu bila naskah Proklamasi diketik dengan mesin ketik pinjaman. Ketika naskah Proklamasi yang telah dirumuskan disetujui dan akan diketik oleh Sayuti Melik, baru disadari bila di rumah Laksamana Maeda yang menjadi tempat perumusan Proklamasi itu tidak ada mesin ketik huruf latin. Yang ada hanyalah mesin ketik dengan huruf Kanji.
Satzuki Mishima, ajudan Laksamana Maeda, kemudian pergi dengan mengendarai jeep menuju Kantor Perwakilan Angkatan Laut Jerman (Kriegsmarine) untuk meminjam mesin tik huruf latin. Dari sana didapatlah mesin ketik Korvetten-kapitan Dr. Hermann Kandeler yang kemudian digunakan untuk mengetik naskah Proklamasi.
Acara Proklamasi sendiri berlangsung sederhana pada pagi harinya. Soekarno sedikit demam saat itu. Tepat pukul 10.00 Proklamasi dibacakan oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Pada saat teks naskah Proklamasi itu dibacakan oleh Bung Karno, waktu itu tidak ada yang merekam suara ataupun video, hanya ada dokumentasi foto. Suara asli dari Ir. Soekarno saat membacakan teks naskah Proklamasi yang sering kita dengar saat ini bukan direkam pada tanggal 17 Agustus 1945. Suara asli Soekarno itu direkam pada tahun 1951 di studio Radio Republik Indonesia (RRI). Tak adanya rekaman langsung proklamasi itu makin menguatkan kesederhanaan yang meliputi suasana proklamasi.
Untuk mengibarkan bendera merah putih, ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed. Sebelumnya, seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Di kemudian hari, Peringatan Proklamasi Kemerdekaan selalu ditandai dengan pidato Presiden. Bila kita amati , dinamisnya situasi politik, ekonomi serta sosial-budaya selalu mempengaruhi isi pidato kenegaraan Presiden pada Hari Peringatan Kemerdekaan tersebut.
Presiden Soekarno sebagai orator ulung, selalu memanfaatkan momen pidato tersebut untuk menanamkan semangat kemerdekaan, sikap patriotis dan kebangsaan pada rakyatnya. Soekarno juga tak henti-henti membangkitkan optimisme bangsa untuk menatap masa depan. Pidatonya juga kerap diberi judul. Salah satu yang terkenal adalah Pidato pada tanggal 18 Agustus 1966 yang diberi judul ‘Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah’. Pidato ini sekaligus menjadi pidato kenegaraan terakhir Presiden Soekarno pada Hari Peringatan Kemerdekaan Indonesia.
Pada masa Presiden Soeharto, pembangunan masif yang dilakukan Orde Baru sering menjadi topik utama Pidato Peringatan Kemerdekaan. Pada masa Soeharto pula Pidato Presiden dilakukan sehari sebelum Peringatan Detik-detik Proklamasi. Pawai Pembangunan mulai diadakan sebagai bagian dari Peringatan Hari Kemerdekaan. Pidato pertama Soeharto pada perayaan Kemerdekaan RI dilakukan pada 16 Agustus 1967, dan tepat 30 tahun kemudian, Soeharto membacakan pidato terakhirnya di Hari Peringatan Kemerdekaan RI.
Sebenarnya di awal pemerintahannya, Presiden Soeharto membawa Orde Baru melakukan perbaikan terhadap masalah-masalah yang dihadapi saat Orde Lama. Pembangunan menjadi prioritasnya. Sayang di akhir masa jabatannya, keadaan negara justru jauh dari prioritas awal pemerintahannya yang ingin memperbaiki kesejahteraan rakyat. Alih-alih kesejahteraan meningkat, Indonesia justru menghadapi krisis ekonomi, ditambah kasus korupsi, pembungkaman hak berpendapat dan berdemokrasi yang berdampak timbulnya banyak masalah sosial.
Setelah Soeharto lengser, Presiden Habibie mengemban tugas yang berat untuk memulihkan Indonesia dari krisis ekonomi dan konflik sosial yang terjadi. Pidato kenegaraan Presiden Habibie pada Peringatan Hari Kemerdekaan berisi permohonan maaf atas pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. Khusus pada Peringatan Kemerdekaan RI tahun 1999, Presiden Habibie menegaskan agar rakyat sebaiknya rakyat tidak memilih perubahan melalui Revolusi.
Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, separatisme membayang-bayangi keutuhan NKRI. Pidato Gus Dur banyak menekankan tentang nilai-nilai kebangsaan dan demokrasi. Gus Dur pula yang membuat protokoler Istana tak lagi ketat dan gaya komunikasinya selalu mampu mencairkan suasana berkat guyonan-guyonan Gus Dur.
Namun demikian Gus Dur meninggalkan perubahan yang fundamental bagi Bangsa Indonesia dengan kebijakan-kebijakan yang mendukung pluralisme. Konghucu diakui sebagai salah satu agama, Imlek diakui sebagai hari raya, serta perubahan nama Irian menjadi Papua. Pidato-pidato Gus Dur juga selalu menekankan pada kebebasan dan kesamaan hak.
Kondisi ini masih terus dirasakan pada masa pemerintahan Presiden Megawati, meski telah terjadi pemulihan ekonomi. Presiden Megawati menekankan untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme sebagai komitmen untuk memulihkan krisis ekonomi.
Pada masa Presiden SBY dan Presiden Joko Widodo, suasana sudah lebih kondusif. Dalam pidato kenegaraan pertamanya di Hari Peringatan Kemerdekaan, SBY menekankan ajakan rekonsiliasi dan menyatakan bahwa kebijakannya adalah meneruskan kebijakan pemerintah sebelumnya. Pada pidato kenegaraan terakhirnya sebagai presiden, SBY meminta maaf atas semua khilaf selama menjabat, disertai janji untuk membantu presiden baru.
Sementara itu, Presiden Jokowi menekankan bahwa pemerintahannya menekankan pada perbaikan ekonomi dan pemerataan pembangunan ke seluruh pelosok. Presiden Jokowi juga melakukan tradisi baru dengan menggenakan busana adat pada setiap Peringatan Hari Kemerdekaan RI.
Proklamasi dan kisah-kisah Pidato kenegaraan Presiden itu bukan saja membuat kita kembali sadar sejarah panjang kemerdekaan Indonesia, tetapi juga memupuk kembali jiwa patriotisme dan nasionalisme yang kian hari kian meluntur tergerus arus globalisasi dan narasi-narasi anti keberagaman yang makin masif disebarkan. Termasuk juga menahan laju ideologi-ideologi trans nasionalisme yang mengancam keutuhan NKRI. Agar Indonesia tangguh dan terus berus bertumbuh.
Dirgahayu Indonesia
#vkd
Proklamasi dan Kisah Pidato Kenegaraan Presiden
Read Also
Recommendation for You
Setelah punya rumah, apa cita-citamu?Kecil saja: ingin sampai rumahsaat senja supaya saya dan senja sempatminum…
Jelang 2024, tak hanya yang terkait Pilpres yang seru. Yang terkait Pemilu legislatif sebenarnya juga…
Politik! Kata ini gampang sekali membuat semangat seseorang membuncah, bergairah ketika membahasnya, dan akan semakin…
Pesta demokrasi pemilihan umum 2024 semakin mendekat. Nama Ganjar dan Ridwan Kamil akhir-akhir ini makin…