Tentang Sjahrir: Bung Kecil yang Tenang, Berani dan Berdiplomasi

Saya sedang membaca biografi Sjahrir sejak kemarin, dan nyaris tak dapat melepaskan diri dari buku itu. Ditulis oleh penulis-penulis Tempo, Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil, berisi kisah hidup Bung Sjahrir dan juga beberapa kolom tentang Beliau. Di halaman-halaman awal, buku langsung menggambarkan perbedaan kepribadian antara Bung Sjahrir dan Bung Karno. Kepribadian itu sangat terlihat saat keduanya berpidato. Sukarno motivator alami, berapi-api dan sanggup membakar semangat ribuan orang dengan pidatonya yang menggelegak.

Sjahrir berbeda, pidatonya kalem tapi runtut dan jernih. Sebagai perdana menteri pertama Indonesia, Sjahrir banyak dikecam karena Perjanjian Linggarjati. Sjahrir dianggap menguntungkan Belanda. Hingga saat ini pun, pelajaran sejarah di sekolah Indonesia cenderung mengajarkan pemahaman tersebut. Sjahrir dianggap terlalu kompromistis.

Sesungguhnya Perundingan Linggarjati adalah hasil diplomasi berliku yang mampu diupayakan Sjahrir. Perundingan Linggarjati menjadi perundingan pertama yang pertama yang mencapai kesepakatan antara Indonesia dan Belanda. Belanda mengakui Negara Republik Indonesia secara de facto, yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Sebelum Linggarjati, perundingan antara Indonesia dan Belanda selalu mengalami deadlock. Macet. Namun bila ditinjau dengan jernih, Perjanjian Linggarjati memberikan jeda dan menjadi batu loncatan menuju kemerdekaan Indonesia penuh. Berkat perjanjian Linggarjati, masalah kemerdekaan Indonesia dibawa ke forum internasional, setelah sebelumnya hanya dianggap urusan dalam negeri Belanda dan negara jajahannya.

Awalnya, Schemerhorn sebagai wakil Belanda dalam perjanjian Linggarjati mengusulkan bahwa Indonesia adalah Negara Indonesia Serikat berdaulat di bawah Kerajaan Belanda. Setelah perundingan yang alot dan nyaris macet, Soekarno menyetujui usulan tersebut. Sjahrir pun dengan cerdiknya menambahkan pasal arbitrase: bila ada perselisihan menyangkut perjanjian tersebut, akan diajukan ke Dewan Keamanan PBB. Pasal ini kemudian menjadi penyelamat ketika terjadi agresi militer Belanda ke Indonesia. Masalah Indonesia di bawa ke sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Succes, Markas PBB.

Pidato Sjahrir di Lake Succes ini juga mendulang sukses. Sebelum Sjahrir berpidato, wakil Belanda, Eelco R. van Kleffens sibuk mencerca Indonesia dengan menceritakan perilaku buruk kaum Republiken. Tetapi Sjahrir seperti biasa tampil tenang, menjawab dengan kalem, “Saya yakin anggota Dewan dapat menilai, apakah tuduhan Belanda benar atau salah. Namun ada satu fakta yang hendak saya tekankan bahwa Pihak Belanda tidak membantah semua fakta yang terungkap bahwa belanda telah mengingkari Perjanjian Linggarjati.“ Sjahrir kemudian bercerita tentang kejayaan Indonesia sejak seribu tahun silam dalam formasi Kerajaan Majapahit. “Namun karena penjajahan Belanda selama 3,5 abad, bangsa kami mengalami kemunduran total,” demikian tambah Sjahrir. Sjahrir pun menepis anggapan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hadiah dari Jepang. Kepada dunia internasional Sjahrir menyadarkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang berdaulat.

Berkat pidato itu, kemenangan pelan-pelan berada di pihak Indonesia. Pada 15 Mei 1947, New York Herald Tribune, surat kabar berpengaruh di Amerika, menulis pidato Sjahrir sebagai ‘salah satu yang paling menggetarkan di Dewan Keamanan’.

Sjahrir juga seorang pemberani, meski tubuhnya kecil dan pembawaannya tenang. Ada sebuah anekdot terkenal tentang Sjahrir yang kerap diceritakan berulang-ulang. Berawal dari cerita Soendoro, bekas pegawai tinggi Kementerian Penerangan. Dalam sebuah persidangan, Sjahrir berdialog dengan para pemimpin rakyat dan pemuda. Mereka mengajukan usul menggebu-gebu tentang pertempuran 10 November di Surabaya. Tiba-tiba di luar terdengar suara tembakan dan listrik mati. Ruangan seketika gelap gulita. Peserta sidang yang semula garang terkejut. Mereka merangkak dan bersembunyi di kolong meja. Seketika suasana senyap. Ketika listrik menyala lagi, terlihat hanya Sjahrir yang masih tetap tenang duduk di kursinya. Seakan tak terjadi apa-apa.

Bukan cuma itu kisah unik tentang Sjahrir. Beberapa hari setelah menjadi perdana menteri, pada November 1946, Sjahrir berpidato dalam suatu rapat akbar di Alun-alun Cirebon. Seperti biasa, Sjahrir berpidato dengan suara tenang. Seorang hadirin bertanya, “Mengapa dalam buku Perdjoeangan Kita tak satu pun disebut nama Tuhan?” Perdjoangan Kita adalah buku yang ditulis oleh Sjahrir.

Sjahrir tertawa dan tidak marah, menjawabnya dengan sebuah cerita. Ketika kecil saat bersekolah di Medan, kata Sjahrir, ia membaca buku-buku matematika yang ditulis seorang pastor. Meski yang menulis seorang pastor, tak sekalipun ada nama Tuhan di sana. “Perdjoeangan Kita adalah buku politik yang penuh perhitungan. Buku itu tak ditulis berdasarkan emosi,” kata Sjahrir waktu itu.

Selain Perdjoangan Kita, ada buku lain yang makin menegaskan tentang kepala dingin Sjahrir. Indonesische Overpeinzingen yang kemudian diterjemahkan HB Jassin sebagai  Renungan dan Perjuangan, dipuji penerbit Belanda dalam pengantarnya, “Sjahrir mengejutkan dunia dengan kedalaman, dinginnya berpikir, dan kebijakan seorang negarawan.”

Renungan dan Perjuangan memuat surat-surat Sjahrir selama di pengasingan. Di mulai saat masuk penjara Cipinang pada Februari 1934, Sjahrir menulis bahwa berdiam di penjara membuat dia berkepala dingin menghadapi segala sesuatu. Kita tak akan menemukan surat-suratnya yang bernada keluhan. Di Cipinang, Sjahrir banyak memikirkan hubungan antara individu dan kolektivitas, namun demikian, surat-suratnya semasa di Banda Neira dianggap yang paling reflektif. Ada banyak pikiran-pikirannya yang memperlihatkan kecenderungan kekaguman pada Barat, sebagaimana Sutan Takdir Alisjabana. Sjahrir menganggap Barat sebagai tempat hidup yang menggelora, maju dan dinamis. Dan hanya dinamisme ala Barat itu yang akan membebaskan Timur dari perbudakannya.

Menurut Sjahrir lagi, banyak intelektual Indonesia yang terperangkap oleh gambaran Timur yang ideal. Hasil pemikiran para filsuf tentang Timur yang tenang dan harmoni. Timur yang demikian tak ada, menurutnya. “Timur seperti yang dilihat orang-orang Buddhis itu, hanya ada bagi mereka saja. Apakah masih ada Timur semacam itu di Hong Kong atau Shanghai atau Batavia? Di mana-mana di Timur ini irama hidup, tempo, sudah dipercepat. Ketenteraman jiwa yang sangat dihasratkan itu mungkin masih kedapatan di pelosok-pelosok.”

Orientasi Sjahrir terhadap Barat itu sangat mempengaruhi sikap-sikap politiknya. Ia mengkritik nasionalisme yang ekstrem, termasuk juga kebencian yang tak kenal damai dengan Belanda. Tentu kita memahami bila Sjahrir menitikkan air mata saat ia menaiki Kereta Api Luar Biasa Pemerintah Indonesia dan melihat pemuda-pemudi Ambon dan Manado diserang oleh pemuda-pemuda Indonesia. Penyebabnya hanya karena Orang Ambon dan Manado dianggap pengikut Belanda. Kelak kelompok yang tak menyukainya menganggap Sjahrir terlalu lembek terhadap Belanda.

Suatu ketika di bulan November 1945, saat mobil yang ditumpangi Sjahrir dihentikan serdadu Belanda anggota NICA. Kopral Richard, serdadu Belanda itu kemudian menembakkan pistolnya ke arah sopir. Tembakan meleset. Richard menembak lagi kedua kalinya, kali ini senjatanya macet. Ketika kemudian diberitahu bahwa orang di sebelah sopir adalah Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia, mereka justru bertambah garang. Rombongan Sjahrir diperintah menghadap tembok. Sjahrir tetap tenang, bahkan saat ia terkena bogem keras popor pistol.

Kejadian ini langsung viral. RRI menyiarkan berita menggemparkan bahwa Sjahrir ditembak. Sjahrir buru-buru menyuruh kementerian Penerangan menghentikan siaran. Sjahrir khawatir orang-orang Belanda yang masih berada di tahanan Jepang akan dihabisi pemuda Republik. Sjahrir takut, penyerangan terhadap dirinya akan memicu aksi balasan. Ini tentu merugikan posisi Indonesia di mata dunia yang sedang berjuang memperoleh pengakuan sebagai bangsa yang berdaulat, beradab dan demokratis.

Kala itu Sjahrir mulai mengenalkan Indonesia di forum-forum internasional. Sjahrir pun membuat Indonesia mencuri perhatian dunia dengan memberi sumbangan beras bagi India yang tengah dilanda kelaparan. Inilah ‘diplomasi beras’ ala Sjahrir yang terjadi pada April 1946, mengirimkan setengah juta ton beras asal Jawa ke negeri yang tengah terancam kelaparan karena gagal panen. “Perkiraan paling rendah tentang panen tahun ini ialah 5 juta ton, sedangkan perkiraan tertinggi 7 juta ton,” kata Sjahrir. Konsumsi rakyat Indonesia tak melebihi 4 juta ton. “Jikapun tak ada surplus beras, saya pikir rakyat kami bersedia memberikan beras ditukar dengan tekstil..”

Perdana Menteri Jawaharlal Nehru pun segera segera memberi salam kepada rakyat Indonesia, “yang sedang berjuang gagah berani untuk kemerdekaannya.”

Lawan politik Sjahrir menjulukinya ‘soska’ alias ‘sosialis kanan’ karena keterpukauannya terhadap apa yang berbau Barat. Namun dalam bukunya Perdjoeangan Kita, Sjahrir menyinggung soal politik luar negeri. Menurutnya kemerdekaan sesungguhnya harus dicapai secara bertahap, rapi dan elegan. Bukan frontal dengan angkat senjata. Maka Sjahrir pun mempraktekkan politik diplomasi: berunding dengan Belanda, Sekutu serta melecut simpati dunia internasional. Sikap Sjahrir ini, menurut sejarawan Ben Anderson, menenangkan dan menarik simpati Barat.

Sampai di sini saya teringat apa yang terjadi di Indonesia baru-baru ini. Pengeroyokan terhadap Ade Armando, dan kekerasan sekelompok masyarakat yang banyak terjadi di tahun-tahun belakangan. Rasanya, kita perlu banyak belajar dari Bung Kecil Sjahrir. Belajar tenang, berkepala dingin, sekaligus belajar berdiplomasi. Berani tanpa harus brutal…

Vika Klaretha Dyahsasanti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *