Sejumlah petinggi PB Nahdlatul Ulama (PBNU) dari Syaifullah Yusuf, Erick Thohir, KH Yahya Cholil Staquf, hingga Yenny Wahid bersama-sama menekan tombol permulaan peringatan Satu Abad Nahdlatul Ulama di Jakarta pada 20 Juni 2022. Rangkaian acara itu bertema ”Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru”.
Putri Gus Dur, Yenny Wahid dipilih menjadi Ketua Panitia Pelaksana Satu Abad NU ini. Sembilan program yang akan digelar, termasuk Religion of Twenty (R-20), sebuah forum pemimpin agama seluruh dunia, yang juga menjadi bagian dari kegiatan G20. Abad kedua NU diharapkan menjadi kebangkitan NU dalam menjaga keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia maupun partisipasi dan kiprah di dunia internasional.
NU juga akan mereaktualisasi nilai-nilai fundamental gerakan NU yaitu menjaga tradisi keagamaan yang moderat, di tengah menguatnya gerakan-gerakan ke arah konservatisme, bahkan ekstremisme. Pada sisi lain, NU juga tidak terjebak pada kepentingan jangka pendek, tetapi fokus memperkuat umat agar bisa beradaptasi dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi serta informasi.
Nahdlatul Ulama (NU) dengan anggota sekitar 110 juta orang, menjadi organisasi Islam terbesar di dunia, sekaligus badan amal yang mengelola pondok pesantren, sekolah, dan rumah sakit dan pernah menjadi partai politik di Indonesia. NU didirikan pada 31 Januari 1926 di Surabaya, atas prakarsa dari K.H. Hasyim Asy’ari bersama ulama-ulama lain sebagai wadah organisasi agar Islam tradisional di Indonesia dapat dipertahankan.
Upaya mempertahankan Islam tradisional sudah dirintis sebelumnya saat K.H. Mas Mansur dan Kiai Wahab mendirikan Nahdlatul Wathan yang artinya “kebangkitan tanah air” pada 1914. Nahdlatul Wathan berkembang pesat. Cabang-cabangnya pun berdiri di mana-mana. Pada tahun 2019 di Ampel, Surabaya, berdiri majelis diskusi dan madrasah bernama Taswirul Afkar yang diharapkan dapat melestarikan Islam tradisional. Uniknya, Kiai Wahab dan Kiai Mas Mansur yang menjadi pendiri Nahdlatul Wathan merupakan murid langsung dari pendiri organisasi Islam-reformis Muhammadiyah, yaitu Kiai Haji Ahmad Dahlan.
Muhammadiyah yang lahir terlebih dulu, kerap berpolemik dengan golongan Islam-tradisional yang kemudian menjadi pemantik lahirnya NU. Kiai Wahab dan para kiai Islam-tradisional lainnya, merasa sangat perlu membentengi Islam Nusantara karena beberapa tata cara ibadah keagamaan mereka kerap ditentang golongan Islam-reformis yang digawangi misalnya oleh Al-Irsyad dan Muhammadiyah.
Maka, pada 31 Januari 1926, di kediaman Kiai Wahab, para kiai membentuk suatu organisasi kemasyarakatan Islam yang dinamakan Nahdlatul Ulama atau “kebangkitan para ulama”. NU memperkokoh Islam tradisional di Hindia Belanda saat itu. Keputusan itu merupakan langkah bersejarah karena setelah NU didirikan, sebagian besar kiai mau melibatkan diri mereka dalam sebuah organisasi berskala nasional dengan program kegiatan yang luas. Pandangan keagamaan NU kerap dianggap “tradisionalis” karena menoleransi budaya lokal selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam serta mengakomodir budaya dan adat di masyarakat.
NU berkembang cepat pada awal 1930-an. Belum pernah terjadi dalam dunia Islam, sebuah organisasi yang dipimpin para ulama berhasil menarik massa pengikut sedemikian banyak. Pada kurun waktu 1910-an hingga 1920-an itu, organisasi Islam modernis lebih banyak didirikan daripada organisasi Islam tradisional. Yang terbesar adalah Muhammadiyah, yang didirikan di Yogyakarta pada 1912. Muhammadiyah merumuskan pola aktivitas yang kemudian banyak ditiru kaum modernis lainnya seperti Persatuan Islam (Persis) dan Al-Irsyad.
Struktur organisasi NU berbeda dari organisasi kaum Islam modernis itu. Pengurus besar Nahdlatul Ulama atau PBNU terbagi atas dua badan, yaitu Syuriah atau Badan Keulamaan, yang terdiri dari para ulama dan Tanfidziah atau Badan Eksekutif, yang beranggotakan orang biasa dan bukan kiai (ulama). Sebagian besar anggota Tanfidziah adalah pedagang dan pengusaha UMKM. Badan Syuriah diberi wewenang di bidang legislatif dan keagamaan, sedangkan Tanfidziah memegang peran administratif. Hasyim Asy’ari, ulama yang paling disegani, dipilih sebagai Ketua Syuriah dan diberi gelar Rais Akbar (Ketua Tertinggi).
NU kemudian secara sah diakui pemerintah kolonial pada 1930 yang mengakibatkan hubungan antara kaum modernis dan kaum tradisionalis Islam sempat tegang. Kaum modernis menuduh NU berkolusi dengan Belanda. Forum terbuka untuk membahas masalah-masalah agama sering berubah menjadi perdebatan sengit dan saling caci maki. Hingga akhirnya terjadi Muktamar Banjarmasin tahun 1935.
Pada Muktamar di Banjarmasin tahun 1935, NU membuat keputusan yang menarik tentang pembelaan negeri dari ancaman musuh. Membela negeri dari ancaman musuh adalah wajib, meskipun di negeri kita syariat Islam tidak berlaku secara formal. NU membuat keputusan untuk melindungi tanah air dan bangsa dari ancaman timbulnya anarki yang lebih besar tanpa melihat sistem kekuasaan yang berlaku. Sejak itulah NU menjadi organisasi Islam yang paling bersemangat kebangsaan dan kerap menjadi perisai bagi keutuhan NKRI.
Menjelang kemerdekaan Indonesia, NU melalui wakil-wakilnya turut serta merumuskan Pancasila dan UUD 1945. Kemudian disusul Resolusi Jihad NU pada 22 Oktober 1945 yang mewajibkan umat Muslim melakukan jihad fi sabilillah untuk membela negara RI yang baru diproklamasikan. Ketika kemerdekaan Indonesia tercapai dan diakui sebagai negara berdaulat yang sah, Indonesia harus dibela dari ancaman penjajahan kembali oleh Belanda. KH. Hasyim Asy`ari mewajibkan segenap umat Islam, khususnya warga NU untuk berperang melawan sekutu. Hingga akhirnya muncul kaidah Hubbul Wathan Minal Iman (mencintai Tanah Air adalah bagian dari iman).
Semangat Hubbul Wathan Minal Iman tersebut sampai saat ini tetap digelorakan oleh kaum Nahdliyin di seluruh dunia termasuk juga dengan mereka yang memiliki agama berbeda-beda (ukhuwah wathaniyah). Kaum ulama NU selalu memperjuangkan kedamaian. Inilah salah satu peran terbesar NU bagi Indonesia.
NU juga mempunyai kedekatan hubungan dengan Presiden RI yang pertama, Soekarno. Pada Muktamar Alim Ulama se-Indonesia tahun 1953 di Cipanas, diputuskan untuk memberi gelar Presiden Soekarno sebagai Waliyul Amri Dharuriy bis-Syawkah (Pemimpin Pemerintahan yang berkuasa dan wajib ditaati). Bila dipandang dari sudut nasionalisme, NU dan Soekarno selalu menempatkan kepentingan nasional, kepentingan bangsa di atas kepentingan orang-perorang, kelompok atau golongan.
Saat membuka Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama di tahun 2019, Presiden Joko Widodo mengajak semua komponen bangsa menjaga dan mempertahankan trilogi persaudaraan dalam keadaan apa pun. Termasuk dalam kontestasi politik. Trilogi persaudaraan tersebut dirumuskan NU sebagai ukhuwah wathoniyah (persaudaraan dalam kebangsaan), ukhuwah islamiah (persaudaraan dalam Islam), dan ukhuwah insaniyah atau basyariyah (persaudaraan dalam kemanusiaan). Ukhuwah basariyah memungkinkan hubungan kemanusiaan yang melintasi sekat-sekat keagamaan maupun kebangsaan.
Trilogi persaudaraan itu selama ini terbukti mampu menjaga Indonesia yang terdiri dari beragam etnik dan agama tetap bersatu hingga hari ini. Terkait dengan menjaga persaudaraan seperti dalam trilogi persaudaraan, NU mendukung komitmen Imam besar Al Azhar dan Paus Fransiscus yang dituangkan dalam Human Fraternity Document atau Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan karena sejalan dengan konsep persaudaraan yang selama ini diperjuangkan NU melalui cara berpikir keislaman yang tidak mempertentangkan diri dengan budaya, kearifan lokal, dan kebangsaan.
NU telah banyak berkontribusi dalam merawat kemerdekaan dan menjaga persatuan Indonesia. NU selalu mencegah siapa pun yang ingin mengganti dasar negara Pancasila. Karena bagi NU, Pancasila adalah solusi kebangsaan yang telah jadi konsensus bersama. Tidak heran dari NU lahir tokoh-tokoh besar Indonesia yang selalu menjunjung tinggi kemanusiaan dan kemajemukan di masyarakat.
Tentu tak ada yang tak mengenal K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Gus Dur bukan hanya Presiden keempat Indonesia, tetapi juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum PBNU. Semasa aktif sebagai Pengurus NU inilah, NU berkomitmen setia menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Gus Dur sebagai negarawan menjadi tokoh bangsa yang menerima keberagaman, mengayomi dan terbuka terhadap semua kalangan, tidak hanya terhadap kalangan umat Islam. Sebagai Presiden, Gus Dur menetapkan agama Konghucu menjadi agama yang diterima di Indonesia. Gus Dur juga mencabut larangan perayaan Imlek dan yang terpenting menghilangkan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dengan mencabut peraturan soal Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia (SBKRI).
Di tahun 2022 dalam Muktamar NU ke 34 di Lampung, K.H. Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya terpilih menjadi Ketua Umum PBNU periode 2022-2027. Gus Yahya pernah menjadi Juru Bicara Presiden di era Gus Dur. Gus Yahya pun dilantik Presiden Jokowi sebagai Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Sebagai ulama, Gus Yahya banyak mencatat prestasi di dunia internasional. Di tahun 2014, Gus Yahya menjadi salah satu inisiator pendiri institut keagamaan Bait ar-Rahmah li ad-Da’wa al-Islamiyah Rahmatan li al-‘Alamin di California yang mengkaji agama Islam untuk perdamaian dan rahmat alam.
Gus Yahya sering didaulat menjadi pembicara internasional di luar negeri. Dalam forum internasional ini, Gus Yahya menyerukan konsep rahmat, sebagai solusi bagi konflik dunia, termasuk konflik yang disebabkan agama seperti radikalisme dan terorisme. Ia menawarkan perdamaian dunia melalui jalur-jalur penguatan pemahaman agama yang damai. Gus Yahya kemudian menawarkan strategi dan model perdamaian dunia sebagaimana yang selama ini telah dipraktikkan warga NU.
Adik Gus Yahya, Yaqut Cholil Qoumas atau dikenal sebagai Gus Yaqut menjabat sebagai Menteri Agama di Kabinet Indonesia Maju. Semenjak muda Gus Yaqut aktif dalam organisasi kepemudaan NU yaitu GP Ansor. Gus Yaqut terkenal setia membela NKRI dan Pancasila. Pandangan-pandangannya moderat dan banyak menyuarakan pemikiran untuk mencegah maraknya paham-paham intoleransi dan radikalisme.
Sesaat setelah dipilih Presiden Jokowi sebagai Menteri Agama, Gus Yaqut menunjukkan bahwa dirinya adalah menteri agama untuk semua agama, bukan hanya agama Islam saja. Sebagai Menteri Agama pun, Gus Yaqut tetap menunjukkan komitmennya untuk memberantas paham-paham intoleransi dan radikalisme demi keutuhan NKRI.
Masih banyak tokoh-tokoh lain berlatar belakang NU yang teguh pada komitmen kebangsaan dan persatuan di Indonesia. Inilah salah satu peran dan kontribusi Nahdatul Ulama (NU) sangat besar dalam sejarah perjuangan bangsa, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan, terutama dalam membentengi NKRI dan Pancasila.
Fatimah Wardoyo