Blunder Baliho Malah Mengusik Presiden, Apa Maumu, Puan?

Puan Maharani, dalam kapasitas sebagai Ketua DPP PDIP sekaligus Ketua DPR RI Puan Maharani akhir-akhir ini kerap menunjukkan sikap kritis kepada pemerintah. Kekritisan ditunjukkan saat dirinya sedang banyak disorot karena blunder parade baliho di tengah pandemi.

Puan menyoroti penanganan pandemi COVID-19, khususnya perihal aturan-aturan dalam PPKM. Menurut Puan, aturan makan 20 menit, misalnya, hanya menjadi lelucon jika pemerintah tidak mensosialisasikannya dengan baik. Puan mengingatkan pemerintah harus bisa menjelaskan dengan rinci aturan-aturan baru yang menjadi sorotan masyarakat.

Kemudian soal teknis pengawasannya, Puan juga mempertanyakan. Puan menyatakan, akan timbul dampak buruk jika pemerintah tidak bisa menjelaskan secara rinci perihal aturan-aturan itu. Buntutnya, kata Puan, justru akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Tak hanya Puan. Effendi Simbolon dan Masinton Pasaribu, juga mengkritik pemerintah degan tajam. Mereka, para anggota DPR dari Fraksi PDIP ini tampak kompak sekali menyerang Presiden Jokowi.

Effendi menyalahkan Presiden Jokowi yang tidak menerapkan lockdown sejak awal pandemi. Dalam hal ini, Effendi merespons pernyataan pakar epidemiologi yang menyebut Indonesia sedang menuju jalur jebakan pandemi.

Sementara itu Masinton Pasaribu yang kini duduk sebagai anggota Komisi VI, menyoroti kinerja para pembantu Jokowi yang bertindak secara seremonial dan cenderung menyepelekan COVID-19. Dia menyoroti salah satu pernyataan Menteri Luhut Panjaitan sebagai koordinator pengendalian Covid-19, yang sempat menyebut Corona terkendali, tapi keesokannya justru terjadi lonjakan kasus.

Cara berpikir dan bertindak seremonial, kata Masinton, sampai saat ini menjadi trademark kebanyakan para pejabat. Masinton juga menyebut pejabat-pejabat cenderung menggampangkan masalah. Dia berpendapat, selain terlalu reaksioner menanggapi kritik, kondisi Corona di Indonesia malah melonjak ketika ditangani Luhut.

Masinton menyayangkan, seorang menteri koordinator ditunjuk sebagai koordinator dalam penanggulangan COVID untuk mengkoordinir penerapan PPKM. Tapi justru hasilnya di beberapa provinsi yang dikoordinir malah terjadi lonjakan kasus, dan fasilitas medis untuk perawatan tidak siap.

Pada satu sisi, kabar ketidakharmonisan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Presiden Jokowi belakangan ini menjadi perbincangan publik. Untuk diketahui, Megawati dalam acara pelatihan mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami yang digelar DPP PDIP secara virtual beberapa waktu lalu juga menyinggung Jokowi.

Ibunda Puan Maharani ini mempertanyakan siapa yang seharusnya menjadi pemegang komando tertinggi di saat kondisi bangsa dalam keadaan tidak normal akibat pandemi Covid-19. Menurut Megawati, Jokowi sebagai kepala negara yang seharusnya memegang langsung kendali komando penanganan pandemi Covid-19 dan bukan melimpahkannya kepada Menko Luhut Binsar Pandjaitan.

Dalam diskusi bertema “Bung Hatta Inspirasi Kemandirian Bangsa” baru-baru ini, Megawati bahkan mengaku dia yang mengajari para pejabat mendekat dengan rakyat baik dengan cara salaman maupun blusukan. Mega mengatakan, dia yang menyuruh Jokowi blusukan di tengah rakyat, sebagaimana dia juga telah melakukannya.

Sikap kritik Puan, Effendy dan Masinton ditambah Megawati kepada pemerintah ini memang tidak biasanya dan tidak semestinya terjadi. Sudah seharusnya ketiganya mendukung semua kebijakan pemerintah dan bukan malah menjaga jarak dengan sikap kritis untuk menunjukkan bargaining position. Karena Jokowi menjadi Presiden tak lain diusung partai di mana ketiga wakil rakyat itu bernaung. Akhirnya, sikap ini memunculkan tanya bagi sejumlah pihak. Apa maumu wahai Puan dan kawan-kawan?

Namun sekaligus makin tampak jelas. Puan, Mega dan rombongan DPP PDIP sedang menunjukkan siapa yang lebih berkuasa di negeri ini. Secara tidak langsung, mereka juga sedang mengatakan bahwa Jokowi yang menjabat Presiden, sebenarnya tidak lebih dari petugas partai. Sehingga harus mengikuti kata-kata orang partai.

Semoga dengan mengusik Luhut yang memimpin penanganan Covid, mereka tidak sedang mengincar dana penanganan Covid-19 yang besarnya Rp 744 triliun. Dana yang tidak sedikit, tentu saja menggiurkan.

Yang pasti, arogansi ini membuat relawan dan para pendukung sejati Presiden Jokowi marah. Mereka makin gencar menyerang Puan. Ribuan baliho Puan dengan tulisan Kepak Sayap Kebhinnekaan yang tersebar di seluruh pelosok Tanah Air, pun hanya dijadikan bahan kelakaran. Malang benar nasib Puan.

Bukan Presiden Jokowi kalau tidak bijak. Jokowi bergeming dengan serangan-serangan itu. Bagaimanapun, PDIP adalah partai yang telah mengusungnya. Apalagi partai yang sama juga telah mengusung Gibran anaknya menjadi walikota Solo, dan Bobby menantunya menjadi walikota Medan. Jokowi tidak mau bersikap durhaka, tapi juga tidak gentar.

Dikritik rombongan PDIP karena mempercayakan penanganan Covid-19 kepada Luhut, Jokowi tidak surut. Dia bukan mencopot jabatan itu dari Luhut, tapi malah menambahi tugas kepada Opung Luhut menjadi Dewan Pengarah Danau Prioritas Nasional. Beginilah Jokowi. Dia tidak sedang membangkang terhadap partai. Namun secara langsung dia sedang menunjukkan kepada Puan, Mega dan kawan-kawan, bahwa dialah pemimpin negara saat ini. Dia seorang Presiden, panglima tertinggi negara.

Akhirnya, antara DPP PDIP dan Presiden Jokowi memang terlihat kuat-kuatan. Entah bagaimana ujung dari kisah ini. Bisa saja PDIP makin menjaga jarak dan meninggalkan Jokowi di tengah jalan. Namun Jokowi tidak sendiri. Banyak relawan pendukung yang berdiri bersamanya. Jadi untuk Puan dan kawan-kawan, pikirkan sekali lagi kalau mau menyerang Presiden Jokowi. Daripada mengusik Presiden dan para pembantunya yang sedang sibuk bekerja menangani pandemi, lebih baik pikirkan biaya per bulan pemasangan baliho di pinggir jalan, agar tetap lestari hingga musim pencapresan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *