Solo, kota penuh cerita. Beruntung saya dilahirkan di kota ini, sebuah kota yang tak pernah padam semangatnya. Meski bukan kota besar yang ingar bingar, Solo tetap menawan. Nilai budayanya, keunikannya, dan suasana kota yang masih kental dengan adat Jawanya ini memberi kesan tersendiri.
Tidak ada yang tanpa cerita. Monumen, pasar, jembatan, karnaval, keraton, tarian, gamelan, sampai makanan, menawarkan kisah turun-temurun yang sarat makna. Selama puluhan tahun saya dimanjakan di kota ini, Solo tak pernah mengajariku lupa diri. Apa yang disuguhkannya di setiap sudut kota menawarkan esensi kehidupan, bukan kemewahan semata yang gampang sirna.
Ah, jika saya yang terus bercerita, jatuh cintaku pada kota ini akan makin menjadi-jadi dan cerita bisa selesai lusa nanti … hehe. Bagaimana kalau kita mengulik sedikit cerita dari para perantau saja ya? Saya yakin Solo cukup arif mendengarkannya … sama seperti ketika Solo selalu ramah menyambut kedatangan mereka.
Beberapa rekan dari kota lain, bahkan pulau lain, sempat saya datangi beberapa waktu lalu … melalui japri. Tidak mungkinlah saya datangi ke rumah mereka .. hehe. Era teknologi membuat saya rajin dolan ke “laman” gawai mereka. Sembari tanya kabar dan ngobrol hal-hal keseharian, kami membahas kota Solo dalam beberapa sisi yang kami ingini. Mulai dari tempat yang paling menarik, makanan paling enak, keunikan di Solo, sampai apa sih yang paling mengganggu di Solo.
Stadion Manahan, menjadi salah satu tempat yang paling menarik. Ya, karena perantau ini suka sepak bola, hehe. Terlepas dari kesukaannya dengan sepak bola, menurutnya stadion Manahan cukup bersejarah sebetulnya. Stadion ini sempat menjadi salah satu stadion terbaik di Jawa Tengah pada medio 2000-an, bersama stadion Jatidiri (Semarang) dan Bumi Kartini (Jepara). Stadion ini juga sempat direncanakan menjadi salah satu venue Piala Dunia u-20, tetapi batal karena pandemi COVID dua tahun lalu.
Ada pula yang jatuh cinta pada Pasar Gedhe. Alasannya sangat sederhana, karena pasarnya menarik dan banyak lampionnya, terutama pas Imlek. Pasarnya menarik karena jajanannya sangat lengkap, mulai dari jajanan zaman ‘wow’ kuno sampai zaman now.
Taman Balekambang juga memikat hati beberapa perantau lho! Tempat yang asri, luas, banyak pohon, dan letaknya strategis ini sering menjadi pangkalan perantau yang ingin menenangkan diri dari keruwetan hidup dan pekerjaan. Suasana yang nyaman juga mendukung mereka untuk sejenak refreshing dan menikmati alam.
Yuk, beralih ke versi makanan terenak di Solo. Nasi liwet, bestik, dan selat banyak disukai. Kedua makanan ini terlezat katanya. Harga terjangkau dan nilai gizinya bagus. Setuju kan? Meski ada yang bilang juga kalau makanan di Solo itu kebanyakan manis. Jadi, ketika makan makanan apa pun, selalu akan ada “ritual khusus” yang harus dilakukan — menambah sambal. Kalau tidak pedas, kurang mantap katanya. Untuk makanan ringan, sosis ayam dan semar mendem cukup banyak digemari.
Oh ya, kebanyakan perantau suka makan di HIK (Hidangan Istimewa Kampung). Selain makanannya beragam, sambalnya juga enak-enak. Namanya HIK pastilah berada di pinggir jalan atau pinggiran toko. Nah, meskipun makannya terkesan “ngemper”, tetapi tetap bersih dan nyaman. Sedikit cerita dari seorang perantau asal Jepara, “Masih ingat nggak dengan scene Asri Welas yang curhat di HIK pinggir jalan dalam film Sobat Ambyar? Itu solo banget lho! Suasana HIK yang hangat digambarkan dengan apik lewat pencahayaan lampu dan kesederhanaannya. Hal-hal keseharian bisa dinikmati oleh mayoritas pengusaha HIK di penjuru Solo. Di HIK juga tidak ada “ciu” (lih. Asri Welas yang tidak bisa mabuk karena galau di situ). Hal ini punya makna tersirat kalau HIK ya tempat makan dan wedangan. Keramahan dan kesederhanaan HIK bisa merangkum budaya hangat warga Solo.” Meski HIK di Solo sudah banyak yang berkonsep kekinian, semoga esensi dari kesederhanaan dan keramahan tidak pernah hilang.
Yuk beralih ke apa yang paling unik di Solo. Ternyata, penjual jamu gendong atau jamu gerobak keliling dianggap unik. Bisa dibayangkan betapa menariknya penjual jamu gendong yang masih eksis sampai sekarang di tengah-tengah kemajuan dunia kuliner pada era teknologi ini. Hampir semua sudah pakai aplikasi untuk pesan/beli makanan. Eh, masih ada penjual jamu gendong atau pakai gerobak yang keliling di kampung-kampung. Meski mungkin tidak banyak, tetapi kehadiran mereka memberi warna tersendiri bagi kota Solo.
Wah ternyata petugas parkir atau pengatur lalu lintas dengan berpakaian surjan (busana adat Jawa) juga menarik di mata perantau. Ketika melihatnya, momen itu terasa “Nah, ini baru Solo!” Meskipun sama-sama masih berada di Jawa Tengah, kemungkinan pemandangan petugas parkir semacam ini hanya ditemui di Solo dan Yogyakarta. Ada juga yang menyebut keunikan Solo itu pada tata kramanya. Contoh begini, kita secara tidak sengaja menginjak kaki orang. Harusnya yang minta maaf orang yang menginjak, tetapi justru orang yang kakinya terinjak yang minta maaf, “Maaf Mbak, kaki saya terinjak.”
Ada juga yang menyukai becak, dan berharap becak jangan pernah ditiadakan. Becak itu menarik, unik, dan klasik. Memberi warna tersendiri bagi kota Solo, memberi kesan bahwa kota ini selalu merawat budaya, nilai tradisional, dan manusiawi. Meski banyak becak sudah tidak dikayuh, tetapi memakai mesin, tidak apalah yang penting jangan sampai ditiadakan. Itu benar-benar menarik!
Nah, yang terakhir nih, topik yang mungkin sensitif. Apa yang paling mengganggu di Solo? Dari beberapa rekan yang berbagi cerita, Solo punya banyak jalan satu arah yang mungkin juga membuat bingung pemakai jalan, khususnya orang-orang perantau. Ya, solusinya dengan diperbanyak tanda lalu lintas yang jelas supaya meminimalisir kebingungan. Budaya “belok kiri jalan terus”, meski tidak ada plang bertulisan “jalan terus”, kadang membuat orang-orang dari luar Solo ragu ketika sampai di persimpangan. Jalan terus, tidak, jalan terus, tidak … Ya, mungkin ini terbawa juga dengan kebiasaan/budaya yang ada di daerah mereka.
Masih tentang jalan nih, dan tidak langsung tertuju dengan kota Solo sebenarnya. Jalan raya di sekitaran Solo masih banyak yang kurang bagus. Kondisi ini berpengaruh bagi orang-orang yang akan berkunjung ke Solo dengan melewati jalan-jalan tersebut. Ya, sedikit banyak pasti juga berpengaruh bagi kota Solo sendiri. Namun, tentang jalan yang kurang bagus kondisinya, di beberapa titik di Solo juga terlihat masih banyak jalan berlubang. Apalagi kalau pas hujan deras, saat jalanan tertutup air hujan, tiba-tiba seperti dapat ranjau ketika ban motor/mobil terjebak di lubang jalan yang cukup lebar.
Solo juga bisa dikatakan panas. Meski tidak semua tempat bisa dikatakan demikian, tetapi alangkah baiknya jika kota Solo semakin diperbanyak pohonnya. Oh ya, di sepanjang jalan Slamet Riyadi atau minimal jalan ke arah balaikota, lebih diperbanyak lagi pohonnya, biar makin rindang, sejuk, adem, dan syahdu.
Bicara tentang hal yang mengganggu di Solo, memang kebanyakan lebih ke kondisi jalan dan hal-hal di seputarnya. Menurut saya, karena memang ini menjadi hal penting yang mendukung mobilitas mereka sehari-hari. Kalau topik lain, kulineran, ah itu tidak diragukan lagi. Sudah sangat menjanjikan dan nikmat. Kalau topik wisata, Solo sudah banyak diacungi jempol dalam memberikan area-area rekreasi yang sehat dan terbuka, bahkan ada yang gratis dan anak-anak suka. Wah, ngomongi tentang anak-anak, dalam tulisan selanjutnya saya akan membahas tentang “Solo di Mata Anak-Anak”. Tunggu ya!
Yap, inilah Solo di Mata Perantau … mungkin tidak bisa menampung semua sudut pandang seluruh perantau, tetapi ini sekadar berbagi cerita dan aspirasi dari beberapa perantau yang jaraknya dekat dengan saya dan yang memungkinkan untuk saya ajakin ngobrol sampai ke mana-mana. Untuk semua perantau yang berada dan tinggal di Solo saat ini, terima kasih sudah menjadi bagian dan “memberi warna” bagi kota ini. Selamat menikmati keindahan dan kearifan kota Solo. Selamat berkarya!