Eks Menteri Kesehatan, Letnan Jenderal TNI Profesor Doktor dokter Terawan Agus Putranto, Spesialis Radiologi, dipecat dari keanggotaan IDI atau Ikatan Dokter Indonesia. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran–MKEK IDI resmi memberhentikan dr Terawan secara permanen dari keanggotaan IDI dalam muktamar yang berlangsung di Aceh baru-baru ini.
Artinya, dokter Terawan tidak akan mendapat surat izin praktik lagi sebagai dokter di Indonesia. Dia juga tidak bisa praktik lagi sebagai dokter di seluruh fasilitas kesehatan termasuk rumah sakit, klinik, di Indonesia. Jika dia nekat membuka praktik sebagai dokter, bisa disebut illegal.
Sontak, Keputusan IDI menuai pro dan kontra. Bahkan perbedaan pendapat menyikapi pemecatan Terawan sudah terjadi saat muktamar masih berlangsung. Tak kalah riuh rendahnya adalah netizen di dunia maya.
Sebagian bersimpati terhadap dr Terawan dan membelanya secara membabi buta. Sebagian lainnya berpendapat asebaliknya. Sehingga berusaha dengan berbagai cara meyakinkan bahwa keputusan IDI sudah benar.
Narasi pembelaan bergeser dari sekadar soal etika profesi kedokteran hingga politis. Ada yang mengaitkan IDI dengan MUI. Apalagi ketua IDI 2022 terpilih yang dikukuhkan di muktamar Aceh, Muhammad Adib Khumaidi SpOT, ternyata diketahui juga menjabat Ketua Lembaga Kesehatan MUI sejak tahun 2021. Masih segar dalam ingatan, ada pengurus tertangkap MUI yaitu anggota Komisi Fatwa, Ahmad Zain An Najah ditangkap Densus 88. Belum lama berselang juga, seorang dokter anggota IDI di Sukoharjo tersangka teroris, Sunardi, ditembak mati saat berusaha lari dari kejaran polisi.
Adakah semua ini memang kait mengkait?
Mengapa Terawan dipecat?
MKEK-IDI membeberkan sejumlah pelanggaran etika sehingga mereka memutuskan memecat dokter Terawan dari keanggotaan IDI, sebagai berikut:
- Terawan belum menyerahkan bukti telah menjalankan sanksi etik sesuai SK MKEK tertanggal 12 Februari 2018 hingga hari di mana surat dr MKEK dikirimkan kepada ketua umum PB IDI pada 8 Februari 2022.
- Terawan melakukan promosi kepada masyarakat luas tentang Vaksin Nusantara, sebelum penelitiannya selesai.
- Terawan bertindak sebagai ketua dan Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Klinik Indonesia atau PDSRKI, yang dibentuk tanpa melalui prosedur yang sesuai dengan tatalaksana dari organisasi (Ortala) IDI dan proses pengesahan di muktamar IDI.
- Terawan menerbitkan surat edaran nomor tertanggal 11 November 2021 yang berisikan instruksi “kepada seluruh kepala cabang dan anggota PDSRKI di seluruh Indonesia agar tidak merespons ataupun menghadiri” acara PB IDI.
- Terawan telah mengajukan permohonan perpindahan keanggotaan dari IDI Cabang Jakarta Pusat ke IDI Cabang Jakarta Barat yang salah satu syaratnya adalah mengisi form mutasi keanggotaan yang berisi pernyataan tentang menjalani sanksi organisasi dari/atau terkena sanksi ikatan dokter Indonesia.
Di balik pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan yang menjadi alasan MKEK IDI memecatnya, kenyataannya, selama ini Terawan banyak membantu pasien stroke. Harapan setiap orang yang mengalami stroke adalah sembuh dan kembali hidup normal. Karena bila tidak sembuh kehidupan mereka terganggu dalam waktu sangat lama. Bahkan bisa jadi seumur hidup. Terawan telah menolong banyak pasien stroke untuk mendapatkan harapan hidup lebih baik.
Seperti diketahui, dokter Terawan merumuskan “Terawan Theory” atau yang lebih dikenal oleh masyarakat umum sebagai teori yang terkait dengan metode ‘cuci otak’ pada penderita stroke. Metode cuci otak, atau brainwash ini merupakan modifikasi Terawan dari metode DSA atau Digital Subtraction Angiography. DSA adalah metode pemeriksaan kesehatan dengan menggunakan teknik fluoroscopy yang bertujuan memberi gambaran dari dalam pembuluh darah yang erat kaitannya dengan penyakit stroke. Metode ini sudah digunakan oleh Terawan sejak tahun 2004.
Sejumlah tokoh nasional pernah menjalani metode cuci otak dari Terawan yaitu Prabowo Subiakto, Hendropriyono, Dahlan Iskan, Mahfud MD, Moeldoko dan Aburizal Bakrie. Menurut para tokoh nasional tersebut metode cuci otak dari Terawan memberikan hasil yang positif terhadap kesehatan mereka secara umum.
Tentu sebagaimana dokter lainnya, tak semua pasien stroke bisa mendapatkan keberhasilan pengobatan yang sempurna. Ada juga sebagian yang tidak berhasil. Namun memang banyak yang sembuh.
Tak kurang, pakar hukum pidana dari Universitas Padjadjaran Profesor Romli Atmasasmita turut menanggapi pemecatan dr Terawan Agus Putranto oleh MKEK IDI. Profesor Romli menjelaskan, hukum mengandung dua sisi. Di satu sisi, hukum dianggap kejam karena memasukkan orang ke penjara. Tetapi di sisi lain mencegah agar orang lain melakukan kejahatan. Menurutnya, hukum perdata maupun pidana, bertumpu ada tidaknya perbuatan yang diniati dengan kehendak jahat (mens rea) dan merugikan kepentingan pribadi atau umum. Kepentingan kesehatan masyarakat termasuk pribadi atau keluarga adalah tujuan perlindungan hukum.
Romli menjelaskan, terkadang dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, setiap profesi, termasuk dokter selalu dihadapkan pada suatu keadaan dilematis. Contohnya kasus kehamilan yang sudah waktunya melahirkan. Tapi karena suatu sebab, medis, termasuk seorang dokter harus memilih atas persetujuan suaminya; keselamatan ibu atau anak. Kematian nyawa seorang manusia adalah hak hidup yang diperoleh dan diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Inti hakikat hukum mulai bekerja harus ada suatu perbuatan dan akibat serta tujuan yang dibenarkan.
Romli memandangkasus Terawan sesungguhnya terletak pada persetujuan dari subjek dalam perawatannya. Kesediaan subjek lebih penting dari masalah prosedur teknis medis yang disyaratkan Konsil Kedokteran. Alasannya aspek kepentingan kesehatan pasien lebih bermanfaat daripada kewajiban Terawan mematuhi prosedur uji klinis yang telah ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Apalagi sampai saat ini belum ada satu pun korban praktik Terawan yang melapor ke MKEK. Bahkan sebaliknya pujian atas teratasi penderitaan pasien bertubi-tubi disampaikan kepada publik.
Sehingga dalam konteks kasus Terawan, perlu diketahui bahwa hukum bertugas melindungi kepentingan kesehatan pasien daripada melindungi proses teknis medis yang diatur undang-undang. Filosofi hukum pasca Abad 19 dan modern adalah hukum berfungsi melindungi mayoritas daripada sekelompok orang tetapi merugikan kelompok yang lebih besar. Asas kemanfaatan dan keadilan, saat ini dipandang lebih manusiawi dan wajib diutamakan daripada asas kepastian semata.