Meski tak mencuat secara masif, beberapa orang telah menyatakan diri secara publik bahwa mereka memiliki orientasi seksual yang tak biasa. Mulai dari yang menganggap dirinya beda dari gender biologisnya, yang menyukai sesama jenis, sampai yang menyatakan dirinya non-biner. Disadari atau tidak, dan tidak semua terekspos, Indonesia harus menyikapi hal ini dengan tepat.
Belum lama ini, seorang mahasiswa di Universitas Hasanudin menyatakan dirinya bergender non-biner atau netral. Ia menyatakan hal tersebut ketika menjawab pemimpin fakultas yang menanyakan jenis kelaminnya. Sontak, jawaban tersebut membuat banyak orang kaget dan berujung pada pengusiran dirinya dari ruangan tersebut oleh pihak kampus.
Peristiwa pengungkapan identitas yang memiliki orientasi seksual yang tidak wajar ini tidaklah terjadi sekali ini saja. Bahkan, di Indonesia, konsep gender non-biner bukanlah sesuatu yang baru, tetapi masih dianggap tabu. Meski begitu, sampai sekarang kita tak pernah tahu bagaimana sejatinya Indonesia menerima kondisi ini.
Bicara tentang orang non-biner berarti bicara tentang kenetralan, tidak bisa digolongkan sebagai laki-laki atau perempuan. Orang non-biner tidak mengidentifikasikan dirinya secara eksklusif, tetapi bisa bervariasi. Mulai dari “agender” atau tidak bergender, “bigender” atau sekaligus menjadi laki-laki dan perempuan, dan “fluidgender” atau fleksibel. Pengalaman gender dan identitas seorang non-biner akan berubah-ubah. Karena itulah, orang non-biner memiliki sebutan yang berbeda-beda, seperti demiboy, demigirl, dan demifluida.
Tak hanya non-biner, transgender pun perlahan bisa merebak. Jika non-biner tidak menggolongkan dirinya sebagai laki-laki atau perempuan. Transgender justru tidak dapat mengidentifikasi jenis kelaminnya sejak lahir atau secara biologis. Kedua fakta ini tetaplah akan menjadi bagian penting untuk ditelusuri lebih serius dan disikapi dengan tepat.
Akankah mereka diterima secara terbuka dalam berbagai bidang kehidupan? Apakah sebaiknya mereka diberi layanan konseling untuk menolong mereka kembali ke jati diri sebagaimana Tuhan menciptakannya? Atau, lebih baik mereka ditolak? Tidak tahu .. tetapi bukan berarti tidak ada perhatian. Beberapa negara telah menerima orang-orang dengan orientasi seksual yang bervariasi ini, bahkan melegalkan pernikahan sesama jenis. Dan, beberapa negara yang lainnya memilih bersikap tegas dan tidak melegalkannya. Namun, bukan berarti Indonesia harus ikut-ikutan. Indonesia memiliki nilai-nilai, norma-norma, dan pertimbangan-pertimbangan dalam banyak aspek untuk memutuskan dalam menyikapi keberadaan mereka. Sejauh mana keadaan atau mobilitas orang non-biner maupun transgender di Indonesia ini?
Salah satu suku terkuat di Indonesia, suku Bugis, mengakui adanya lima gender: Orawane (laki-laki), Makkunrai (perempuan), Calalai (laki-laki perilaku seperti perempuan), Calabai (perempuan perilaku seperti lak-laki), dan bissu (perpaduan semua gender). Bissu dianggap sebagai makhluk spiritual karena dapat mewujudkan kekuatan laki-laki dan perempuan sekaligus. Norma dalam suku Bugis ini tentu akan menjadi pertimbangan tersendiri bagi Indonesia dalam menyikapi keberadaan kelompok non-biner dan transgender ini. Bagaimana dengan daerah atau kota lainnya?
Ternyata, kota Depok memiliki panti jompo khusus waria. Panti jompo, yang juga merupakan rumah singgah ini, didirikan oleh Yulianus Rettoblaut, Ketua Forum Komunitas Waria Indonesia. Panti jompo khusus waria ini menjadi yang pertama di dunia. Tak hanya itu, masih ada Komunitas Transpuan Fajar Sikka di Kabupaten Sikka, NTT, yang dibentuk oleh Bunda Mayora Victoria. Ia adalah seorang waria yang kini tengah menjadi pejabat publik pertama dari kalangan transpuan di Indonesia. Kepandaiannya dalam berkomunikasi dan mudah dekat dengan anak-anak membuatnya giat memajukan pendidikan anak-anak di daerahnya. Selain itu, banyak kegiatan kemasyarakatan lainnya yang digerakkan olehnya.
Beberapa tahun silam, Florensia, seorang ibu di NTT, juga membagikan kisah hidupnya yang memiliki tiga anak transpuan. Mengingat keberadaan ketiga anaknya ini, Florensia menganggapnya semua ini adalah takdir Tuhan. Benarkah ini takdir Tuhan? Atau, ada yang kurang tepat dalam sisi pendidikan, lingkungan, pengasuhan, dan mungkin pengalaman tertentu yang dialaminya? Bagaimana menurut Anda?
Bagaimana jika secara terbuka mereka yang termasuk kelompok non-biner dan transgender ini memublikasikan dirinya secara terang-terangan? Seorang aktivis dan konsultan gender, Tunggal Pawestri, menyatakan bahwa pada masa mendatang akan semakin banyak anak muda yang terang-terangan mengidentifikasi gendernya sebagai non-biner. Siapkah Indonesia menghadapi keberadaan mereka? Belum lagi jika terkait segala pandangan masyarakat yang mungkin cenderung menolak mereka?
Di dunia, ada Demi Lovato, seorang penyanyi yang memublikasikan dirinya sebagai seorang non-biner. Ia mengubah panggilannya dari she/her (dia untuk jenis kelamin perempuan) menjadi they/them (mereka). Bahkan, Utada Hikaru (penyanyi kenamaan Jepang), Sam Smith, Ellen Page yang akhirnya mengganti namanya menjadi Ellion Page, dan masih banyak deretan artis lainnya yang mengindentifikasi dirinya sebagai non-biner. Bahkan, Katje van Loon pernah menulis blog dengan ide membentuk Hari Internasional untuk Non-Biner. Hari tersebut dinyatakannya jatuh tepat di antara Hari Internasional untuk Perempuan dan laki-laki.
Bagaimana dunia pendidikan merespons hal ini? Akankah semua lapisan masyarakat menerima mereka dengan baik? Bagaimana dengan bidang politik dan bidang-bidang lainnya? Tak lagi bisa dimungkiri bahwa keberadaan kelompok non-biner dan transgender sudah makin merebak. Ini menjadi hal yang perlu disikapi dengan serius. Karena selain tidak semua masyarakat menerima mereka, kita juga dihadapkan pada nilai, norma, agama/kepercayaan, dan hak-hak hidup bagi manusia. Bagaimana Indonesia melihat dan merespons fakta ini dengan bijaksana?