Dekonstruksi – Solusi Untuk Terorisme

Hari-hari belakangan ini begitu riuh dengan berita terorisme, membuat kita mulai jengah dengan berita terorisme itu. Bukan karena tak peduli dengan masalah-masalah sosial dan kemanusiaan yang menjadi akar dari terorisme itu. Lebih karena kita jengah karena masyarakat tak beranjak dari masalah receh yang tak memberi sedikit titik terang solusi terorisme.

Kita hanya ribut dengan penyangkalan berbasis pikiran-pikiran konspirasi: apakah bom terorisme ini rekayasa pemerintah untuk mendiskreditkan kelompok lain yang selama ini dikenal intoleran. Atau debat apakah teroris pengebom itu beragama atau tidak. Meski mungkin kita sempat tertawa terbahak-bahak saat melihat meme bertuliskan: sesaat sebelum melakukan pengeboman bunuh diri, teroris berteriak ‘das kapital’….

Hail Hitler, ungkap teroris mendekap swastika dengan bahagia saat-saat maut menjelang, berharap sambutan Eva Braun di alam sana.

Sebenarnya menertawakan meme itu sama kampretnya dengan mereka yang kehilangan keprihatinannya pada kasus-kasus teroris. Sebuah langkah yang bila tak ditahan, akan menjadikan kita kehilangan kemanusiaan. Ini serupa dengan debat receh yang berujung pada dehumanisasi. Ada sekelompok orang yang abai, bahkan tega merenggut hak paling dasar bagi manusia: hak hidup. Dan sedihnya, ada sekelompok orang lainnya yang bahkan tak merasa bersalah telah merenggut hidup orang lain, atau ada sekelompok orang yang membela kelompok yang gemar menghabisi nyawa orang lain. Apapun alasannya.

Namun perlu kita ingat, salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan sosial yang bisa berujung dengan perpecahan di masyarakat adalah rekonsiliasi sosial. Berusaha mencapai perdamaian, atau titik temu antara pihak-pihak yang saling berseberangan, termasuk juga wacana yang berseberangan.

Dalam filsafat dekonstruksi Jacques Derrida, dekonstruksi dilakukan untuk memberi pemaknaan baru dari pakem-pakem sosial yang ada. Rekonsiliasi, bisa menggunakan dekonstruksi Derrida tersebut. Mencari pemaknaan untuk menyelesaikan masalah, namun tak berpotensi membentuk jurang baru, atau ledakan bom waktu di kemudian hari.

Maka langkah awalnya adalah menghindari berpikir biner. Hitam putih. Menegasikan, atau mengoposisikan segala sesuatu. Misal dalam kasus terorisme, contoh berpikir biner adalah dengan menarik tegas antara masyarakat yang pro dan kontra terorisme. Pemikiran biner ini, mengutip Derrida, harus didekonstruksi. Caranya bisa dengan pembalikan dan penjungkirbalikan (inversion) atau pemindahan (displacement).

Dalam cara penjungkirbalikan (inversion), kita diminta mempertimbangkan bila terorisme adalah salah, seharusnya kita anti terorisme. Terorisme itu jahat, melanggar kemanusiaan, kita seharus menyayangi sesama manusia. Inversion ternyata tidak cukup ketika membahas dekonstruksi terorisme.

Mengapa demikian, karena kritik terhadap terorisme sering terputus sampai tahap inversion saja. Masalah tidak selesai hanya dengan mengetahui terorisme adalah salah. Bahkan lahir masalah sosial baru: pertentangan antara masyarakat yang bersepakat atau tidak bersepakat pada terorisme. Mengutip Derrida, jika ingin melakukan dekonstruksi terhadap suatu nilai atau wacana, perlu tahap selanjutnya, sebuah gerakan yang disebut displacement (pemindahan). Artinya, kita semua harus meninggalkan fokus pemikiran sebelumnya ke pemikiran baru yang lebih luas.

Nelson Mandela cukup berhasil ketika melakukan displacement terhadap sistem apartheid. Afrika Selatan berhasil meninggalkan sistem ini tanpa menimbulkan gejolak yang berarti di masyarakat. Meski apartheid dilarang, namun mereka yang pernah mendukungnya tak perlu dihakimi. Almarhum Gus Dur juga cukup berhasil melakukan displacement ketika mengampanyekan pluralitas di masyarakat Indonesia. Terutama ketika berhubungan dengan menghilangkan diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa.

Contoh lain keberhasilan rekonsiliasi lainnya adalah Perang Sipil di Amerika Serikat. Perang itu dimulai dengan perpecahan antara mereka yang pro perbudakan dan yang anti perbudakan. Masyarakat industrialis di Utara tentu saja anti perbudakan. Di pihak lain, masyarakat feodal agraris di Selatan sangat bergantung pada perbudakan untuk tetap menjalankan perkebunan-perkebunan besar mereka. Kemudian pecah perang sipil antara tentara Union di Utara (United States of America) dengan Confederate di Selatan (Confederate State of America). Perang dimenangkan Union, perbudakan dilarang.

Menyusul kemenangan Union itulah rekonsiliasi dimulai. Masyarakat Selatan akhirnya menerima bila perbudakan harus dihapuskan. Mereka perlahan paham bila perbudakan bertentangan dengan semangat Deklarasi Kemerdekaan Amerika bahwa semua orang dilahirkan setara (that all men are created equal).

Di sisi lain, mereka yang anti perbudakan juga tak lagi sibuk dengan penghakiman pada mereka yang setuju perbudakan. Mereka lebih fokus pada Amerika yang baru, membantu menyelesaikan masalah-masalah perkebunan di Selatan yang kini harus membiasakan diri tanpa perbudakan. Membuat regulasi upah baru bagi mantan budak kulit hitam, juga mempersiapkan mekanisasi pertanian. Termasuk juga melakukan migrasi penduduk Utara ke Selatan maupun sebaliknya, sehingga mempercepat bersatunya kembali Utara-Selatan. Singkatnya, tak ada yang sibuk dengan menghujat yang salah. Buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah Amerika mengingat periode ini sebagai ‘we separate then unite’….

Amerika pasca Perang Sipil itu berhasil melakukan apa yang disebut Derrida sebagai displacement, melakukan dekonstruksi pakem sosial yang ada. Tidak lagi sebatas boleh dan tak bolehnya perbudakan, jahat atau tidak jahatnya pendukung perbudakan, tetapi dialihkan (displacement) pada hal yang lebih universal. Kesadaran bahwa manusia adalah setara dan bagaimana menyelesaikan kebutuhan tenaga kerja baru tanpa harus melakukan perbudakan. Perlahan perbudakan menghilang dari perbincangan masyarakat, hingga akhirnya semua menerima konsep anti perbudakan. Bahkan lupa bila di suatu masa, ada sekelompok orang yang bersetuju dengan perbudakan.

Mungkin demikian juga dengan masalah terorisme di Indonesia. Kita dapat melakukan dekonstruksi nilai yang kini lazim di masyarakat, bahwa sebagian masyarakat menganggap terorisme itu proper untuk mengatasi sistem kemasyarakatan yang mereka anggap terlalu duniawi di Indonesia, jauh dari nilai-nilai agamis. Kita tak perlu menganggap mereka yang berpemikiran demikian layak dihukum. Kita cukup melakukan displacement.

Kita menetapkan hukuman seberat-beratnya pada pelakunya, aktor intelektualnya, menumpas dan menghancurkan jaringannya. Tetapi kita juga tidak terjebak pada perdebatan pro kontra apakah agama ada dibalik peristiwa-peristiwa terorisme. Tidak menyalahkan agama, tidak juga dengan membuat statement bahwa pelakunya orang yang tak beragama. Displacement, pindahkan fokus pada kenyataan siapapun yang melakukan terorisme adalah pelaku kejahatan. Beragama atau tidak. Teroris jahat, titik. Bahas kejahatannya, tak perlu ulas agamanya, tak perlu berdalih menyalahkan atheisme. Dan mari membangun nilai baru yang universal, diterima semua kalangan baik beragama atau tidak. Diterima pula oleh berbagai budaya.

Jauh lebih baik bila kita menggeser fokus kita untuk membuat sistem keamanan yang sulit ditembus terorime. Bukan saja dengan memanfaatkan teknologi, tetapi dengan memanfaatkan masyarakat yang setiap saat dapat menjadi pengawas, pelapor bahkan bagian dari jaringan penganjur wacana-wacana anti terorisme. Bila semua masyarakat telah bersetuju bahwa terorisme biadab, terorisme akan punah dengan sendirinya. Terorisme akan menghilang dari percakapan sehari-hari, alih-alih menjadi perdebatan.

Sudah waktunya kita mendekonstruksi banyak nilai yang tak lagi bersesuaian dengan zaman. Atas nama agama sekalipun. Bukan dengan menyalahkan agamanya, tetapi dengan kesadaran bahwa apapun latar belakangnya, perangkat, norma, nilai yang mengatur tindakan manusia harus disertai pertanggungjawaban terhadap kemanusiaan. Bila ada poin-poin yang bertentangan dengan kemanusiaan, harus ada peninjauan kembali, revaluasi. Bukan karena sistem tersebut salah, tetapi karena memang perkembangan peradaban manusia itu dinamis.

Ideologi ataupun sistem normatif yang tertutup, tak dapat dikoreksi, berpotensi melahirkan pengikut yang suka memilih cara kekerasan dan mendorong terciptanya dehumanisasi. Demikian tulis Bayu Wahono dalam artikel Toleransi dan Keiindonesiaan terbuka. Ketika suatu ideologi, nilai dan sistem sulit dikoreksi, maka akan berpotensi lahirnya keributan dan kejahatan baru.

#vkd

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *