Seiring dengan penobatan GPH Bhre Cakrahutomo Wiro Sudjiwo menjadi KGPAA Mangkunagoro X, kisah-kisah seputar sejarah Mangkunegaran menjadi menarik perhatian banyak pihak. Termasuk juga sejarah tentang Pangeran Sambernyawa, yang kemudian menjadi Mangkunagara.
Kali ini saya mencoba menulis tetang Pangeran Sambernyawa sebagaimana yang ditulis MC Ricklefs dalam magnum opus (maha karya)-nya, Soul Catcher: Java’s Fiery PrinceMangkunagara I (1726-1795). Diterjemahkan Penerbit Buku Kompas menjadi Sambernyawa: Kisah Perjuangan Seorang Pahlawan Nasional Indonesia, Pangeran Mangkunagara I (1726-1795). Buku Ricklefs ini banyak mengungkap sisi-sisi humanis Sang Pangeran yang jarang ditemui dalam kisah perjalanan hidupnya yang banyak ditulis selama ini.
Magnum opus ini mulai disusun setelah Ricklefs didiagnosa mengidap kanker prostat pada 2014. Menulis tentang Pangeran Sambernyawa telah menjadi impiannya sejak lama karena bagi Ricklefs, Mangkunagara yang dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa itu adalah tokoh fenomenal dari abad 18. Menjadi seorang ksatria sekaligus komandan militer yang cakap di umur belia, 17 tahun, Mangkunagara menghabiskan masa mudanya (1743-1757) dalam pelbagai pertempuran.
Ricklefs terkenal dengan narasi sejarah yang mendetail, berdasarkan arsip kolonial Belanda dan babad Jawa. Penelitiannya menjadi acuan standar bagi semua peneliti yang melakukan studi tentang Jawa. Ricklefs awalnya sangat terkesan pada catatan Gubernur Belanda di Pesisir Timur Laut Jawa, Nicolaas Hartingh tentang Pangeran Sambernyawa: “Sejak masa mudanya ia terbiasa maju ke medan perang […]sejak bayi hingga dewasa (dia bagaikan telah) di tengah berbagai kesulitan.”
Ada saat-saat pertempuran, ketika Mangkunagara menderita penyakit frambusia. Ia mengeluh, tangannya lunglai, tak kuat mengangkat busur ataupun tali kekang. Tidak mampu bertarung secara langsung, Mangkunagara terus menyemangati pasukannya, “Maju! Jangan sampai ada yang bicara tentang rasa takut!”
Ricklefs sendiri juga mengalami rasa sakit dan tubuhnya makin melemah karena kanker saat menulis biografi ini. Ia menjadi orang yang paling tepat memahami penderitaan Sang Pangeran dan kisah perjuangannya.
Sepeninggal Sultan Agung pada tahun 1646, dinasti Mataram belum diberkati dengan raja yang hebat dan kompeten. Amangkurat IV yang baru wafat menghadapi masa pemerintahan yang memprihatinkan. Mengalami pemberontakan dari segala penjuru. Putranya Pakubuwana I menjadi raja paling tidak kompeten dari semua garis Mataram yang memimpin sebagai raja. Demikian tulis Ricklefs.
Figur istri Pakubuwana I begitu kuat, masih ditambah dengan pengaruh Patih Danureja. Pengaruh keduanya inilah yang menghantarkan Pakubuwana II, putranya dari sang Ratu untuk mewarisi takhta. Di sisi lain, putra Pakubuwana I meski beda ibu, Pangeran Aria Mangkunagara (kemudian disebut Mangkunagara Sepuh) jauh lebih kompeten dan populer. Secara umur juga lebih tua. Nama Mangkunagara sendiri punya arti sangat penting karena biasanya hanya diberikan pada putra mahkota.
Pangeran Sambernyawa adalah putra Mangkunagara Sepuh. Terlahir dengan nama asli Mas Said pada 7 April 1726. Di usia dua tahun, ibunya meninggal. Ayahnya, Mangkunagara Sepuh, kemudian diasingkan VOC ke Sri Lanka hingga akhirnya meninggal di Tanjung Harapan. Dalam catatan Ricklefs, istri Amangkurat I berkonspirasi dengan Danureja memojokkan Mangkunagara Sepuh di hadapan Raja Pakubuwana II dengan mengatakan Mangkunagara Sepuh berhubungan dengan salah satu istri raja dan ingin memilikinya. Tindakan itu tak pernah terjadi, namun demikian VOC akhirnya mengikuti permintaan Pakubuwana II agar Mangkunegara Sepuh diasingkan.
Begitulah, pada usia dua tahun, Mangkunagara mendapati dirinya tak lagi memiliki ibu dan ayah. Ia kemudian dibesarkan oleh Kudanawarsa. Meski bukan anggota keluarga kerajaan, Kudanawarsa orang yang tepat membesarkan Mangkunagara. Membangun kualitas kepribadiannya menjadi Pangeran Sambernyawa yang fenomenal di kemudian hari.
Mangkunagara kemudian mengobarkan perlawanan terhadap VOC, diawali dengan membantu Sunan Kuning dalam Geger Pacinan. Ia pun pernah bersama Mangkubumi, pamannya, berhadapan dengan Pakubuwana II yang dianggap membela VOC, bahkan telah membuat perjanjian menyerahkan seluruh kerajaan pada VOC. Setelah Pakubuwana II wafat, Mangkubumi menunjuk dirinya sebagai Raja, bersamaan dengan itu VOC menunjuk Pakubuwono III. Belakangan Mangkunagara tak lagi mendukung Mangkubumi. Perjanjian Giyanti, membuat Mangkubumi memperoleh separuh wilayah kekuasaan Pakubuwana III dan diakui sebagai penguasa Yogyakarta dengan gelar Hamengkubuwana I. Sejak saat inilah, Kasultanan Yogyakarta resmi berdiri. Mangkunagara kini sendiri, dikeroyok tiga kekuatan besar: VOC, Pakubuwana III serta mantan sekutu, paman, sekaligus mertuanya sendiri, Mangkubumi.
Ada banyak kisah yang membuat haru dalam buku Ricklefs ini. Suatu kali pasukan Mangkunagara mengalami kemunduran saat berhadapan dengan VOC di Papringan. Kehilangan banyak orang, seratus kuda serta sejumlah besar emas dan perak. Malam hari saat hujan deras pasukannya yang masih bertahan terpencar-pencar. Menurut Ricklefs, melihat catatan Mangkunagara, Mangkunagara mengalami titik terendah emosional pada peristiwa ini.
Di antara anak-anak yang dibawa menyelamatkan diri ke hutan itu, terdapat anak perempuannya yang masih berusia satu tahun, R. Aj. Sombro. Sombro saat itu sedang demam. Mangkunagara langsung mengambil Sombro dari pengasuhnya. Membawa Sombro dalam dekapannya, melewati hujan deras. Setiap kali ia lelah, dan berusaha meletakkan anaknya, Sombro memprotes. Kemudian Mangkunegara berjumpa dengan istrinya. Keduanya bergantian menggendong Sombro. Saat Sombro lapar dan meminta makan, tidak ada makanan yang tersedia. Hingga akhirnya mereka menemukan pisang yang mampu meredakan rasa lapar Sombro.
Kisah ini bagi saya bukan sekadar menunjukkan ‘raja juga manusia’, melainkan kualitas kemanusian sang Pangeran. Seorang pengasih. Bila sebagai ia menjadi seorang pemimpin disegani dan dihormati, tentulah tidak mengherankan.
Perjalanan itu kemudian mempertemukan Mangkunegara dengan dua pertapa di Samakaton, Gunung Lawu. Pertemuan ini tidak hanya dicatat Mangkunagara namun juga pada Babad Giyanti. Kedua pertapa mencela Mangkunagara karena kesombongannya dan kecanduannya pada kesenangan-kesenangan duniawi, yang menyebabkan ketidakberuntungan. Mangkunagara dianggap lupa bahwa ‘kekalahan dan kemenangan dalam pertempuran berada di tangan Yang Maha Melihat’. Mangkunagara dikatakan juga oleh kedua pertapa itu, telah menggunakan gelar yang berlebihan: Susuhunan Adiprakosa. Entah apakah peristiwa ini kelak mempengaruhi Mangkunagara sehingga bisa menerima bila gelarnya kemudian hanyalah Pangeran Adipati dan bukan Raja. Mangkunagara memang banyak menuliskan pengalaman-pengalaman adikodratinya. Hidupnya terlihat penuh perenungan, menjadikannya seperti kata Ricklefs, menyadari bahwa tidak masalah menjadi nomor dua. Posisinya agung, meski bukan Raja.
Menjelang Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 dapat digaris bawahi bahwa raja terkuat adalah Sultan Mangkubumi, Pasukan terkuat dimiliki VOC, sedang Pakubuwana III tak punya posisi penting sejak naik takhta pada 1749. Sebaliknya Mangkunagara menjadi pemberontak terkuat, disegani dan satu-satunya yang masih tersisa. Selanjutnya Ricklefs banyak mengulas rivalitas antara Mangkubumi, Pakubuwana III dan Mangkunagara. Pada akhirnya ketiganya menjadi pemimpin yang independen dan memiliki wilayahnya masing-masing.
Ricklefs juga memberi gambaran pada kita gambaran kepribadian ketiganya melalui Memorie, catatan yang ditulis Hartingh kepada penggantinya sebagai Gubernur Pesisir Timur Laut Jawa. Pakubuwana III digambarkan ‘baik hati’ tetapi agak ‘kekanak-kanakan dan tidak rapi’. Istrinya, Ratu Mas, sepenuhnya mengontrol Susuhunan.
Mangkubumi digambarkan Harting sebagai orang yang sopan, penuh pengetahuan, dan benar-benar ahli dalam menyimpan perasaannya. Ia angkuh, tetapi hebat dan merasa bahwa uang tidaklah penting sehingga menghabiskannya dengan gegabah. Gemar kemewahan.
Gambaran Hartingh tentang Mangkunagara sungguh menggugah perasaan. Meski perawakannya kecil, semangat dan gairah terpancar dari matanya. Punya pemasukan lumayan, sehingga Mangkunagara mampu membiayai pasukannya. Tidak membiarkan adanya penghinaan, dan memiliki banyak pendukung yang siap membantunya. Seperti juga sang ayah, Mangkunagara Sepuh, ia dicintai dan dikenang penuh rasa hormat. Gambaran tentang pemimpin yang penuh karisma.
Berkebalikan dengan ketidaksukaannya dihina, Mangkunagara adalah sosok yang gampang luluh dan iba. Bisa dikatakan rekonsiliasi Mangkunagara dengan Pakubuwana III, diawali saat Pakubuwana III memohon Mangkunagara untuk menetap di Surakarta agar bisa ‘momong’ sang Susuhunan yang memang lebih muda. Momong di sini maksudnya agar Mangkunagara dapat melindunginya dari Mangkubumi yang tak puas dengan perjanjian Giyanti dan masih berkeinginan untuk menguasai wilayah Pakubuwana III. Permohonan itu melunakkan hati Mangkunagara yang kemudian berakhir dengan serangkaian perundingan yang diformalkan pada perjanjian Salatiga.
Berbeda dengan Perjanjian Giyanti yang berawal dari negosiasi alot antara VOC dan Mangkubumi melalui perantara asal Turki, Seh Ibrahim, mediator awal Perjanjian Salatiga hanyalah Bok Gerji atau Gareji, seorang wanita penjual bahan makanan yang berani menembus daerah embargo antara wilayah Kasunanan dan wilayah pemberontakan Mangkunagara. Bok Gerji inilah yang membawa surat-surat awal antara Mangkunagara dan Pakubuwana III. Satu poin yang diminta Mangkunagara, ia harus diperbolehkan duduk sejajar dengan Susuhunan.
Akhirnya keduanya bertemu di Tunggon pada 24 Februari 1757, diiringi gamelan, tembakan penghormatan dengan meriam dan senapan, tambur serta terompet. Pakubuwana III menyapa Mangkunagara dengan sebutan kakang mas (kakanda). Dan Mangkunagara duduk di sebuah kursi sesuai dengan protokol yang dimintanya. Setelah keduanya menyetujui kesepakatan yang dibuat, Pakubuwana III mengatakan agar Mangkunagara boleh memilih tempat tinggal di Surakarta, di manapun yang diinginkan. Pakubuwana III bahkan mengajak bersama-sama kembali ke kota itu.
Ketika tiba di Surakarta, Mangkunagara merasa ‘seolah-olah dia sedang bermimpi’. Sebelumnya 17 tahun hidupnya dihabiskan untuk bergerilya, tanpa bisa menikmati bangun dan mendapati suara ayam berkokok serta kicauan burung di pagi hari dengan tenang. Demikian catatan Mangkunagara dalam autobiografinya, Serat Babad Pakunegaran. Satuan pengawal VOC kemudian diberikan untuk Mangkunagara. Para wanita dan keluarganya yang masih bersembunyi di pegunungan dibawanya tinggal di Surakarta. Ia juga menyerahkan beberapa orang Eropa yang masih bersamanya, dan meminta VOC agar mereka diampuni. Mangkunagara menulis khusus tentang ucapan Pakubuwana III kepadanya ini :
“Dahulu janji Sang Raja,
Kakanda apakah engkau akan momong saya ketika saya kalah
Ketika seolah saya dibayangi oleh paman, Sang Sultan
Engkaulah yang akan berada di sisi saya..”
Kembalinya Mangkunagara ke Surakarta dan pelantikannya sebagai Pangeran Adipati, orang kepercayaan Susuhunan menjadi episode final dalam Serat Babad Pakunegaran. Babad ini pun dipuji Ricklefs karena akurasinya. Ditulis langsung oleh Mangkunagara, menunjukkan kebiasaannya untuk mencatat peristiwa penting dengan disiplin, bahkan kala hidupnya masih bergerilya di medan pertempuran. Memberikan gambaran utuh tentang intelektualitas dan tingkat literasi Sang Pangeran Sambernyawa.
Vika Klaretha Dyahsasanti