Berita seputar kisruh Partai Demokrat selalu menarik dibahas. Ada meme-meme receh seperti AHY yang menghubungi Joe Biden sebagai sesama kader Partai Demokrat hingga meme tentang status online SBY yang tertulis: terlihat terakhir satu jam lalu sedang menulis lagu. Adalagi analisis-analisi dari yang sederhana hingga njelimet tentang masa depan Partai Demokrat, ataupun tokoh-tokoh yang kini saling berseteru.
Seleb medsos khusus politik kecintaan emak-emak, Denny Siregar, menulis dengan humoris, “Dari luar, saya sih hanya bisa mendoakan Agus Yudhoyono supaya bisa dapat yang terbaik. Kalau akhirnya terdepak dari Demokrat misalnya, jangan menyerah ya, Gus. Bisa saja bikin Partai Demokrat Perjuangan. Mirip seperti PDI dulu yang akhirnya PDI Perjuangan malah jauh lebih besar dari induknya yang lama.”
Di kesempatan lain, Densi menulis agar AHY melakukan ‘serangan’ balik kepada pihak-pihak yang terlibat KLB. “Hajar balik, jangan nyerah. Ini bukan tentang menang atau kalah, tapi cara kita bertarung di medan laga,” katanya.
Berbeda dengan Densi yang cenderung hanya memperolok-olok AHY, Pengamat Komunikasi Politik Universitas Indonesia (UI), Ade Armando, minta Moeldoko mundur dari Kepala Staf Kepresidenan setelah ditetapkan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat versi Kongres Luar Biasa (KLB) 2021 di Deli Serdang, Sumatera Utara. “Kalau pak Moeldoko tidak mundur dari KSP, itu seolah membenarkan tuduhan bahwa mastermind kudeta Partai Demokrat adalah Pak Jokowi,” lanjutnya.
Senada dengan Ade Armando, Eko Kuntadi menganggap bahwa sebaiknya Moeldoko mundur dari istana dan fokus pada kisruh urusannya di Demokrat. Eko menjelaskan SBY tidak akan menyerah begitu saja. Sebaiknya Moeldoko bertarung semestinya dengan SBY tanpa titel Kepala Staf Kepresidenan.
Tak ayal, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro pun ikut berbicara. Ia menilai keterlibatan pihak luar dalam penyelenggaran kongres luar biasa atau KLB Demokrat menunjukkan tidak ada nilai moral politik. “Tidak ada nilai moral politik, etika politik. Etika itu kan di atas hukum. Jadi kontestasi kita belakangan ini sangat tidak sehat,” kata Siti dalam diskusi Polemik Trijaya, Sabtu, 6 Maret 2021. Menurut Zuhro, dari perspektif demokrasi, peristiwa KLB Demokrat di Sumatera Utara bisa dikatakan sebagai anomali politik dan demokrasi. Walaupun sejumlah partai juga pernah menyelenggarakan KLB, Siti menilai KLB Demokrat tidak lazim. “Karena yang menggelar KLB itu tidak mengikuti AD/ART partai, dan ketum yang dimunculkan juga bukan kader,” ujarnya.
Peneliti dan Pengamat Politik, Saiful Mujani mengatakan hasil Kongres Luar Biasa (KLB) Demokrat ada di tangan Menkumham Yasonna Laoly. Ia menambahkan, hasil keputusan dari Yasonna Laoly akan berdampak pada kepengurusan Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Jika hasilnya ternyata KLB diakui, maka ‘lonceng kematian’ AHY akan semakin kencang. AHY bisa mengambil langkah selanjutnya dengan menggugat ke pengadilan, dan diselesaikan di Mahkamah Agung. Namun, hal tersebut tentunya akan memakan waktu lama. Dan bisa jadi melewati deadline pendaftaran Pemilu 2024.
Bagi pengamat politik, Muhammad Qodari, konflik di Demokrat yang kini muncul dualisme kepengurusan diperkirakan akan berkepanjangan yang nantinya akan berujung ke pengadilan. Di sisi lain, Qodari melihat ada dua skenario yang bisa terjadi kepada Partai Demokrat. Skenario pertama sengketa diselesaikan lewat pengadilan seperti yang terjadi pada PKB ataupun PPP.
Sementara skenario kedua sengketa diselesaikan melalui kongres bersama atau rekonsiliasi seperti yang terjadi pada Golkar.
Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komaruddin memperkirakan, nantinya Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) bakal mensahkan KLB Demokrat Deli Serdang. Hal ini didasari langkah Moeldoko yang berani menggelar KLB.
“Tak mungkin Moeldoko mengkudeta Demokrat dengan cara KLB odong-odong jika tak ada jaminan akan disahkan oleh Kemenkumhan,” kata Ujang.
Pengamat politik Karyono Wibowo menilai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) Partai Demokrat diduga sengaja dirancang untuk mengamankan dinasti Cikeas. Hal itulah yang menyebabkan sejumlah mantan kader menggelar kongres luar biasa (KLB) Partai Demokrat di Sibolangit, Sumatera Utara yang menetapkan Moeldoko sebagai ketua umum terpilih. Karyono menyoroti syarat penyelenggaraan KLB Partai Demokrat yang harus mengantongi persetujuan dari Majelis Tinggi Partai Demokrat.
Namun dari semua analisis itu, yang paling menarik disimak adalah analisis Andi Setiono Mangoenprasodjo di laman facebooknya. Analisis yang diawali pertanyaan ‘Segoblog itukah Moeldoko?’ menilai, tindakan Moeldoko itu terlihat naif dan konyol, bahkan mempertanyakan motif apa yang membuat Moeldoko mau menjadi martir politik. “Kalau kalkulasinya, hanya memperhitungkan remah-remah atau halusinasi politik kekuasaan masa lalu. Atau katakanlah, ngopeni partai yang sudah ‘jatuh harga’ jelas Moeldoko goblog saja, pakai banget,” tulis Andi. Nama Demokrat hanyalah sisa kejayaan masa lalu dan kini tak lebih pepesan kosong, menurutnya.
“Watak tak termaafkan dari figur satu ini dan anak beranak itu, di luar ia adalah kelompok pembohong, juga adu domba dan pemain playing victim yang tak ada habisnya. Bagian terjelek dari dirinya dan lingkarannya adalah ia akan selalu menyeret kita pada peri-kehidupan yang akan semakin jauh dari makna beradab yang terbuka dan menghargai nilai kejujuran,” Andi mengeluarkan pengamatannya.
Semua analisis dapat dimulai dari kenapa Nurdin Abdullah (NA) ditangkap KPK. Penangkapannya sangat janggal. Tengah malam, ketika ia tidur dibangunkan oleh sebuah Tim Buru Sergap KPK untuk diajak ke kantornya. Sesampai di kantornya, di ruang kerjanya, diketemukan uang 2 M dalam bungkus tas kresek yang dianggap merupakan ‘uang terimakasih’ dari sebuah proyek. Keesokan harinya ia ditangkap, lalu dibawa ke Jakarta. Pertanyaan dasarnya: siapa yang memesan penangkapan itu? Jawabnya, siapa pun yang berkepentingan mendeskreditkan PDI-Perjuangan. Sulit untuk mengabaikan bahwa KPK adalah alat politik yang bisa digerakkan siapa saja yang membutuhkan. “Saya termasuk orang yang sama sekali tidak percaya efektifitas kerja KPK selama figur rombeng satu ini masih hidup,” demikian tulis Andi.
“Sependek yang saya tahu, SBY adalah salah satu figur yang paling bisa dan sangat hobby memainkan KPK. Ia adalah orang yang bahkan bisa membuat Ketua KPK seolah adalah pembunuh dan mengeliminasinya. Bahwa Ketua dan komisionernya berganti rupa. Realitasnya selama operatornya masih sama saja. Perkembangan kasus korupsi masih akan sama saja: tebang pilih dan justru lebih sebagai alat politik,” lanjut Andi.
“Juga bukti bahwa KPK ‘berpihak’ padanya (baca: SBY dan anak-istrinya) juga sudah terlalu kentara. Dalam nyaris semua kasus besar, apapun itu. Sangat jelas ada jejak aliran dana kepada mereka, bahkan Nazaruddin sebagai ‘benggolnya’ dengan sangat jelas di muka publik menyebut Ibas menerima duit dari Hambalang. Atau perlindungan absurd kepada Gamawan Fauzi, stake holder kasus e-KTP, atau bagaimana kasus Century cuma berkisar pada remahan rengginan. Tak pernah sampai pada pucuknya,” tulisnya lagi, membuat analisis Andi semakin menarik. “Dan sudah menjadi rahasia umum SBY dan kroninya adalah kelompok yang patut diduga kuat selalu mengganggu pemerintahan Jokowi dengan berbagai demonya?”
Andi Setiono pun melanjutkan analisisnya dengan hipotesis yang mencengangkan, “Saya cukup banyak memiliki data bahwa apa yang terjadi di dalam kisruh partai demokrat pada mulanya adalah ‘by design’. Adanya sebuah operasi rahasia yang memang sudah dipersiapkan sangat rapih untuk playing victims. Yang sasaran utamanya tentu saja Jokowi dan PDI-P wabil khusus Megawati. Dengan sasaran antaranya adalah Moeldoko yang dijadikan sasaran tembak?”
“Moeldoko mulanya hanya salah satu orang yang didatangi oleh para ‘kader yang kecewa’. Yang sesungguhnya juga mendatangi siapa saja yang ada di lingkaran dalam Istana. Sebut saja yang lainnya Luhut B. Panjaitan. Tapi kenapa hanya Moeldoko yang bereaksi? Ketika ia terus disebut sebagai orang yang begini begitu. Mula2 ia diam, lalu hanya bilang akan melakukan sesuatu. Dan seterusnya dan seterusnya, hingga tiba2 saja mau saja jadi Ketua Partai Demokrat hasil KLB yang tak kalah anehnya….”
Menurut Andi, terlihat sekali bahwa sasaran tembak sebenarnya adalah Jokowi. Akan menjadi sangat penting melihat bagaimana reaksi Jokowi. Apapun reaksi Jokowi akan bernilai negatif. Jika ia membela Moeldoko, akan dianggap ia merestui apa yang dilakukannya. Sebaliknya jika ia memecat Moeldoko, akan dianggap tak tahu terimakasih. Buah simalakama yang memang jadi tujuan dari operasi yang sangat banal ini. Politik becah belah yang memang menjadi tujuan utama dari operasi politik ini.
“Begitulah seharusnya membaca kasus ini,” tandas Andi.
Barangkali memang masalahnya tak sederhana. Dalam salah satu statement-nya: Moeldoko berjanji akan mengambil sikap yang dianggapnya perlu. Efek positif maupun negatif dari keputusannya tentu sudah ditimbang dengan sangat matang. Sebagai Ketua Staf Presiden (KSP), Moeldoko tentu memiliki akses informasi yang sangat cukup. Moeldoko tentu tahu bagaimana cara kerja SBY. “Bagaimana ia cukup masif melakukan kerusakan pada tata kelola negara ini. Kepada KPK, kepada MK, kepada kehidupan bertoleransi, pada keutuhan partai-partai lain. Ia juga tentu sangat tahu bagaimana dulu, SBY mengadu domba Gus Dur dan Cak Imin di PKB atau Aburizal dan Agung Laksono di Golkar. Ia tentu sangat tahu, bagaimana kerusakan yang ditinggalkan selama 10 tahun SBY berkuasa,” lanjut Andi.
“Bahkan virus ini masih juga sangat destruktif, kala ia tak lagi di lingkar kekuasaan. Moeldoko tentu sangat bisa paham apa, siapa dan bagaimana rezim los tang yang penuh kebohongan ini. Bagaimana karakter asli dari orang yang dulu mengangkatnya jadi panglima. Bagi saya sebagai orang Jawa, titik terendah seorang manusia itu terjadi. Ketika ia secara terbuka menuding orang yang ditolongnya dulu sebagai ‘kacang yang lupa kulit’. Ia lupa bahwa dengan menyebutkan falsafah itu, ia benar sekedar jadi kulit. Dan tak kuasa menghadapi sebuah kacang….” dengan berani Andi menuliskan pemikirannya.
“Saran saya kepada publik, nikmati saja drama ini. Inilah drama yang paling bullshit dan subtil. Sekali lagi saya tak menduga bahwa Moeldoko mau menerima tantangan ini. Menarik untuk ditunggu apa yang terjadi selanjutnya? Karena kalau ia betul-betul bisa melibas SBY sampai ke akar-akarnya. Maksud akar gak usah jauh-jauh, AHY dan antek-anteknya. Tentu ia akan dikenang sebagai martir politik yang luar biasa. Ia mungkin akan kehilangan kesempatan menjalani karir politik yang lebih tinggi. Karena hanya menjadi Ketua Partai lungsuran yang sangat bau….
Walau demikian akan pantas dicatat bahwa mungkin dari sana kita bisa berharap bahwa KPK akan jauh lebih mandiri dan berintegritas, kehidupan kepartaian yang lebih sehat, toleransi beragama yang lebih baik. Pemerintah juga bisa lebih fokus pada program kerjanya.
Kalau itu terjadi, tentu Moeldoko tidak segoblog itu.”
Demikian Andi Setiono mengakhiri analisisnya yang logis itu.
(Nia Megalomania)