Intinya, politisi yang digadang-gadang untuk 2024 itu-itu mulu. Tidak heran masyarakat mengira, 2024 hanya akan berisi pertarungan tentang mereka. Padahal 2024 masih cukup lama, dan selama ini kita tahu, dalam politik, pemenang hanya muncul di detik-detik terakhir. Kemunculan Jokowi sebagai capres misalnya, hanya sesaat setelah pemilu legislatif yang menempatkan PDIP sebagai partai pemenang. Relawan pun praktis bergerak setelah itu, meski gerakannya kemudian menjadi bola salju. Demikian juga dengan kemenangan SBY pada 2004. Fenomena ini terjadi di banyak negara, termasuk juga di negara-negara yang tak demokratis. Siapa mengira Taliban secepat itu akan menguasai Afghanistan?
Artinya, bagi kita yang belum sreg dengan nama-nama populis itu, kita masih bisa berharap munculnya nama lain. Yang menjadi pertanyaan, mengapa ada nama yang populer dan ada yang tidak. Meski yang tak populer itu bukan berarti tak berprestasi. Budiman Sudjatmiko, Sandyaga Uno, Ignatius Jonan, Adian Napitupulu, Sri Mulyani Indrawati, tentu bukan tokoh abal-abal? Bisa jadi prestasi dan integritas mereka jauh di atas nama-nama populis. Hanya media sosial luput mengelu-ngelukan mereka dari hari ke hari, waktu ke waktu. Tepatnya tak terlalu mengelu-elukan mereka seperti pada politisi populis itu.
Apa prestasi Anies dibanding Budiman Sudjatmiko. Sebagai kepala daerah tak ada legacy-nya yang cukup nyata, kecuali fakta bahwa AB adalah penyerap anggaran yang cukup responsif sejak menjadi Mendikbud. Frankfurt Book Fair, pembelian lem bermilyar-milyar, kelebihan bayar, dan yang terbaru proyek ‘tak peka lingkungan’ Formula E. Di tengah pandemi, dengan kebijakan negara untuk bangkit dari pandemi dan memajukan UMKM, proyek Formula E terkesan cuma ingin pansos. Lebih ngakak lagi, ketika nama-nama besar di dunia otomotif menolak ikut serta di situ. Formula E yang digagas Anis jadi setara balap liar malam hari….
Bandingkan dengan kiprah Budiman Sujatmiko. Sejak muda ia berani menyuarakan kebenaran, berani melawan rezim represif Orde Baru. Di usia muda, ia dipenjara karena menjadi aktivis sekaligus Ketum Partai Rakyat Demokratik. Ia difitnah sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996. Di mana Anies saat itu? Mungkin sedang membuat intrik untuk menjadi rektor Paramadina meski tak pernah menjadi dosen.
Pernah dengar tentang Bukit Algoritma, proyek besar yang sedang digagas Budiman Sudjatmiko? Bak Silicon Valley, Bukit Algoritma akan menjadi sentra riset dan pengembangan dan sumberdaya manusia berbasis teknologi 4.0. Berlokasi di Cikidang dan Cibadak, Sukabumi ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas ekonomi dalam industri kita minimal berbasis teknologi 4.0, meningkatkan sektor pariwisata di kawasan setempat, serta meningkatkan infrastruktur pertumbuhan tangguh berkelanjutan dan pembangunan sumber daya manusia berbasis IPTEK. Dan yang terpenting, penciptaan ekosistem bisnis yang tak lepas dari pemberdayaan UMKM, sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh sebagian besar masyarakat.
Bukit Algoritma membuat kegiatan-kegiatan yang digagas Anies terasa cemen. Bahkan proyek Ganjar Pranowo pun belum ada yang seinovatif dan memiliki efek multiplier sekuat Bukit Algoritma. Jangan sebut AHY dan Puan, kita masih harus menunggu kedua makluk itu lepas dari bayang-bayang orang tua.
Sandyaga Uno juga punya nama besar di dunia perdagangan. KADIN. Ia terbukti sebagai politisi yang paham ekonomi dan perdagangan. Sebagai pengusaha, perusahaan di bidang keuangan, PT Saratoga Advisor, terkenal bertangan dingin. Mengambil alih beberapa perusahaan-perusahaan bermasalah, menjadikannya menjadi perusahaan yang sehat dan menguntungkan. Pada tahun 2009, ia tercatat sebagai orang terkaya urutan ke-29 di Indonesia menurut majalah Forbes.
Ignatius Jonan dan Sri Mulyani, track record-nya sebagai pejabat publik luar biasa. Siapa pun tahu itu. Bukan orang yang akan kita ragukan saat memimpin negara besar dengan permasalahan kompleks seperti Indonesia. Kalau boleh jujur, nama-nama yang kini populis itu justru meninggalkan keraguan bagi kita.
Yang menjadi pertanyaan kita, mengapa nama-nama berprestasi itu bisa kalah ramai dengan nama-nama populis? Tentu hal itu tidak terjadi tiba-tiba. Ada tim besar di balik nama-nama populis itu, yang memang concern untuk melambungkan nama mereka. Tidak peduli integritas ataupun kompetensi nama populis yang diusung. Menyedihkan lagi, kadang mereka lebih peduli pada popularitas mereka daripada bekerja keras untuk membuat suatu legacy.Dan ini juga berarti ada dana besar di balik itu. Bila kebetulan nama populis yang dimaksud tidak terlihat kaya, itu artinya lagi, ada bohir di baliknya.
Konon bohir Anis adalah JK. Politisi sepuh yang kiprah dan sepak terjangnya di dunia politik Indonesia tidak diragukan lagi. Paham seluk beluk menguasai massa, baik secara fair ataupun terselubung. Di belakang AHY tentu saja ada Cikeas. Menarik diulas adalah polemik baliho Puan selama ini. Masyarakat ramai-ramai mengecam Puan membuang-buang uang hanya untuk baliho. Ini benar, tetapi ada satu fakta yang tak disadari, bisa jadi uang yang digelontorkan politisi-politisi untuk memoncerkan nama mereka di media sosial juga tidak sedikit. Setara atau bahkan jauh lebih besar dari biaya baliho Puan.
Konon cara menyelidiki seberapa getol para politisi menggelontorkan uang untuk relawannya, bisa dilihat dari seberapa galak para buzzer mereka bereaksi di media sosial. Semakin nama politisi mereka tak dapat dikritik, berarti semakin massif dana yang digelontorkan. Dalam hal ini buzzer Anis Baswedan dan Ganjar bisa dibilang terdepan.
Bukan berarti politisi populis itu tidak layak memimpin, mereka pun punya kelebihan. Tapi perlu diingat, ada banyak calon lain yang juga cukup layak dipertimbangkan. Jangan sampai publik Indonesia dibutakan oleh fanatisme buta yang sebenarnya adalah rekayasa para timses politisi populis itu. Perlu kita pikirkan, salah satu unsur kepemimpinan yang harus dimiliki adalah rendah hati. Bekerja keras tanpa harus mempromosikan diri berlebihan. Biarlah prestasi mereka yang bicara. Sayangnya di era politik populisme ini, masyarakat sering tak sadar bahwa air beriak tanda tak dalam. Tong kosong nyaring bunyinya, dan orang hebat itu justru menggunakan ilmu padi. Makin berisi, makin merunduk.
2024 masih jauh, masih lama. Masih perlu serangkaian pembuktian, dan tak perlu sibuk memastikan siapa Presiden kita dari sekarang. Cukup buatlah prestasi, tinggalkan legacy.
Iwan Raharjo