Menjadi bagian warga +62, itu sesuatu banget! Selain memiliki kebanggaan dalam aspek-aspek alam dan budayanya, warga +62 juga mesti berlapang dada dengan banyaknya isu, sensasi, masalah, dan fakta-fakta yang beredar di banyak media setiap harinya. Berlapang dada itu berasa senang, tidak menjadi gusar (menurut KBBI V sih). Jadi, berlapang dadalah melihat segala yang ada di Indonesia dan tingkah polah warga +62, termasuk netizen? Iyalah.
Netizen Indonesia kreatif-kreatif lho! Ups, kreatif dalam hal apaan sih? Biasalah ā¦ Salah satunya dalam bergibah. Kreatif mencari celah dalam suatu isu/topik untuk bisa dikomentari atau dibahas. Arus informasi yang berdatangan dengan cepat, dalam berbagai bentuk dan kemasan, kadang artikel kadang video kadang ilustrasi, memicu netizen makin giat mengasah kejelian mereka untuk mencari (peluang) bagian-bagian yang bisa dikomentari. Di satu sisi baik sih, apabila komentar atau opini tersebut bersifat membangun, kritis, dan memberi pencerahan/solusi. Namun di sisi lain, komentar juga bisa berupa sindiran, perundungan, bahkan kecaman. Ini sama-sama melibatkan kreativitas, tetapi motivasi dan realisasinya bisa sangat-sangat bertolak belakang.
Tidak usah dibayangkan seperti apa karena sebagian besar sudah terpampang jelas di media (sosial). Dalam beberapa bulan ini saja sudah banyak topik hangat dan panas merebak yang mengundang membludaknya respons netizen +62, mulai dari vaksin mandiri, vaksin nusantara, mutasi vaksin B.1.1.7, aplikasi Clubhouse yang mengalami kebocoran data, OTT Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah, netizen Indonesia paling tidak sopan se-Asia Tenggara (haduh!!), nakes pria memandikan jenazah wanita, legalitas miras, KLB Partai Demokrat, pernyataan Benci Produk Asing, sampai kisah percintaan dua sejoli yang membuat netizen makin rajin mengomentari.
Alih-alih mengomentari berita yang ada, netizen +62 juga makin terlatih untuk bergibah dan julid. Terlatih mengamati hal-hal detail yang sedapat mungkin bisa dikomentari. Mulai dari ekspresi, gerak tubuh, perkataan, foto/gambar, sampai “kata si ini, kata si itu”. Jika dulu netizen rajin mengikuti perkembangan keromantisan Kaesang dan Felicia, kini rajin mengikuti perkembangan keruwetan hubungan dua insan beda negara, beda budaya, dan kini beda hati. Jika awalnya netizen hanya ingin tahu apa penyebab putusnya hubungan dua sejoli yang sering dikatakan mirip ini, kini malah banyak yang mengomentari hal-hal di seputar isu panas ini. Apa saja deh bisa jadi bahan bergibah yang menyenangkan, bahkan ekspresi Ibu Negara Indonesia ketika berfoto dengan Felicia atau Nadya Arifta pun sempat-sempatnya diamati dan diberi argumentasi. Kreatif sekali ‘kan bergibahnya?
Klarifikasi singkat dari Kaesang, semoga cukup menjawab rasa penasarannya ya. šš#kaesangfelicia #Kaesang #ghosting pic.twitter.com/Iiyp1Q3aeD— KENDI.id (@kendidotid) March 8, 2021
Kreativitas tak selalu berurusan dengan edukasi dan karya seni. Di dunia internet, kreativitas sangat diperlukan dalam melihat dan menyampaikan pendapat atas sesuatu yang sedang diberitakan atau disebarkan di jagat maya. Namun, kita perlu jeli apakah kreativitas yang muncul dalam setiap komentar atau opini tersebut bernilai positif atau negatif. Atau, kita sebagai bagian dari netizen +62 yang ikut ambil bagian mewarnai jagat maya apakah sudah berkontribusi yang baik dan berfaedah? Sebenarnya, ini bukan perkara isu atau topik apa yang sedang dibaca dan dibahas, melainkan kualitas respons kita dalam menanggapi hal-hal itu. Apakah menanggapi dengan kritis dan mencoba menyalurkan aspirasi/solusi? Atau, menanggapi sekenanya dan bermaksud membumbui, bahkan julid di sana-sini? Sangat mudah untuk membakar sesuatu yang mudah terbakar, tetapi jika sudah tidak bisa dikendalikan akan merembet ke mana-mana. Respons kita di jagat maya pun punya andil dalam hal ini. Untuk kesenangan atau menghibur diri (yang kadang tidak jelas), memang sangat asyik jika kita ikut terjun dalam gibah-gibah yang tak jelas juntrungannya. Yang penting makin ramai, makin panas, makin merebak luas efeknya, tetapi entahlah dengan tujuan pastinya. Biasanya ya akan tenggelam dengan sendirinya seiring beredarnya topik-topik lain yang lebih panas dan menarik.
Bulan lalu saja, netizen Indonesia sempat teriak-teriak di Twitter maupun Instagram karena tidak terima dengan laporan berjudul ‘Digital Civility Index (DCI) yang menyatakan bahwa Indonesia berada di urutan ke-29 dari 32 negara yang disurvei terkait tingkat kesopanan. Indonesia memiliki tingkat kesopanan terendah di Asia Tenggara. Meski begitu, harap-harap ke depannya netizen +62 bisa lebih baiklah. Berharap bolehkan?! Tidak mudah memang untuk mencapai standar yang baik dalam hal ini karena butuh “keterampilan hidup di dunia digital”. Kita hidup di dunia (yang fana ini) memerlukan skill-skill khusus supaya bisa terlatih, berbudaya, berwawasan, dan terampil menjalani hidup. Begitu pula di dunia digital, kita pun seharusnya punya skill-skill penunjang semacam itu. Kita harus punya “digital quotient” (kecerdasan digital); skill-skill sosial, emosional, dan kognitif yang memampukan seseorang untuk menghadapi tantangan dan beradaptasi di dunia digital. Ini sangat penting untuk menolong seseorang bisa hidup dengan baik di dunia digital, dan bisa berkontribusi membentuk budaya digital yang lebih arif, cerdas, dan kritis.