Buruknya KPI Menangani Krisis

Kemelut di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai buntut kasus perundungan yang diungkap korban, belum berakhir. KPI terus menjadi bulan-bulanan publik khususnya netizen. Kasus yang dibahas dan menjadi perbincangan di platform-platform media sosial tidak hanya perundungan itu sendiri melainkan sudah melebar ke mana-mana.

Bahkan dalam kasus Saiful Jamil (SJ), hujatan netizen kepada KPI sama besarnya atau bahkan lebih besar daripada hujatan kepada lembaga penyiaran yang menayangkan. Juga sama besarnya dengan hujatan kepada eks narapidana kasus pencabulan itu.

Melebarnya perbincangan terkait KPI tidak lepas dari buruknya lembaga ini dalam mengatasi krisis. Buruknya cara KPI menangani saat krisis terjadi, bisa dilihat dari sejumlah hal. Pertama, pernyataan-pernyataan yang keluar atas nama KPI terlihat sporadis. Ada kesan saat menghadapi krisis, lembaga ini tidak melakukan pengorganisasi dengan baik, atau malah unorganized. Padahal pengorganisasian ini adalah kunci dalam manajemen krisis.

Mestinya saat krisis terjadi, ditunjuk satu saja juru bicara yang mewakili lembaga KPI. Dia yang ditunjuk harus orang yang tepat, yang menguasai permasalahan dan mempunyai bekal manajemen krisis. Juru bicara diberikan penguatan sehingga dapat menjawab pertanyaan dari media atau pihak manapun yang membutuhkan, dengan baik dan bijak. Selain juru bicara, semua puasa ngomong dulu. Tapi yang terjadi saat ini ada banyak orang di dalam KPI yang unjuk bicara.

Kedua, pernyataan-pernyataan yang terlontar dan mengatasnamakan KPI kurang arif, malah memunculkan polemik baru. Contohnya adalah pernyataan memperbolehkan SJ tampil di televisi sebagai narasumber bahaya predator, di tengah tekanan publik yang demikian besar dan desakan agar SJ tidak diperbolehkan muncul di televisi, sebagai bentuk empati terhadap korban kejahatannya. Satu lagi, pernyataan “Upin-Ipin adalah Propaganda Malaysia”, yang sungguh tidak perlu dilontarkan oleh Ketua KPI Agung Suprio, karena hanya menjadi sumber blunder baru.

Ketiga, saat diundang Mata Najwa, KPI tidak datang. Ini fatal. Dalam public relations, menghindari media adalah kesalahan. Mata Najwa merupakan salah satu tayangan atau produk media. Jangan dihindari tapi dihadapi. Pernyataan awak media dijawab dengan bijak. Memang dibutuhkan kemampuan yang baik terkait “how to handle media” saat krisis terjadi. Karena dalam kondisi krisis, pernyataan yang benar pun bisa dipelintir, apalagi pernyataan yang sumir. Namun sungguh menghindar dari media itu sebuah kesalahan besar.

Keempat, sesungguhnya komisioner KPI bisa saja lepas tangan dari kasus perundungan. Karena kasus ini baik korban maupun pelakunya adalah pegawai, bukan komisioner. Peristiwa perundungan terjadi tahun 2015, jauh sebelum komisioner memulai bekerja. Komisioner baru mulai bekerja tahun 2019. Status mereka dalam koordinasi dengan Sekretariat KPI yang dipimpin seorang pejabat eselon II. Seluruhnya berstatus pegawai Kemenkominfo. Sebagai perbandingan, kasus cukup parah yang yang terjadi di sebuah lembaga independen lain. Kasus ini diselesaikan Sekretariat, bukan komisioner.

Sementara itu terlepas dari buruknya manajemen krisis dalam tubuh KPI, saat ini revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) tengah digodog, dan memasuki tahap pembahasan internal. P3SPS adalah produk politik yang mengatur dan memberi rambu-rambu bagi setiap lembaga penyiaran. Adakah tekanan publik yang begitu besar terhadap KPI berkaitan dengan agenda ini?

Berkaitan dengan pembahasan revisi P3SPS, mungkin saja ada pihak-pihak yang tidak ingin KPI menjadi lembaga kuat, agar tidak merecoki lembaganya. Bahkan ada juga yang pihak ingin lembaga ini dibubarkan. Oleh karena itu stigma bahwa KPI bermasalah, sangat dibutuhkan. Tidak menutup kemungkinan, saat ini ada pihak-pihak yang memanfaatkan sentimen publik dan psikologi massa netizen untuk menekan KPI. Bagaimanapun, kondisi krisis seperti ini sangat menguntungkan bagi mereka. Entahlah…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *