AHY sang Ketua Umum Partai Demokrat, lagi-lagi menebar hoax dalam pidato politik dengan gaya cetar membahenol di hadapan ribuan kader di lapangan tenis indoor Senayan pada 14 Maret 2023. Entah mengapa, 48 jam sesudah ditayangkan di kanal youtube AHY, penonton pidatonya hanya 2.1 K.
Dalam pidato ala ala deklamasi, AHY mengatakan dirinya sibuk keliling Indonesia tanpa perantara. AHY keliatannya berhasil bepergian keliling Indonesia hanya dengan berjalan kaki tanpa perantara kendaraan. Bermodal dengkul dalam arti sebenar-benarnya.
Dalam pidatonya, AHY menyinggung utang pemerintah di era Presiden Joko Widodo yang naik tiga kali lipat dalam delapan tahun terakhir ditambah utang BUMN yang semakin menggunung. September 2021, AHY pernah berteriak-teriak soal utang Indonesia terus membengkak. Isu ini memang kerap ditebar demi memancing kebencian kelompok-kelompok rendah literasi.
Faktanya, di era SBY utang RI justru berkali lipat dibanding era Jokowi. Berita busuk yang selalu ditutup setengah mati. Pada tiga tahun terakhir masa pemerintahan SBY kenaikan jumlah utang sangat luar biasa. Tidak tanggung-tanggung, sampai 460 persen dari utang di masa pemerintahan Megawati. 4,6 kali lipat. Peningkatan di era Jokowi hanya 1,6 kali dibanding era akhir SBY. Itu pun bisa jadi lebih rendah dari angka inflasi kumulatif selama hampir 10 tahun Presiden Jokowi memegang pemerintahan.
Meski meningkat, paningkatan utang di era Presiden Jokowi juga diikuti dengan peningkatan-peningkatan infrastruktur secara fantastis sebesar 200 persen hanya dalam 2 tahun awal menjadi Presiden. Prestasi luar biasa yang belum tentu bisa diulang presiden lain, termasuk Soeharto yang mengklaim diri sebagai Bapak Pembangunan. AHYdengan iri menyebut keberhasilan ini proyek mercusuar.
Untuk info saja Mas Mayor AHY, jalan tol yang dibangun SBY hanya 189,2 kilo meter. Sementara jalan tol yang dibangun Presiden Jokowi hingga tahun 2023 total mencapai 2.290 kilo meter. 12 kali lipat lebih panjang. Presiden Jokowi juga membangun 31 Bandara dan 39 Bendungan. Di era SBY, pembangunan infrastruktur begitu sedikit dan mangkrak. Satu per satu orang-orang SBY yang terlibat proyek terkena kasus korupsi dan divonis bersalah. Sampai di situ, Kanjeng Den Bagus Dewe AHY mau pamer good governance di era Bapaknya?
Bukan cuma infrastruktur, anggaran Kesehatan meningkat hampir dua kali lipat (180 persen). Yang juga fantastis adalah peningkatan DAK dan dana desa. Kenaikannya sampai 3,5 kali lipat sehingga penduduk miskin menurun menjadi 15,26 juta pada 2020. Turun 14 persen dalam 5 tahun. Perlindungan sosial mengalami peningkatan terpesat sebesar 8,5 kali lipat. Di masa Presiden Jokowi, peningkatan utang diikuti peningkatan pendapatan negara yang jauh lebih besar. Sampai di sini, AHY tentu salah besar bila menganggap pembangunan di era Jokowi tidak menyentuh kehidupan wong cilik.
Utang pemerintah proporsinya tidak melanggar amanat Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu rasio utang kurang dari 60% dari PDB. Baik di era Presiden Jokowi maupun era SBY, tidak pernah melewati 60%. Meski sebenarnya banyak negara maju justru punya rasio utang yang bahkan lebih dari 100% dibanding PDB. Termasuk Amerika Serikat, Perancis, dan Jerman, China dan India.
Di era SBY, utang banyak dihabiskan untuk belanja subsidi BBM. Di era Jokowi, utang banyak ditujukan untuk pembangunan infrastruktur, karena sejak Orde Baru, infrastruktur Indonesia telah terlambat diperbarui. Fakta-fakta ini seharusnya membuat AHY malu untuk asal ngecap. Era bapaknya itu era pemecahan rekor berutang untuk hal konsumtif. Era bapaknya juga, orang sakit cuma bisa banyak menangis dan berdoa. BPJS full cover belum ada. BPJS menjadi satu-satunya asuransi Kesehatan yang mau mencover penyakit kanker dan orang usia lanjut. Itu semua terjadi di era Jokowi, bukan era Pepo.
Tahun 2014, saat Jokowi pertama kali menjabat presiden, tingkat inflasi Indonesia mencapai 8,36 persen. Inflasi warisan dari era SBY. Setahun setelah Jokowi menjabat, inflasi turun hingga sebesar 3,36 persen. Pengendalian inflasi sendiri menjadi salah satu capaian prestasi pemerintahan Jokowi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sejak era Jokowi tingkat inflasi di Indonesia selalu berada di bawah 4 persen. Bukti bahwa pemerintahan Jokowi jauh lebih berhasil mengendalikan inflasi dibanding SBY yang cenderung tinggi.
Rendahnya inflasi sepanjang pemerintahan Jokowi menjadi pertanda bahwa pola pembangunan ekonomi lebih menitikberatkan pada pemerataan pendapatan, bukan sekadar memacu pertumbuhan ekonomi hingga mengakibatkan tingginya inflasi seperti era SBY.
Pemerintahan Jokowi berbeda, fokus utama pembangunan adalah pengendalian harga guna mempertahankan daya beli masyarakat secara keseluruhan. Pola pembangunan Jokowi akan cenderung mempertahankan tingkat inflasi pada level yang rendah dengan konsekuensi pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih rendah juga. Jokowi memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi harus dirasakan oleh seluruh masyarakat. Bukan pertumbuhan semu. Pada era Jokowi, UMKM menjadi prioritas pemicu pertumbuhan ekonomi. Bukan obral konsesi perkebunan dan pertambangan seperti era SBY.
Dibanding SBY, Jokowi mengalami masa pemerintahan yang relatif berat karena adanya gangguan-gangguan politik dan bencana. Radikalisme, maraknya demo-demo SARA, dan pandemi. Berlimpahnya informasi hoax. Belakangan ditambah krisis energi dunia dan invasi Rusia ke Ukraina telah memancing hyper inflasi dunia. Kalau faktor-faktor eksternal itu terjadi di era SBY, mungkin Pepo akan mendekap dada dan berkata prihatin. Bukan solving problem.
Isu perpanjangan masa jabatan sebenarnya juga terjadi di era SBY. Diusulkan oleh Ruhut Sitompul, salah satu kader Partai Demokrat masa itu. Beredar pula usulan agar Ibu Ani Yudhoyono menjadi Presiden pada tahun 2014 apabila masa jabatan SBY tidak bisa diperpanjang. SBY sendiri mulanya diam menghadapi usulan perpanjangan dari Ruhut tersebut. Seakan mengiyakan sembari melihat animo masyarakat. Ternyata setelah tak ada yang mendukung ide tersebut. Hingga akhirnya SBY terpaksa menolak ide perpanjangan masa jabatannya.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow menganalisis, ada perbedaan mendasar terkait wacana perpanjangan masa jabatan presiden di era SBY dan Jokowi. Menurutnya, publik cenderung menolak terhadap wacana SBY untuk maju 3 periode, sementara Jokowi lebih didukung. Meski hal itu bukan keinginan Presiden Jokowi. Perpanjangan masa jabatan SBY diusulkan oleh kader internal partainya, perpanjangan masa jabatan Jokowi hebatnya justru dilakukan oleh kader-kader di luar PDIP. Salah satunya Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar yang ingin pemilu ditunda dua tahun. Isu ini semakin ramai setelah PAN dan Golkar mendorong isu serupa.
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati menilai wacana Jokowi 3 Periode muncul setelah Publik melihat angka kepuasan terhadap Jokowi yang cukup tinggi. Popularitas Jokowi tetap tinggi bahkan tak sedikit yang menganggap Jokowi sebagai ‘ratu adil’ yang telah membawa banyak perubahan di Indonesia lewat pembangunan yang masif.
Sekarang mari kita lihat perbandingan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja SBY dan Jokowi. Di tahun 2022, persentase tingkat kepuasan terhadap kinerja Jokowi berada di angka 71 persen. Di awal 2023, survey Kompas menunjukkan angka kepuasan pada Presiden Jokowi bahkan mencapai 74 persen.
Pada tahun 2013, Survei Nasional Pol-Tracking Institute menyebutkan bahwa kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan SBY hanya 40,5 persen. Ketidakpuasan masyarakat terutama di bidang ekonomi, hingga 71 persen karena harga-harga kebutuhan pokok yang semakin mahal. Kanjeng Den bagus Dewe AHY mungkin pura-pura tidak tahu fakta ini.
SBY banyak dinilai gagal. Menurut Forum Masyarakat Sipil Indonesia (ICFP), rapor merah dimulai dari investasi yang lebih berpihak kepada korporasi ketimbang masyarakat. Penyerapan tenaga kerja malah menurun, karena investasi tidak bertumpu sektor padat karya.
Sekarang mengenai food estate yang dikritik keras AHY. Menurut AHY, food estate merupakan program yang hanya mengandalkan ekstensifikasi lahan saja, tetapi mengabaikan faktor ekologi dan sosial. Lagi-lagi AHY lupa, era Bapaknya juga tercatat sebagai era kerusakan ekologi dan sosial yang parah.
Di era SBY terjadi laju deforestasi luar biasa karena SBY secara ugal-ugalan mengeluarkan kebijakan konversi hutan alam menjadi lahan sawit. SBY sangat tunduk Terhadap Korporasi Raksasa dan Multinasional. Terus memberikan dan memperluas konsesi skala besar di bidang pertambangan, perkebunan dan kehutanan. Di tahun 2013, lebih dari 13,5 juta hektar izin perkebunan sawit separuhnya adalah perkebunan milik koorporasi asing.
Bisnis sawit juga pernah menyeret banyak petinggi Partai Demokrat dalam kasus korupsi. Mulai dari Hartati Murdaya hingga Nazaruddin. Entah apakah SBY masih cukup berperan dalam industri sawit di era Jokowi. Hanya saja, baru-baru ini banyak yang terbelalak saat Ibas membagikan 16 ton minyak goreng di Ngawi. Di tengah kelangkaan minyak goreng.
Berlawanan dengan agresif-nya SBY memberi izin konsesi, SBY ternyata tidak mampu menangani penghindaran pajak. Sedikitnya ada 500 triliun rupiah potensi pajak yang hilang akibat berlindung di surga pajak (tax heavens). Menurut Studi INFID dan Perkumpulan Prakarsa mencatat ada 3.600 triliun rupiah aset orang-orang superkaya yang belum dikenai pajak di era SBY.
Dalam buku ‘The Yudhoyono Presidency: Indonesia’s Decade of Stability and Stagnation’ yang diterbitkan Institute of Southeast Asian Studies dikatakan bahwa SBY meninggalkan banyak masalah. SBY merangkul kelompok-kelompok radikalis, gagal menuntaskan korupsi, tak punya terobosan untuk pemerintahan yang bersih, dan masyarakat miskin tidak mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan GDP.
John McBeth, jurnalis The Strait Times dalam buku The Loner: President Yudhoyono’s Decade of Trial and Indecision menuliskan yang serupa. Di periode kedua pemerintahannya, SBY hampir tidak melakukan apa-apa kecuali berburu gelar nan hebat-hebat baik di tingkat nasional maupun internasional. Ilmuwan politik asal Australia Greg Fealy menyebut SBY disibukkan dengan penghargaan dan gelar, bahkan menunjuk ‘staf penghargaan’ yang bertugas berburu gelar. Hal serupa dikatakan Marcus Mietzner dalam Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy, and Molitical Contestation in Indonesia “.
Itu prestasi negatif SBY yang tidak disadari anak lanangnya. Lepas dari itu, kekurangan SBY biarlah menjadi sejarah. Tak ada gading yang tak retak. Namun si anak, putra mahkota AHY harus paham,b peradaban bergerak ke depan, membuat inovasi baru, menjawab tantangan-tantangan baru, melakukan sesuatu. Bukan berlindung di balik keberhasilan orang tua, apalagi menebar hoax.
Nia Megalomania