Mantan Panglima TNI, Marsekal TNI (Pur) Hadi Tjahjanto ditunjuk Presiden Jokowi menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang Indonesia menggantikan Sofyan Djalil. Ia dipercaya melanjutkan reformasi agraria, sektor penuh isu-isu sensitif dan mewarisi carut marut berkepanjangan sejak puluhan tahun.
Tanda-tanda Hadi Tjahjanto bakal masuk kabinet sebenarnya sudah mulai tercium sejak ia ditunjuk sebagai Komandan Lapangan Pertamina Grandprix MotoGP 2022 di Mandalika. Dalam perhelatan perdana MotoGP di Indonesia itu, Hadi Tjahjanto sukses mengomandoi ajang kelas dunia bergengsi yang ditonton oleh 400 juta penonton televisi lebih dari 200 negara di dunia.
Sebelumnya sebagai Panglima TNI, Hadi Tjahjanto menggantikan Jenderal (Pur) Gatot Nurmantyo pada 9 Desember 2017, empat bulan sebelum Gatot pensiun. Pergantian itu cukup menarik perhatian nasional. Di masa Gatot menjadi panglima memang banyak terjadi demo-demo berlatar belakang Pilgub DKI 2017. Ahok saat itu dianggap melakukan penistaan agama, membuat massa berduyun-duyun berdemo. Beberapa demo bahkan berakhir dengan kerusuhan.
Gatot konon dekat dengan sejumlah pelaku demo-demo itu. Saat demo 4 November 2016, Gatot muncul mengenakan kopiah putih. Belakangan setelah pensiun, Gatot kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial dan disinyalir berambisi untuk menjadi Capres 2024.
Selama menjadi panglima, Gatot juga pernah memerintahkan jajaran TNI untuk menggelar nonton bareng film Pengkhianatan G30S/PKI pada 2017. Tanpa bermaksud melupakan tragedi kelam itu, materi film tersebut kurang akurat dan politis. Ajakan nobar dari Gatot melupakan semangat rekonsiliasi yang sangat kita butuhkan saat ini untuk menghindari disintegrasi bangsa.
Menjelang pergantiannya sebagai panglima, Gatot berulah lagi dengan melakukan mutasi tentara yang sangat bernuansa politis. Keputusan Panglima Tentara Nasional Indonesia Nomor Kep/982/XII/2017 tertanggal 4 Desember 2017 yang dikeluarkan Gatot itu kemudian dianulir oleh Hadi Tjahjanto begitu ia dilantik sebagai Panglima TNI.
Berbeda dengan Gatot, Hadi Tjahjanto adalah Panglima yang kalem, tidak kontroversial, namun sarat dari prestasi. Ia dikenal sebagai barisan Jenderal Merah Putih, jenderal-jenderal yang setia pada NKRI dan Pancasila, serta berwawasan kebangsaan. Sepak terjang Hadi Tjahjanto dalam menjaga kedaulatan saat menjadi panglima TNI cukup teruji. Salah satunya saat bertindak melakukan pengamanan Pemilu 2019. Atmosfer politik saat itu cukup panas, karena masyarakat terpolarisasi ekstrim dalam dua kubu sebagaimana jumlah kontestan Pilpres 2019.
Kala itu ada upaya provokatif pihak tertentu terutama saat perhitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memanfaatkan situasi. Dalihnya adalah dengan tidak menerima hasil penetapan pemilu. Namun Hadi Tjahjanto cepat mengambil tindakan untuk mencegah munculnya gerakan yang mengancam keamanan negara.
Hadi Tjahjanto juga sukses menjaga keamanan saat perhelatan PON di Papua. Terlebih, pelaksanaan olahraga nasional itu dilangsungkan dalam suasana pandemi Covid-19. PON di Papua ini juga menjadi pembuktian kepada dunia bahwa Papua merupakan bagian penting dari NKRI dan tak terpisahkan.
Sebagai putra seorang sersan mayor yang bekerja di Landasan Udara (Lanud) Abdulrachman Saleh, Hadi Tjahjanto sangat mencintai dunia penerbangan sekaligus bercita-cita sebagai prajurit. Jalan sukses Hadi Tjahjanto sebagai tentara menunjukkan kepada kita bahwa di Indonesia, siapapun dapat mencapai puncak karir sebagai Panglima TNI. Tidak peduli latar belakangnya. Tidak harus putra seorang perwira tinggi. Ia pun menjadi Panglima TNI kedua yang berasal dari TNI AU.
Hadi Tjahjanto bukan orang baru bagi Presiden Jokowi. Ia pernah ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Sekretaris Militer. Di tahun 2010-2011, semasa menjadi Walikota Surakarta, Hadi Tjahjanto adalah Danlanud Adi Sumarmo. Kedekatan ini menimbulkan “chemistry” Hadi dengan Jokowi.
Suatu ketika saat Jokowi meresmikan pesawat N219 di Lanud Halim Perdanakusuma, puluhan anak SD ikut berbaris menonton acara itu. Saat Jokowi berpidato, salah satu siswi di barisan paling depan muntah. Jokowi yang melihat peristiwa tersebut langsung menggerakkan tangannya kmenunjuk ke arah anak perempuan itu. Meminta ajudan membawa anak itu beristirahat. Namun, kode Jokowi itu tak dipahami ajudannya. Justru KSAU Hadi Tjahjanto melihat gerak-gerik Jokowi. Dengan sigap ia langsung menggendong bocah SD tersebut untuk membawanya beristirahat di bagian belakang.
Hadi Tjahjanto menjadi satu di antara barisan Jenderal-jenderal Merah Putih di belakang Jokowi. Para prajurit sejati yang setia pada Pancasila NKRI.
Di masa Orde Baru, TNI yang saat itu masih disebut ABRI, diwarnai isu adanya kelompok yang disebut ABRI Merah-Putih dan ABRI Hijau. Pelabelan itu tentu saja sesuatu yang mengada-ada, dan menyesatkan. ABRI Merah-Putih adalah “tentara yang dianggap nasionalis dan tidak membawa bendera agama“. ABRI Merah-Putih identik dengan sosok Jenderal Benny Moerdani dan mereka yang dekat dengan Benny. Sebagai Panglima ABRI dari tahun 1983 hingga 1988, Benny terkenal angker dan tanpa kompromi pada gerakan-gerakan yang mengancam persatuan dan kesatuan. Di antara orang-orang tersebut ada nama-nama Try Sutrisno, dan Edy Sudradjat. Sedangkan generasi di bawah Benny yang dipersiapkan untuk menjadi penerusnya adalah
Theo Syafei, Luhut Panjaitan, AM Hendropriyono, Sutiyoso, Agum Gumelar dan Wiranto.
ABRI Hijau sendiri adalah julukan kepada tentara yang berafiliasi keagamaan. Setelah keretakan hubungan Presiden Soeharto dan Benny Moerdani, bukan hanya Benny yang disingkirkan, tetapi juga mereka yang dianggap ABRI Merah Putih. Masa itu nama Feisal Tanjung dari kelompok ABRI Hijau mulai naik sebagai Panglima ABRI. Di masanya terjadi peristiwa 27 Juli 1996, saat kantor PDI diserbu dan terjadi kerusuhan besar. Feisal Tanjung dianggap bertanggung-jawab atas kejadian itu. Namun Megawati dengan besar hati, demi kerukunan bangsa, memaafkan dan mengajak berekonsiliasi.
Yang menarik lagi, Sutiyoso yang menjadi Pangdam Jaya saat peristiwa 27 Juli terjadi, justru kemudian didukung Megawati menjadi Gubernur DKI di tahun 2002. Sutiyoso memang salah satu dari barisan Jenderal Merah Putih.
Di era reformasi, istilah TNI Hijau dan TNI Merah Putih tak lagi populer. Namun saat ini isu tersebut kembali santer: persaingan antara TNI Hijau vs TNI Merah Putih. Yang tergolong TNI Hijau adalah mereka yang dipilih SBY, seperti Gatot Nurmantyo dan Edy Rahmayadi. Disebut hijau karena SBY dekat dengan ormas-ormas radikal, dan kebetulan seringkali mereka mengatasnamakan agama.
Sebaliknya TNI Merah Putih dianggap pro Megawati. Kedekatan Megawati pada tentara nasionalis ini diawali oleh dukungan Benny Moerdani terhadap Megawati, ketika Megawati pertama tampil sebagai juru kampanye andalan PDI menjelang Pemilu 1987. Saat posisi Benny surut, dukungan terhadap Megawati kemudian dilanjutkan oleh anak didik Benny seperti LBP, Wiranto, Agum dan Hendropriyono. Di era kini nama Moeldoko, Hadi Tjahjanto, Andika Perkasa dan Dudung Abdurahman melengkapi barisan jenderal nasionalis. Spirit mereka tentu saja NKRI harga mati.
Stigma tentang TNI Hijau vs Merah Putih hanyalah stigma tidak perlu. Namun menarik disimak bahwa para jenderal-jenderal nasionalis ini, semua ada di belakang Jokowi.
Jenderal (Pur) Moeldoko saat ini menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan Indonesia sejak 17 Januari 2018. Ia pernah menjabat sebagai Panglima TNI dan KSAD. Sebagai lulusan terbaik Akademi Militer (Akmil) tahun 1981, nama Moeldoko tidak asing lagi di dunia militer ataupun politik.
Luhut Binsar Panjaitan boleh dibilang orang kepercayaan Presiden Jokowi. Sebagai Kepala Staf Kepresidenan maupun menjadi Menteri. Seperti juga Moeldoko, Luhut juga lulusan terbaik Akmil tahun 1970. Jiwa nasionalisnya pun telah tumbuh sejak muda. Sebagai siswa SMA Penabur Bandung, ia kemudian menjadi salah satu pendiri Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI) yang menghimpun pelajar dan mahasiswa menentang Orde Lama dan PKI.
Abdullah Mahmud Hendropriyono adalah seorang jenius tulen. Ia pakar intelijen dan militer Indonesia yang diakui dunia. Sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) pertama, ia dijuluki the master of intelligence karena menjadi “Profesor di bidang ilmu Filsafat Intelijen” di Sekolah Tinggi Intelijen Negara sekaligus peraih gelar doktor filsafat di Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan predikat cum laude. Menantunya, Jenderal Andika Perkasa kini menjabat Panglima TNI. Andika seperti juga Hendropriyono, sarat prestasi dan barisan jenderal merah Putih.
Agum Gumelar juga bagian dari barisan Jenderal Merah Putih itu. Ia pernah menjadi Menteri di era Presiden Gus Dur dan Megawati, serta menjadi Wantimpres di era Jokowi. Di masa Orde Baru, Agum dianggap jenderal yang tidak loyal kepada Soeharto. Agum dianggap tidak “tegas” kepada musuh Soeharto. Ketika menjadi Danjen Kopassus, dalam rapat pimpinan ABRI, Agum berkata, “Kalau kita menganggap Megawati dan para pendukungnya musuh, kalau kita menganggap Gus Dur dan pengikutnya musuh, kalau kita menganggap kelompok Petisi 50 dengan pengaruh-pengaruhnya musuh, maka sesungguhnya kita kebanyakan musuh. Padahal falsafah Cina Sun Tzu menyatakan bahwa seribu kawan masih kurang, satu musuh kebanyakan.”
Buntut dari ucapan itu tidak main-main. Gus Dur, Megawati, juga Petisi 50 adalah musuh besar Soeharto. Ia digeser dari jabatannya sebagai Danjen Kopassus. Pengamat militer Salim Said, dalam bukunya Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016) menyebut, Agum bersama Hendropriyono dianggap jenderal yang bersimpati kepada Megawati. Agum pun dibuang dari Jakarta dan dimutasi ke Medan
Pasca kerusuhan Mei 98, Agum adalah salah satu jenderal yang menyidang Prabowo dalam Dewan Kehormatan Perwira (DPK). Kasus penculikan aktivis yang melibatkan Prabowo bukan kasus biasa, tapi merupakan pelanggaran HAM berat. Agum bersama anggota DKP lain, kemudian menandatangani rekomendasi pemberhentian Prabowo dari TNI.
Wiranto juga berada di barisan jenderal merah putih pendukung Jokowi. Ia pernah menjadi Panglima TNI. Ia pernah pula menjadi menteri. Sebagai Menkopolhukam di era Presiden Jokowi, Wiranto bahkan pernah terkena musibah saat berkunjung ke Pandeglang, banten dalam rangka tugas. Seseorang bernama Abu Rara menusuknya di bagian punggung belakang. Belakangan Abu Rara terindikasi sebagai kelompok radikalis Islam yang memang kerap membuat keonaran terhadap apa-apa yang mereka anggap nasionalis.
Demikianlah, barisan Merah Putih. Demi menjaga keutuhan NKRI apapun akan mereka persembahkan untuk keutuhan NKRI. NKRI harga mati….
Iwan Raharjo