Tradisi Lebaran Apa Kabar?

Tradisi Lebaran, Apa Kabar?

Lebaran ala pandemi telah dialami dua tahun terakhir ini. Tak dimungkiri pasti ada perubahan atau perbedaan yang dirasakan dalam memperingati momen spesial yang selalu ditunggu-tunggu kedatangannya setiap tahun ini. Meski Lebaran merupakan hari raya bagi umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal pada penanggalan Hijriah, tetapi pada praktiknya banyak masyarakat yang ikut merayakannya sekalipun mereka bukan umat Islam. Salah satu esensi dari Lebaran yang menjadi daya tarik bagi masyarakat pada umumnya adalah adanya kesempatan untuk menjalin silaturahmi dan juga kesempatan untuk bermaaf-maafan.

Meski silaturahmi menjadi bagian penting dalam perayaan ini, tetapi masih ada beberapa tradisi lainnya yang selama ini terus dijaga keberlangsungannya ketika Lebaran tiba. Mulai dari mudik, takbir keliling, menabuh bedug, memasak makanan khas Lebaran, saling mengirim makanan, menyediakan kue-kue, berbagi angpao/THR, menyalakan petasan, memakai baju baru, sampai rekreasi. Pada umumnya, hampir semua tradisi itu dijaga kelestariannya dan terlaksana pada saat Lebaran. Namun, selama masa pandemi ini, bagaimana kabar tradisi-tradisi Lebaran tersebut? Apakah masih terjaga baik dan dilakukan? Yuk, kita cleguk bersama-sama …

Mudik

Ibarat persahabatan, Lebaran dan tradisi mudik sudah tidak bisa dipisahkan. Ingat Lebaran, ingat mudik! Istilah mudik mulai digunakan pada 1970-an, saat itu Jakarta masih menjadi satu-satunya kota besar yang menjadi tujuan bagi orang-orang desa untuk mengadu nasib. Tradisi mudik sudah menjadi budaya yang mengakar bagi masyarakat. Kok bisa? Mudik dipercaya telah ada sejak zaman Majapahit, yang diawali dengan petani Jawa yang merantau, lalu pulang ke kampung halaman untuk membersihkan makam leluhurnya. Kegiatan ini disebut “mulih dilik” (pulang sebentar), hingga akhirnya disingkat menjadi mudik.

Istilah mudik juga bisa berarti selatan (hulu). Dahulu, sebelum adanya urbanisasi di Jakarta, banyak wilayah di Jakarta yang bernama “akhir udik” dan “ilir”, seperti: Sukabumi Udik, Sukabumi -Ilir, Meruya Ilir, Meruya Udik, dll.. Ada saat-saat ketika petani juga membawa hasil bumi ke Batavia, saat itu Jakarta masih bernama Batavia, mereka membawa hasil bumi/dagangan-dagangan melalui sungai. Karena itu, muncullah istilah “milir-mudik”, yang berarti bolak-balik. Itulah mengapa mudik juga diartikan pulang dari kota untuk kembali ke ladangnya. Selain itu, mudik juga berasal dari Betawi dan Sunda Pesisir dengan nama “udik”, yang berarti desa atau kampung. Dengan begitu, mudik diartikan sebagai pulang ke kampung atau pulang ke desa.

Sebelum pandemi, mudik seperti menjadi keharusan bagi banyak orang, terutama bagi mereka yang berpedoman “Tidak mudik, tidak sayang keluarga!” Dan memang benar, antusiasme untuk mudik begitu tinggi ketika Lebaran hampir tiba. Namun, sejak pandemi, pemerintah melakukan banyak pembatasan, bahkan pelarangan mudik. Tidak heran banyak orang mulai gelisah dengan keputusan ini. Apa mau dikata? Demi pencegahan penyebaran virus corona, pastilah pemerintah akan dengan sangat ketat memantau perihal mudik ini. Alhasil, banyak yang menaatinya, tetapi banyak juga yang menerabasnya. Yang jelas, mudik tahun ini tidak sepadat yang sebelum-sebelumnya. Yang jelas juga, kita jadi tahu bahwa penduduk Indonesia tidak selalu taat pada peraturan pemerintah, entah apa alasannya.

Takbir Keliling dan Menabuh Bedug

Mengumandangkan takbir pada malam sebelum hari raya Idul Fitri menjadi tradisi di Indonesia, dan biasanya dilakukan di masjid atau berkeliling kampung dengan membawa obor dan menabuh bedug. Biasanya dilakukan dengan berjalan kaki. Namun, pernah ada juga yang melakukannya dengan menggunakan mobil bak terbuka di belakangnya dan diisi beberapa orang sembari mereka menabuh bedug dan mengumandangkan takbir. Lebaran kali ini, meski pandemi, takbir keliling masih tetap dilakukan di beberapa daerah meski dalam durasi yang lebih singkat dan mengikuti protokol kesehatan yang sudah dicanangkan.

Halal Bi Halal dan sungkeman

Halal bi halal menjadi tradisi yang paling wajib ketika Lebaran. Momen untuk bisa bersilaturahmi dengan keluarga dan kerabat menjadi tradisi yang melekat dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Di Jawa, tradisi ini dilakukan dengan sungkeman atau mencium tangan, yang dilakukan oleh orang yang berusia lebih muda kepada orang yang lebih tua atau dituakan. Inilah salah satu tradisi yang istimewa karena sering dijadikan momen untuk bermaaf-maafan. Mengingat esensi dari tradisi ini, sebenarnya dalam segala keadaan, baik pandemi maupun tidak, momen untuk bermaaf-maafan tetap bisa dilakukan secara tatap muka ataupun lewat virtual (video call, telepon, voice chat, dll.). Meski banyak yang bersilaturahmi via virtual pada Lebaran kali ini, esensi dari silaturahmi tetap bisa dinikmati. Harap-harap yang sedang rindu berat juga bisa terobati dan relasi makin dekat.

Ketupat, Opor Ayam, dan Kue Lebaran

Ini nih makanan-makanan khas saat Lebaran. Ketupat dan opor ayam, dua jenis makanan ini menjadi menu sepaket yang mewarnai Lebaran setiap tahunnya. Ketupat terbuat dari beras yang dibungkus dengan daun kelapa yang sudah dianyam. Ketupat berbentuk persegi, tetapi ada juga yang menggantinya dengan lontong (berbahan sama, tetapi bentuknya lonjong memanjang). Ketupat atau lontong ini akan dilengkapi dengan opor ayam ketika disantap.

Lebaran juga menjadi ajang untuk mencicipi aneka kue khas Lebaran. Dari tahun ke tahun, kue kastangle, nastar, kue lidah kucing, aneka kue kering, kue sagu, kue salju, dan kue-kue dalam kemasan kaleng selalu menghiasi meja ruang tamu. Bahkan, ada kue kering yang menjadi sajian “sejuta umat”, sampai desain kalengnya juga sering dijadikan meme dalam berbagai kesempatan seperti: “Keluarga Khong Guan nekat mudik”, “Anaknya lagi pada bukber”, “Bu, Bapak mana?”, “Mengungkap misteri keluarga di kaleng Khong Guan, dan meme-meme lainnya.

Membahas tentang makanan, sepertinya tidak akan banyak terpengaruh keadaan pandemi atau tidak, kecuali dalam hal kuantitas jenis makanan yang disajikan. Karena pandemi, bisa jadi konsumsi kue-kue semacam ini menjadi menurun. Tidak lagi tersaji berbagai jenis kue di meja, mungkin hanya dua atau tiga jenis, mengingat berkurangnya jumlah orang yang datang ke rumah dan juga budget yang terbatas untuk membeli kue-kue semacam ini yang harganya cenderung naik setiap tahunnya. Namun, untuk urusan makanan berat semacam ketupat dan opor ayam, itu diusahakan selalu ada. Bahkan, makanan-makanan tersebut seringnya juga dikirimkan ke tetangga-tetangga terdekat, mereka saling mengirim makanan. Hanya dalam masa pandemi ini, kegiatan saling mengirim makanan antartetangga sepertinya sudah menurun. Kebanyakan dalam ranah keluarga saja tradisi makan bersama-sama masih dilakukan.

Angpao dan THR

Tradisi yang satu ini dinanti-nantikan oleh banyak orang, baik dewasa maupun anak-anak. Orang dewasa, terutama mereka yang bekerja, menantikan Tunjangan Hari Raya (THR) dari tempat mereka bekerja. Anak-anak biasanya akan mendapatkan angpao dari orang tua atau sanak saudara yang telah bekerja. Nominal angpao biasanya disesuaikan dengan usia anak. Anak yang lebih besar akan mendapat angpao yang besar juga.

Kalau urusan angpao dan THR, ini pasti terpengaruh oleh pandemi. Pandemi memang membuat banyak aspek kehidupan menjadi lebih sulit dari biasanya. Beruntung jika saat ini masih bekerja, setidaknya masih mendapatkan THR (sesuai kebijakan di tempat kerja). Namun, jika tahun ini ternyata menjadi salah satu korban PHK, itu pasti akan sangat memprihatinkan jika berurusan dengan THR. Karena itu, tradisi angpao dan THR ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan keadaan yang ada. Masa pandemi tetap akan memengaruhi tradisi satu ini.

Memakai Baju Baru

Bagi anak kecil, Lebaran tanpa baju baru serasa tidak afdol. Bagi orang dewasa, tradisi memakai baju baru ini masih bisa ditoleransi. Dahulu, tradisi ini masih begitu memengaruhi masyarakat, baik tua maupun muda. Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi ini juga sudah mulai terkikis. Orang dewasa cenderung memakai baju yang masih layak, sopan, dan bagus, meski tidak baru, sedangkan anak-anak kebanyakan masih mengenakan baju baru.

Hari Lebaran tidak mengharuskan kita mengenakan baju baru. Karena sudah menjadi tradisi, kadang ini membuat orang-orang merasa perlu untuk membeli baju baru. Sebelum pandemi, pusat perbelanjaan selalu ramai setidaknya satu atau dua minggu sebelum Lebaran. Selama pandemi ini, masih banyak juga yang membeli baju baru, tetapi tentu jumlah pembeli tidak sebanyak masa-masa sebelum pandemi. Kembali lagi ke masalah budget saat pandemi, tentu ini menjadi pertimbangan yang lain lagi. Bagi orang dewasa, bisa menghemat pengeluaran selama Lebaran ala pandemi akan menjadi pencapaian tersendiri untuk tahun ini. Namun, tidak semuanya bisa menghemat seperti yang diharapkan.

Petasan

Selain malam tahun baru, petasan juga makin laris sebelum dan selama Lebaran. Tradisi membunyikan petasan masih gencar dilakukan di banyak daerah. Mulai dari petasan ringan sampai petasan yang memunculkan suara cukup keras. Kesenangan dan kenikmatan membunyikan petasan pada malam hari ini menjadikan suasana Lebaran makin terasa, apalagi ketika petasan dinyalakan bersama dengan anggota keluarga. Tradisi petasan ini tidak begitu terpengaruh dengan adanya pandemi atau tidak. Biasanya, yang memengaruhi tradisi ini berasal dari faktor lingkungan masyarakat. Apabila masyarakat merasa cukup terganggu, biasanya tradisi petasan ini ditiadakan.

Rekreasi

Lebaran ala pandemi tidak mendukung untuk melakukan tradisi satu ini. Adanya pelarangan perjalanan jarak jauh (seperti mudik) dan jenis perjalanan lainnya yang sudah berbeda kota menjadikan tradisi rekreasi tidak akan bisa dilakukan selama pandemi. Lebaran di rumah saja menjadi imbauan pemerintah untuk tahun ini. Karena itu, jika memang ternyata ada orang-orang yang masih melakukan rekreasi pada Lebaran tahun ini, itu pasti rekreasi lokal saja, yang dekat-dekat dengan rumah.

Dari sekian banyak tradisi Lebaran ini, mana yang masih dilakukan di keluarga Anda? Tradisi-tradisi ini tidak sepenuhnya menentukan Lebaran Anda akan bermakna atau tidak. Yang menentukan adalah bagaimana Anda menikmati Lebaran ini dengan sepenuh hati, bersama orang-orang di sekitar Anda, baik mereka yang ada di depan mata maupun di depan kamera. Selamat menikmati suasana, nuansa, dan makna Lebaran ala pandemi tahun ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *