CINTA tanah air tidak hanya dimiliki mereka yang lahir di Indonesia. Tanah air bukan pula hanya milik mereka yang bernenek moyang asli Indonesia. Bukan bawaan, bukan pula warisan.
Menjelang Peringatan Hari Kemerdekaan, ada baiknya kita sedikit merenung tentang arti nasionalisme Indonesia. Di tengah ancaman disintegritas bangsa, dua tentara Belanda ini kemudian memilih menjadi warganegara Indonesia dan berjuang untuk Indonesia. Apa yang membuat mereka begitu yakin memilih tanah air baru Indonesia yang belum bisa menjanjikan apa-apa itu?
JOHANNES CORNELIS PRINCEN
Johannes Cornelis Princen yang biasa dipanggil Poncke, seorang militer Belanda yang membelot ke Indonesia. Lahir di Den Haag, Belanda, pada 21 November 1925, Poncke memilih untuk menjadi warga negara Indonesia (WNI)sekitar tahun 1950-1953. Ia kemudian banyak membela hak asasi manusia dan persamaan hak-hak warga Indonesia.
Awalnya, Poncke bergabung dalam KNIL, tentara kerajaan Hindia Belanda yang dikirim ke Indonesia dalam rangka menegakkan kembali Hindia Belanda. Keberpihakannya kepada Indonesia bermula dari kebenciannya karena pemerintah kolonial Belanda menolak memberi kemerdekaan secara utuh bagi Indonesia. Ketidakadilan yang dilakukan Belanda kepada rakyat Indonesia, membuat pandangannya terhadap kaum pribumi (disebut kaum ekstremis oleh pemerintahan Belanda) berubah.
Pada 26 September 1948, Poncke memutuskan meninggalkan KNIL dan bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ia bergabung dengan divisi Siliwangi dengan nomor pokok prajurit 251121085, kompi staf brigade infanteri 2, Grup Purwakarta. Pejuangannya membela Indonesia pun dimulai.
Pada Juli 1949, Mayor Jenderal E.Engels, Panglima Tentara Belanda di Jawa Barat, menulis sebuat surat kepada Panglima Tentara Keraajaan Belanda di Indonesia: Letnan Jenderal D.C Buurman van Vreeden untuk ‘membereskan’ disertir Kopral. JC.Princen, sebelum gencatan senjata berlangsung pada akhir Agustus 1949.
Surat rahasia itu sempat bocor ke pers dan sempat memunculkan upaya kontra intelijen dari TNI dengan meniupkan isu kematian Princen dan kepergiannya ke Australia . Maka pada 4 Agustus 1949, dibentuklah sebuah unit khusus pemburu serdadu Princen dari KNIL, dengan pimpinan Letnan Henk Ulrici. Empat hari kemudian, secara diam-diam dan menyamar sebagai anggotaTNI, unit khusus yang berjumlah 60 prajurit itu bergerak dari Stasiun Lampegan dengan menyisir kawasan Cibeber, namun misi itu gagal.
Poncke terlibat dalam serangan umum 1 Maret 1949 bersama Divisi Siliwangi. Poncke kemudian meraih anugerah Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno. Saat bergabung dengan divisi Siliwangi, istrinya, seorang perempuan Sunda, dibunuh tentara Belanda dalam sebuah penyergapan dan pertempuran sengit pada Agustus 1949.
Poncke pernah menjadi anggota parlemen nasional pada tahun 1956, mewakili Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Kecewa dengan penyelewengan di birokrasi dan iklim politik Indonesia, Poncke keluar dari parlemen dan mulai bersikap vokal, terutama terhadap pemerintahan yang mulai otoriter serta kesewenang-wenangan pihak militer. Ia mendirikan Liga Demokrasi di tahun 60an, yang bertujuan untuk mengembangkan demokrasi di Indonesia.
Sikapnya yang terlalu vokal, membuat Princen sering berurusan dengan penjara, baik di era Soekarno maupun Orde Baru. Di era Orde Baru, Poncke mendirikan Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia pada 1966. Ia dicap ‘komunis’ karena lembaga itu kerap membela korban-korban pembantaian yang terdiri dari bekas anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Orde Baru seakan lupa bila di masa Orde Lama, Poncke juga ikut menentang komunis. Pada 1968-1969, Poncke mengungkap sejumlah fakta dan memprotes pembantaian masal PKI di Purwodadi Jawa Tengah.
Poncke menjadi salah satu orang yang mempelopori berdirinya Lembaga Bantuan Hukum di tahun 1970. Tidak berhenti sampai di situ, Poncke juga terlibat dalam demonstrasi menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, pada 1974. Poncke pun kembali masuk bui, dan dibebaskan pada 1976.
Poncke diinterogasi terkait pembantaian Santa Cruz di Timor-Timur. Ia juga mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di tahun 1980. Sebagai pengacara ia membela korban pembantaian Tanjung Priok, pada 1984. Dia juga membela puluhan mahasiswa ITB yang ditahan, karena mendemo Menteri Dalam Negeri Rudini, pada 1989.
Pada tahun 2002, Poncke dianugerahi penghargaan Yap Thiam Hien Award, sebagai tokoh HAM. Johannes Cornelis Princen wafat pada 22 Februari 2002, a dan dikenang sebagai seorang tokoh pembela HAM yang dihormati tokoh berbagai kalangan.
MOCHAMMAD IDJON DJANBI
Selain Poncke, Letnan Kolonel Inf. (Purn.) Mochammad Idjon Djanbi mulanya juga tentara KNIL sebelum memilih bergabung dengan Republik Indonesia. Terlahir dengan nama Rokus Bernardus Visser, pada 13 Mei 1914, ia adalah mantan anggota Korps Speciale Troepen KNIL yang kemudian menjadi komandan Kopassus pertama (dulu bernama RPKAD).
Visser pertama kali bertempur dalam Operasi Market Garden pada bulan September 1944. Bersama tentara Amerika, ia diterjunkan ke wilayah dengan konsentrasi pasukan Jerman yang tinggi. Visser bersama pasukan Sekutu yang lain kemudian melakukan operasi pendaratan amfibi di Walcheren, sebuah kawasan pantai di Belanda bagian selatan.
Karena dianggap berprestasi, Visser disekolahkan di Sekolah Perwira, dan kemudian Sekolah Pasukan Para di India hingga akhirnya bergabung dengan pasukan untuk memukul kekuatan Jepang di Indonesia. School voor Opleiding van Parachutisten (sekolah pasukan terjun payung) yang dipimpin oleh Letnan Visser akhirnya dikirim ke Jakarta pada 1946.
Visser ternyata menyukai hidup di Indonesia. Ia meminta istrinya dan keempat anaknya untuk ikut dengannya ke Indonesia. Istrinya menolak, mereka sepakat bercerai. Pada 1947, Visser dipromosikan naik pangkat menjadi Kapten. Selama tahun 1947 sampai akhir 1949, sekolah pimpinan Kapten Visser terus melahirkan tentara terjun payung hingga akhirnya Belanda harus menyerahkan kekuasaaanya kepada Republik Indonesia.
Karena sudah merasa nyaman dengan gaya hidup Asia, maka Kapten Visser memutuskan untuk tinggal di Indonesia sebagai warga sipil. Keputusan ini sangat berisiko, karena tidak ada yang bisa meramalkan bagaimana keamanan seorang mantan perwira penjajah di negara jajahannya yang baru saja merdeka. Akhirnya ia mantap untuk tinggal di Indonesia, pindah ke Bandung, bertani bunga di Pacet, Lembang, memeluk agama Islam, menikahi kekasihnya yang orang Sunda dan mengubah namanya menjadi Mochammad Idjon Djanbi
Pengalaman Idjon Djanbi sebagai anggota pasukan komando pada Perang Dunia II telah menarik perhatian Kolonel A.E. Kawilarang untuk membantu merintis pasukan komando. Kawilarang ingin mewujudkan cita-cita rekan seperjuangannya Letkol Slamet Rijadi untuk membentuk pasukan berkualifikasi komando.
Idjon Djanbi kemudian aktif di TNI dengan pangkat Mayor. Idjon segera melatih kader perwira dan bintara untuk menyusun pasukan.
Akhirnya pada tanggal 16 April 1952 dibentuklah pasukan istimewa dengan nama Kesatuan Komando Teritorium Tentara III/Siliwangi (Kesko TT. III/Siliwangi) dengan Mayor Infanteri Mochammad Idjon Djanbi sebagai komandannya.
Kemudian pada bulan Januari tahun 1953, Kesko TT. III/Siliwangi berganti nama menjadi Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD, berkedudukan langsung di bawah komando KSAD. Tanggal 25 Juli 1955 KKAD berubah namanya menjadi Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD), dengan komandan pertamanya Mayor Mochammad Idjon Djanbi. Mayor Inf R. E. Djailani menjadi Kastaf merangkap Komandan SPKAD (sekolah Pasukan Komando Angkatan Darat) dibantu oleh Letnan LB Moerdani sebagai wakilnya.
Pimpinan MABESAD kemudian melihat celah untuk mengambil alih kepemimpinan di RPKAD ke orang asli pribumi. Mayor Djanbi mencium hal tersebut, meski ditawarkan jabatan baru yang jauh dari pelatihan komando, Mayor Djanbi marah dan meminta pensiun.
Kebetulan pada saat itu pada tahun 1956, Indonesia sedang aktif menasionalisasi perusahaan-perusahaan milik asing dan Djanbi yang sudah menjadi WNI diberi jabatan mengepalai perkebunan milik asing yang dinasionalisasi. Djanbi tidak pernah pensiun sebagai anggota RPKAD sehingga pada 1969 pada saat ulang tahun RPKAD, Mayor Inf Moh. Idjon Djanbi diberi kenaikan pangkat menjadi Letnan Kolonel.
Djanbi meninggal di Yogyakarta, pada 1 April 1977 dalam umur 62 tahun. Pihak berwenang sempat alpa, hingga tak disediakan protokoler upacara pemakaman secara militer, sebagaimana anggota TNI pada umumnya. Meski Idjon Djanbi adalah komandan pertama Kopassus, ia dimakamkan tanpa tembakan salvo. Sungguh sangat ironis.
Di manapun kita lahir, siapa pun nenek moyang kita, ketika kita cinta pada Indonesi, kita adalah anak Ibu Pertiwi. Itulah pesan sederhana yang bisa ditangkap dari kisah warga keturunan Belanda yang memilih Indonesia sebagai tanah air baru.