Aksi demo mahasiswa tanggal 11 dan 21 April 2022 membawa 7 tuntutan pada pemerintah. Selain tuntutan yang paling populer tentang penolakan penundaan Pemilu dan wacana perpanjangan masa jabatan presiden, tuntutan kedua menuntut pemerintah untuk menurunkan harga kebutuhan pokok serta mengatasi ketimpangan ekonomi.
Tentang tuntutan pertama, telah banyak dibahas, bahwa sebenarnya tuntutan tersebut basi. Presiden Jokowi telah berkali-kali menegaskan bahwa tidak akan ada penundaan Pemilu dan perpanjangan bagi masa jabatannya. Kenyataannya para anggota KPU dan Bawaslu memang telah dilantik 12 April 2022 kemarin, yang mana berarti bahwa pemerintah memang serius akan menyelenggarakan Pemilu tahun 2024 nanti.
Naifnya para mahasiswa dalam melayangkan tuntutan demo, membuat banyak pihak menyesalkannya. Semestinya mahasiswa mempelajari terlebih dahulu isu-isu yang mereka jadikan tuntutan demo. Kecuali apabila aksi demonstrasi mereka memang memiliki niatan yang berbeda, yaitu untuk menumbangkan presiden, maka segala isu sebenarnya hanya dijadikan alasan saja.
Inflasi yang terjadi di Indonesia, tak bisa dilepaskan dari terjadinya pandemi Corona di Indonesia dan di seluruh dunia.
Pandemi menyebabkan perekonomian negara-negara di seluruh dunia menjadi lesu, termasuk Indonesia. Akibat kebijakan lockdown yang dilakukan pemerintah, banyak orang berkurang penghasilannya, bahkan kehilangan mata pencaharian. Industri dan aktivitas bisnis pun banyak yang gulung tikar. Tingkat konsumsi, produksi dan investasi nasional mengalami penurunan tajam. Sebagai akibatnya perekonomian negara melemah.
Menjelang pandemi berakhir, pemerintah mulai kembali berusaha untuk memulihkan perekonomian nasional. Untuk menggairahkan perekonomian nasional, pemerintah – lewat Bank Indonesia – mengeluarkan kebijakan untuk menurunkan tingkat suku bunga acuan. Sejak awal 2020, BI telah menurunkan tingkat suku bunga, dan terus menurunkannya, sampai Februari 2021, melalui Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, memutuskan bahwa suku bunga acuan sebesar 3.5%. Suku bunga deposito menjadi 2.75% sedangkan suku bunga pinjaman menjadi 4.25%.
Kebijakan ini dilakukan dengan harapan untuk menggairahkan investasi yang sempat melambat di masa pandemi. Apabila suku bunga pinjaman rendah, diharapkan para pengusaha akan tertarik untuk melakukan investasi karena biaya modal menjadi rendah, sehingga mereka berpotensi memperoleh laba yang lebih banyak.
Rendahnya suku bunga deposito dan tabungan, akan berakibat masyarakat enggan untuk menyimpan dana mereka dalam deposito atau tabungan. Sehingga masyarakat diharapkan akan menarik simpanan mereka di lembaga keuangan, dan berpikir untuk lebih baik membelanjakannya daripada menyimpannya dengan tingkat pengembalian yang tidak layak.
Turunnya tingkat suku bunga ini akan mengakibatkan jumlah uang yang beredar di pasar menjadi semakin banyak. Aktivitas konsumsi dan investasi, yang merupakan 2 faktor dari 4 faktor (2 faktor yang lain adalah belanja pemerintah dan aktivitas ekspor serta impor) penentu kegiatan ekonomi suatu negara, diharapkan meningkat. Apabila konsumsi dan investasi meningkat, maka ekonomi negara akan semakin bergairah.
Tetapi tentu saja kebijakan ini bukannya tanpa risiko. Bertambahnya jumlah uang yang beredar di pasar yang berarti bertambahnya permintaan akan barang-barang dan jasa-jasa, tidak bisa langsung diimbangi dengan pasokan barang dan jasa tersebut. Pasokan barang dan jasa belum kembali normal akibat produksi banyak terhenti selama pandemi. Walau pemerintah telah menurunkan suku bunga pinjaman, yang akan menggairah sisi produksi, tetapi tetap akan terdapat kesenjangan waktu sampai jumlah pasokan bisa memenuhi jumlah permintaan. Hal ini disebabkan karena selama pandemi, faktor-faktor produksi tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal. Sebagai contoh faktor produksi tenaga kerja. Selama pandemi, banyak terjadi pengurangan tenaga kerja, akibat perusahaan-perusahaan juga banyak yang menurunkan jumlah produksinya. Untuk merekrut tenaga kerja kembali, pastilah membutuhkan waktu. Permintaan barang dan jasa yang jumlahnya jauh melebihi jumlah pasokan, menyebabkan harga barang dan jasa tersebut menjadi naik. Terjadilah inflasi.
Walau demikian, kebijakan penurunan tingkat suku bunga ini memang harus dilakukan untuk menggerakkan perekonomian. Ibarat berusaha menjalankan kembali mobil yang telah mogok lama, maka dorongan dan ungkitan yang kuat, sangat dibutuhkan.
Negara-negara lain pun juga melakukan kebijakan seperti yang dilakukan pemerintah Indonesia ini. The Fed (The Federal Reserves – Bank Sentral AS), pada awal 2020 bahkan menurunkan suku bunga acuannya hingga 1 – 1.25%.
Saat ini pemerintah mulai berancang-ancang untuk menaikkan suku bunga acuan kembali, untuk mengerem laju inflasi. The Fed telah melakukannya di awal tahun ini.
Lepas dari adanya mafia perdagangan, seperti kasus minyak goreng, mahasiswa perlu memahami keadaan-keadaan yang melatar belakangi naiknya harga barang-barang ini. Selain faktor di atas, pun terdapat faktor-faktor lain seperti dampak peperangan antara Ukraina vs Rusia. Dengan memahami permasalahan, maka mahasiswa dapat menjadi bagian dari solusi permasalahan di negara ini, bukan malah menjadi bagian dari perkara.
Jika mahasiswa dapat memahami duduk perkara, maka mahasiswa akan dapat menjadi penyeimbang pemerintah yang lebih akurat.
Hal di atas adalah apa yang aku sampaikan pada para mahasiswaku di kelas Pengantar Ilmu Ekonomi yang kebetulan semester ini aku ampu. Tentu saja dengan harapan bahwa mahasiswa benar-benar dapat menjadi pembawa suara hati rakyat yang memahami duduk permasalahan, sehingga apabila berdemo, maka tuntutan-tuntutan mereka akan jadi kritik-kritik yang tajam pada pemerintah, bukan kritikan yang ngawur, yang malah akan membuat malu rakyat dan kampus mereka.
Rani Rumita