Dakwaan Cukup Kuat HRS Masuk Bui

Dakwaan terhadap Habib Rizieq Shihab di Pengadilan Negeri Jakarta Timur telah dibacakan. Ia didakwa atas tiga kasus, yakni: kerumunan di Petamburan; kerumunan di Mega Mendung; dan data swab di RS UMMI, Bogor. Dari kasus-kasus itu sebenarnya ada banyak hal yang dapat kita ambil pelajaran.

Pelajaran pertama kita ambil dari dakwaan yang didasari Pasal 160 KUHP juncto Pasal 93 Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Menarik dilihat bahwa pasal 160 KUHP adalah tentang penghasutan. Sudah lama kita merasakan bila ujaran-ujaran HRS selalu mengandung hasutan terutama SARA. Berpotensi memecah belah, dan parahnya lagi berpotensi merusak persatuan dan kesatuan serta NKRI. Susahnya, ujaran SARA seringkali terlalu sulit untuk dilaporkan bila pengucapnya adalah orang-orang yang sering menampilkan jubah agamis. Namun kebenaran selalu menemukan jalan, di satu titik HRS membuat kesalahannya sendiri hingga akhirnya ia tak dapat mengelak lagi dari jeratan hukum. HRS telah melakukan sesuatu yang menghalangi Kedaruratan Kesehatan, sehingga berpotensi membawa bencana masyarakat, sebagaimana Pasal 93 UU Nomor 6/2018:

“Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000.”

Dari sini kita melihat kesalahan Rizieq tentu saja berawal dari kebiasaannya berbicara seenaknya dan menghasut, tidak terkendali. Sehingga akhirnya ia pun terjebak pada masalah. Pelajaran penting dari kita tentu saja: Mulutmu harimaumu….. Mari kita biasakan berhati-hati sebelum bicara.

Pelajaran kedua tentu saja karena HRS mengabaikan keselamatan dan kesehatan orang banyak. Sesuatu yang seharusnya menjadi perhatian utama seorang yang menganggap dirinya pemimpin ataupun panutan. Bagaimana mau membawa orang selamat di akhirat, bila di dunia saja ia telah melakukan tindakan-tindakan yang berpotensi mencelakai. Jauh dari selamat.

Pelajaran ketiga kita ambil dari Pasal 216 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang menjadi salah satu pelanggaran HRS. Bunyinya:
“ (1) Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu atau yang tugasnya maupun diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa perbuatan pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu atau pidana denda paling banyak Rp 9.000.”

Sebagai awam hukum, isi pasal tersebut cukup jelas menjabarkan tentang ancaman hukuman bagi mereka yang tidak menuruti perintah penegak hukum. Dan seperti yang kita tahu, HRS berulang kali mangkir dari perintah penegak hukum, mulai dari kabur ke negeri seberang, hingga kabur dari sidang. Apa yang diperlihatkan HRS pada kita bukan sekadar pembangkangan, tapi juga jiwa pengecut. Tak berani menanggung apa yang telah ia perbuat.

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP: yang berbunyi
“Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; 2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan”

Pasal itu menjadi pelajaran keempat kita. Dari pasal ini terlihat jelas kesalahan HRS yang dapat dilihat mata awam kita. HRS berulang kali berulang kali menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan tertentu, terkadang dengan mengancam dan melakukan penyesatan. Biasanya HRS menganjurkan untuk membenci dan tidak menghormati lambang negara dan dasar negara kita. Penting bagi kita untuk tidak suka memaksakan kehendak kita pada orang lain seperti yang dilakukan HRS. Bukan saja ini melanggar hukum, tetapi tentu saja ini bentuk budi pekerti yang tidak baik, karena mengganggu orang lain.

Pelajaran kelima kita dari kasus HRS didasari Pasal 82A ayat (1) juncto 59 ayat (3) huruf c dan d UU RI Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 10 huruf b KUHP juncto Pasal 35 ayat (1) KUHP.

Pasal 82A ayat (1) berbunyi:
“Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf d dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.’

Pasal 59 ayat (3):
“Ormas dilarang: Melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan; Melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia; Melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; Dan/atau melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Pasal-pasal ini menjawab keresahan kita atas tindakan-tindakan HRS selama ini. Tindakan-tindakan SARA dan penistaan agama. Selama bertahun-tahun kita dibuat resah oleh tindakan-tindakan HRS yang rasanya tak tersentuh hukum itu. Padahal telinga seorang bodoh pun tahu, ia tak henti-henti menebar ujaran kebencian. Jika HRS berhasil dijerat dengan dakwaan SARA, rasanya ini menjadi tonggak bagi penegakan hukum di Indonesia. Bahwa hukum telah berlaku adil, tidak dapat ditekan oleh sekelompok orang yang mengintimidasi dengan mengatasnamakan agama.

Tak hanya itu, Pasal 15 UU RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juga memberikan kekuatan bagi kita untuk berhati-hati menyebarkan informasi.
Bunyinya pasal tersebut:

“Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 2 tahun.”

Pesan yang disampaikan di situ jelas, menyebarkan kabar yang dapat menimbulkan keonaran adalah melanggar hukum. HRS berulang kali melakukannya, dan kita tahu, akhirnya ia hanya bakal menjadi singa tua yang berteriak-teriak di penjara. Entah karena benar-benar pemberani, atau takut, tak setegar apa yang selama ini ia pelihatkan.

Semua pasal-pasal itu membuat kita yakin bila HRS diadili bukan karena kriminalisasi ulama sebagaimana yang dituduhkan, tepatnya ditiupkan kelompok-kelompok radikal. HRS telah melakukan banyak hal yang berpotensi menimbulkan bencana. Mulai dari bencana kesehatan, hingga bencana akibat konflik masyarakat. Sudah sewajarnya HRS dibui. Agar ia menjadi pelajaraan bagi kita semua untuk tidak melakukan tindakan-tindakan membahayakan orang lain, terutama membahayakan keutuhan NKRI.

Cleguk…. Kucuran info ini semoga mencerahkan…

(Fatimah Wardoyo)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *