Selang sehari sesudah KPK menetapkan 4 orang sebagai tersangka yaitu Yoory C. Pinontoan selaku Direktur Utama Perumda Sarana Jaya, Anja Runtuwene dan Tommy Adrian selaku Direktur PT Adonara Propertindo dan PT Adonara Propertindo selaku Korporasi atas dugaan tindak pidana korupsi mark-up harga pembelian lahan di Pondok Ranggon dan Munjul, Cipayung, Jakarta Timur pada 8 Maret 2021 yang terindikasi merugikan negara sekitar 100 milyar rupiah, Wakil Gubernur Pemprov DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria memberikan pengakuan secara terbuka bahwa banyak sekali mafia tanah dan sengketa lahan di DKI Jakarta.
Pernyataan itu disampaikan Ariza untuk menanggapi kasus dugaan tindak pidana korupsi pembelian lahan untuk program rumah dp nol rupiah yang saat ini sedang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Politisi dari Partai Gerindra tersebut juga membeberkan PR Pemprov DKI Jakarta untuk membebaskan lahan sepanjang 10 km untuk normalisasi sungai Ciliwung yang diharapkan dapat dirampungkan tahun depan.
Ariza tidak secara eksplisit dan langsung menyatakan bahwa para aktor, tersangka yang bermain dengan melakukan mark-up harga pembelian lahan Pondok Ranggon dan Munjul itu terindikasi mafia tanah meskipun hal itu sulit dibantah. Apalagi saat ini ada 9 kasus permainan pembelian lahan yang sedang ditangani oleh KPK. Celakanya, laporan dugaan permainan pembelian lahan-lahan untuk keperluan program rumah dp nol rupiah tersebut melibatkan oknum dalam Perumda Pembangunan Sarana Jaya, perusahaan plat merah yang diberi kepercayaan oleh Pemprov untuk mengawal dan merealisasikan program unggulan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.
Lalu siapakah mafia tanah itu ? Apakah ia adalah sosok hantu yang tidak bisa diidentifikasi dengan baik dan jelas ? Ia adalah personifikasi dari orkestrasi berbagai kepentingan para aktornya untuk menguasai lahan dengan memalsukan hak atau cara-cara tidak benar lainnya dan dari situ memperoleh banyak uang dengan mudah dan cepat dengan berselancar dan memanfaatkan ruang atau celah sistem hukum pertanahan di Indonesia. Mafia tanah acapkali bermain dalam kasus sengketa tanah atau lahan.
Menurut Dirjen Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah, Agus Widjayanto, setidaknya ada 4 modus operandi mafia tanah :
- Pemalsuan hak atas tanah. Ini merupakan modus umum lantaran ada banyak bukti hak atas tanah yang berlaku di Indonesia.
- Pembuatan dokumen asli tapi palsu misalnya girik. Girik ini sangat lemah dari sisi tertib administrasi. Meskipun demikian Girik tetap dipakai untuk melakukan klaim atas bidang tanah. selain itu ada juga klaim berdasarkan tanah eigendom verponding dan Surat Keterangan Penguasaan Tanah.
- Memakai jalur PTUN untuk mengklaim atas tanah yang berujung kalahnya pemilik asli. Kebanyakan gugatan itu dilakukan secara verstek yaitu tanpa kehadiran pihak tergugat. Apabila memang, maka pemilik asli tanah kehilangan haknya dan BPN akan mengeluarkan sertifikat tanah atas nama penggugat.
- Memalsukan sertifikat tanah atau surat kuasa yang kemudian dijual dengan ganti nama.
Dalam kasus lahan Pondok Ranggon dan Munjul, Anja Runtuwene melakukan Perjanjian Perikatan Jual Beli sebanyak dua kali. Yang pertama dengan pihak yang menguasai lahan dalam hal ini Bendahara Ekonom Kongregasi Suster-Suster Carolus Boromeus yang mana AR bertindak selaku calon pembeli. Tidak sampai satu bulan, AR melakukan PPJB dengan Perumda Pembangunan Sarana Jaya yang mana AR bertindak selaku calon penjual.
Meskipun dalam PPJB pertama, AR tidak dapat melunasi pembayaran sesuai dengan tenggat waktu yang ditetapkan, yang berarti ada syarat yang tidak dipenuhi, AR telah bertindak sebagai yang menguasai lahan Pondok Ranggon dan Munjul dalam membuat perikatan dengan Perumda Sarana Jaya. Langkah AR jelas off-side sebab melakukan klaim sepihak. Seharusnya AR perlu merampungkan proses sampai Akta Jual Beli (AJB) selesai terlebih dahulu atau paling tidak ketika sudah yakin dan pasti bahwa kewajiban dalam PPJB yang dibuat di depan notaris telah terpenuhi, baru kemudian membuat PPJB dengan pihak lainnya.
Mengapa AR nekat menempuh jalan pintas ? Boleh jadi AR sedang berkompetisi dengan pihak pengembang lainnya dan berpacu dengan waktu untuk bisa memenuhi permintaan penyediaan lahan untuk program rumah dp nol rupiah. Tidak heran apabila 9 kasus permainan pembelian lahan yang dilaporkan ke KPK oleh karyawan internal perusahaan plat merah menggunakan modus yang kurang lebih sama.
Dalam hal ini Perumda Sarana Jaya adalah pihak yang memiliki “demand” sedangkan calon penyedia barangnya tentu lebih dari satu. Dari sisi pemilik “demand” tentu mempunyai kriteria luas lahan minimal dan maksimal , pilihan lokasi, status lahan, spesifikasi, maksimal harga beli per meter persegi, term of payment. Itu yang normatif. Kalau untuk hal-hal normatif saja tidak transparan apalagi terkait dengan pembicaraan atau negosiasi “di bawah tangan”.
Pengadaan lahan untuk program rumah dp nol rupiah melibatkan banyak pihak, banyak kepentingan dan uang yang besar, sekitar 3,3 trilyun rupiah. Ini tentu saja mengundang antusiasme dari berbagai pihak untuk turut berupaya mengambil irisan kue pengadaan lahan. Lemahnya transparansi pemprov DKI Jakarta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi detil pembelanjaan anggaran, menumbuhsuburkan praktik-praktik mafia tanah di ibukota RI ini. Jangan heran apabila mereka ini ada dimana-mana baik di legislatif, eksekutif, perusahaan daerah, institusi penegak hukum, lembaga bisnis swasta. Upaya KPK membongkar korupsi pengadaan lahan mungkin akan membuat para mafia ini takut, kecut dan gentar. Namun paling itu hanya sebentar saja sebab kue besar pengadaan lahan terlalu sayang untuk dilewatkan.
Musa Akbar / KENDI.id
Referensi :
- https://megapolitan.kompas.com/read/2021/03/11/20054861/dari-mafia-tanah-hingga-anggaran-masalah-pemprov-dki-dalam-pembebasan?page=all#page2
- https://www.google.com/amp/s/koran.tempo.co/amp/metro/462998/korupsi-lahan-pemilik-batal-menjual-perantara-tetap-melepas-ke-dki
- https://www.google.com/amp/s/m.bisnis.com/amp/read/20200225/47/1205886/mafia-tanah-terus-diburu-kenali-modusnya