Deradikalisasi Cegah Terorisme

Salah satu bentuk ancaman bagi keamanan manusia di dunia adalah terorisme. Teror terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia, dengan kelompok dan motif yang berbeda, seperti ideologi, ekonomi hingga separatisme.

Salah satu upaya meredam gerakan terorisme adalah deradikalisasi. Deradikalisasi perlu dilakukan pula kepada para pelaku teror yang sudah dijatuhi hukuman.

Karena ideologi ekstremisme hanya bisa dilawan dengan ideologi humanisme. Kontra ideologi inilah yang mesti dilakukan terhadap teroris. Dan bukan kekerasan dibalas dengan kekerasan. Karena bila demikian, hanya akan melahirkan kekerasan yang baru. Teror yang baru.

Di Indonesia, terorisme juga telah menjadi suatu persoalan serius yang gerakannya juga bersifat terstruktur, sistematis serta memiliki motif politik yang mengancam ideologi serta keamanan negara. Inilah kenapa terorisme kemudian diklasifikasikan sebagai kejahatan luar biasa.

Pencegahan terorisme dilaksanakan dalam tiga aspek, yaitu kesiapsaiagaan, deradikalisasi dan kontra radikalisme. Program tersebut, menjadi rencana aksi nasional pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan.

Terhadap aksi yang dilakukan oleh kelompok teror sendiri, pemerintah selama ini telah cukup banyak mengambil sikap dan langkah tegas, seperti dengan memberikan tuntutan hukum dan meredam perkembangan dari gerakan kelompok terorisme.

Salah satu upaya yang kemudian di patut dicermati dalam upaya meredam gerakan terorisme adalah adanya rehabilitasi. Rehabilitasi diperlukan dalam kerangka deradikalisasi, termasuk kepada para pelaku teror. Deradikalisasi menjadi salah satu upaya meredam aksi terorisme, karena sejatinya para pelaku teror tetaplah manusia biasa yang masih bisa diluruskan ideologinya dan ditunjukkan jalan yang benar. Apalagi mengingat 90% eks napiter sebenarnya tetap setia pada NKRI.

Upaya deradikalisasi tidak hanya dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT. Jauh pada Abad ke-7, Abdullah bin Abbas Radiallahu ‘Anh telah melakukannya terhadap 20 ribu kaum Kwawarij.

BNPT sendiri melakukan berbagai upaya deradikalisasi untuk eks napiter. Pembinaan dilaksanakan sejak yang bersangkutan ditetapkan tersangka hingga keluar Lembaga Pemasyarakatan. Konsep pembinaan memadukan berbagai unsur. Dari ekonomi, edukasi hingga wisata.

Seperti program kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Malang dan Universitas Islam Malang baru-baru ini. Mereka membangun Kawasan Khusus Terpadu Nusantara atau KKTN. Kawasan ini dibangun di lahan seluas 16 hektar untuk mengembangkan beragam usaha bagi 40-an dari total 130-an bekas narapidana terorisme yang tersebar di Jawa Timur.

Eks napiter diwadahi dalam sebuah koperasi. Mereka dilatih untuk mengembangkan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan, disesuaikan dengan minat masing-masing. Koperasi dikembangkan menjadi beberapa unit usaha. Hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mantan napiter. KKTN menjadi model percontohan program deradikalisasi di Nusantara.

Tak hanya itu, BNPT juga menggandeng PT Kereta Api Indonesia dalam program deradikalisasi. BNPT memberikan hak pengelolaan UMKM berupa warung, di sejumlah stasiun kepada 8 eks napiter dan penyintas kasus terorisme, sebagai bentuk pemberdayaan berbasis kesejahteraan. UMKM tersebut diberi nama Warung NKRI, kepanjangan dari Wadah Akur Rukun Usaha Nurani Gelorakan NKRI.

Kepala BNPT Boy Rafli Amar menjelaskan, pemberian pengelolaan UMKM ini merupakan bagian program deradikalisasi, melalui pendekatan lunak atau soft approach. Para eks napiter dan penyintas kasus terorisme tersebut bisa berjualan berbagai produk kuliner dan kerajinan tangan. Diharapkan, dengan adanya Warung NKRI ini, para eks napiter dan penyintas kasus terorisme dapat berkomunikasi dan menjalin hubungan dengan baik.

Menyambungkan eks napiter dan penyintas agar rukun. Mereka guyub dalam menatap hari depan. Hingga mereka semakin yakin bahwa ideologi yang mereka yakini selama ini adalah ideologi yang salah.

Masih terkait upaya deradikalisasi, BNPT belum lama ini mengunjungi Hedayah Center di Abu Dhabi, yang merupakan partner strategis dalam rangka membahas isu-isu terkini yang berkaitan dengan penanggulangan ekstrimisme. Kegiatan ini dilaksanakan guna membahas kelanjutan Kerjasama dan berkolaborasi pada rencana program-program terutama di Tahun 2022 karena terorisme merupakan suatu kejahatan yang merupakan musuh bagi seluruh umat manusia di seluruh dunia maka harus dilakukan suatu upaya yang komprehensif. Hedayah Center meluncurkan cetak biru atau Blue Print rehabilitasi dan reintegrasi yang dapat digunakan sebagai acuan program dan kegiatan deradikalisasi di Indonesia.

Direktur Eksekutif Hedayah Center, Ahmed Al Qasimi mengakui, komunikasi yang terjadi di ruang publik telah dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk menarik simpati masyarakat, khususnya anak muda. Oleh karena itu perlu sebuah keterampilan yang diberikan kepada kaum muda agar tidak mudah termakan propaganda kelompok radikal, dengan memberikan peran dalam melawan ideologi radikal yang menarik bagi mereka, seperti aktivitas di dunia maya.

Keterampilan diperlukan untuk menerapkan strategi komunikasi, kampanye, dan keahlian untuk melawan ekstremis kekerasan dan narasi teroris; melawan penggunaan internet oleh teroris; meningkatkan literasi digital; menghasilkan dan mempromosikan konten alternatif; dan membangun ketahanan di antara kelompok-kelompok rentan terhadap ekstremis kekerasan dan propaganda teroris.

Sejalan dengan upaya deradikalisasi ini, tak sedikit eks napiter akhirnya menyadari kesalahannya dan dapat kembali hidup berdampingan dengan masyarakat. Beberapa eks napiter bahkan kemudian juga turut serta membantu pemerintah serta ulama untuk memberikan pemahaman agama yang benar.

Pola seperti ini dianggap lebih komprehensif dalam mengatasi terorisme ketimbang hanya melakukan penuntutan hukum. Tanpa disertai dengan rehabilitasi dan reintegrasi, pemerintah akan kesulitan untuk menekan terorisme dan akan tetap membuat para eks napiter mengulangi kesalahan yang sama.

Raymund Narag seorang warga Filipina, pergi ke Amerika Serikat setelah selesai menjalani hukuman di penjara tujuh tahun karena salah tuduhan. Dia meraih gelar PhD (baca: Pi Ej Di) dalam bidang peradilan pidana. Bersama kriminolog dari Australian National University, Clarke Jones, Narag menghabiskan 10 tahun meneliti sistem penjara. Salah satu temuannya, semakin keras kondisi penjara untuk narapidana terorisme, semakin kecil kemungkinan rehabilitasi. Sebaliknya, justru semakin besar kemungkinan bagi mereka untuk kembali menjadi sosok radikal. Sehingga berbagai upaya deradikalisasi seperti dilakukan pemerintah terhadap eks napiter saat ini merupakan langkah yang tepat.

Untuk mengatasi permasalahan terorisme, memang menjadi pekerjaan rumah bersama. Sehingga kolaborasi berbagai pihak, menjadi kunci keberhasilannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *