Pernah mendengar reputasi berbohong dan membual seorang Presiden? Simak kisah berikut ini. Dikutip dari Washington Post, Donald Trump pernah membuat 10.796 pernyataan salah atau menyesatkan dalam 896 hari menjabat Presiden. Bila dirata-rata, Trump mengeluarkan sekitar sepuluh pernyataan salah setiap harinya.
Trump juga pernah dicatat mengeluarkan 125 pernyataan sesat hanya dalam 120 menit berbicara. Ini artinya satu kebohongan setiap menit. Tetapi yang menjadi permasalahan, mengapa banyak orang mempercayai kata-katanya? Selamat datang di era post truth, era di mana pembohong tak terasa berbohong, yang diam dianggap pembohong. Era ini memproduksi begitu banyak hoax dan kisah omong kosong lain, dan juga ada begitu banyak orang salah berkeputusan akibat banyaknya hoax itu. Sering secara berolok-olok orang berkata: di era post truth seharusnya berpikir berlawanan dari apa yang digembor-gemborkan.
Karena di era ini, berita yang disuarakan media bukan melulu apa yang terjadi, tetapi memang berita yang diproduksi secara sadar untuk meraih keuntungan tertentu. Tak semata keuntungan finansial, tetapi sering kali adalah perebutan pengaruh. Kubu-kubu yang merebut pengaruh ini kemudian dimanfaatkan para pembuat content untuk mendulang Ad Sense.
Berbeda dengan masa lalu, kini mereka yang berebut pengaruh itu tak terbatas hanya politisi. Para social climber alias pansos juga ikut aktif dalam perebutan pengaruh itu. Mulai dari artis hingga mahasiswa. Kasus BEM UI, bila kita jujur, tak lepas dari perebutan pengaruh itu. Berawal dari unggahan BEM UI bahwa Presiden Jokowi adalah King of Lip Service. Unggahan itu menjadi trending di Twitter, memancing pro dan kontra. Ade Armando, yang mengkritik Ketua BEM UI segera dicerca karena dianggap melempar hoax bila Ketua BEM UI masuk UI dengan cara menyogok. Pro dan kontra makin menjadi ramai setelah terdengar berita Rektorat UI memanggil BEM UI. Sebagian yang membela
Terlepas dari pro kontra itu, ada yang sedikit fakta yang terlupakan. Reaksi Rektorat yang dianggap berlebihan itu, sebenarnya sudah jauh lebih lunak daripada yang dilakukan banyak Rektorat di masa lalu. Ini masih ditambah fakta bahwa apa yang dianggap kritik oleh BEM UI itu punya banyak muatan ad hominem, termasuk juga karikatur yang dibuat. Tidak heran jika banyak pihak kemudian membanding-bandingkan perbedaan mahasiswa kritis di masa lalu dengan kritis di masa kini.
Beda utama gerakan mahasiswa era Orde baru dan kini cukup banyak. Mulai dari akses komunikasi dan interaksi belum semasif sekarang. Media sosial belum ada, sementara media massa pun dalam kendali pemerintah. Namun bisa dibilang beda utama gerakan mahasiswa masa itu dan gerakan mahasiswa era sekarang adalah reward yang diterima. Masa itu, mengkritik pemerintah berarti masa depan yang hancur. Bila tak berakhir di penjara, atau drop out, maka seseorang akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan. Di masa kini, ada banyak reward, garang mengkritik pemerintah dapat menjadi sarana pansos. Agar kelak dipinang oleh politisi, ataupun ormas-ormas yang berebut hegemoni.
Mari kita lihat fakta masa lalu berikut. Laporan Human Rights Watch berjudul Academic Freedom in Indonesia: Dismantling Soeharto Barrier menyebutkan bahwa pengekangan dunia akademik adalah warisan paling kronik dari Orde Baru. Pengekangan itu dilakukan dalam berbagai rupa.
Orde Baru memang paranoid terhadap mahasiswa. Represif dimulai pada kampanye golput Pemilu 1971. Aksi Malapetaka 15 Januari atau biasa disebut Malari pada 1974, saat mahasiswa menolak modal asing saat PM Jepang berkunjung berujung kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan di Jakarta. Malari menjadi kisah paling fenomenal gerakan mahasiswa Orde Baru sebelum Reformasi 1998.
Ketakutan terhadap mahasiswa direspons dengan aturan Normalisasi Kehidupan Kampus Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK BKK) yang dikeluarkan Kemendikbud era Daoed Jusuf.
Mulailah kampus digempur oleh tindakan represif khas Orba. Yang paling kentara adalah buku. Tak kurang dari 2.000 judul buku dilarang oleh pemerintahan Soeharto.
Ada jalur birokrasi yang panjang bagi para akademisi yang hendak mengajukan judul buku yang ingin dibaca. Setidaknya izin harus dipenuhi dari berbagai lembaga, mulai dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Koordinasi Intelijen Negara (kini BIN), Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional, sampai Kejaksaan.
Kenapa seketat itu? Bagi Orde Baru, gagasan seperti Marxisme-Leninisme, kritik terhadap agama, menyerang tokoh negara, dijadikan dalih untuk melarang peredaran suatu buku. Sering kali sebenarnya hanyalah ketakutan Orde Baru pada mereka yang dianggap lawan politik Soeharto.
Salah satu catatan HRW terkait buku yaitu peristiwa tahun 1989. Tiga mahasiswa dipenjara karena menyebarkan novel Pramoedya Ananta Toer yang waktu itu dilarang. Mereka kemudian dihukum 8-9 tahun penjara. Pada waktu itu tulisan di pers mahasiswa yang tak berkenan bagi Orde Baru bukan hanya membuat pers Kampus dibreidel, tapi juga berurusan dengan Kejaksaan. Bandingkan dengan keadaan masa kini.
“Jokowi kerap kali mengobral janji manisnya, tetapi realitanya sering kali juga tak selaras. Mulai dari rindu didemo, revisi UU ITE, penguatan KPK, dan rentetan janji lainnya,” tulis BEM UI melalui akun Twitter resmi @BEMUI_Official, dikutip Minggu (27/6). Kritik yang sama juga dimuat situs resmi BEM UI.
BEM UI juga menilai Jokowi hanya mengumbar janji manis ketika menjanjikan akan memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jokowi justru dinilai memperlemah KPK dengan revisi UU KPK dan sejumlah kontroversi yang menyelimuti instansi tersebut termasuk Test Wawasan Kebangsaan.
Presiden Jokowi kemudian menanggapi unggahan BEM UI yang mengkritik keras dirinya dengan sebutan ‘King of Lip Service’. Lewat unggahan videonya di media sosial Twitter miliknya, Jokowi menilai, kritikan berbagai pihak termasuk dari kalangan mahasiswa tersebut menurutnya sah-sah saja. “Saya kira ini tentu ekspresi mahasiswa. Ini negara demokrasi, kritik itu boleh-boleh saja,” kata Jokowi. “Universitas tidak perlu menghalangi mahasiswa untuk berekspresi,” tegasnya.
“Saya menghargai setiap kritik. Dan sikap kritis itu justru bagus untuk negara demokrasi,” tulisnya, seperti dikutip pada Selasa, 29 Juni 2021, via Facebook Presiden Joko Widodo.
Dari komentar-komentar netizen tersebut, kita dapat menyadari bila tak sedikit yang berpendapat BEM terasa kurang sopan, sekaliguskesan bahwa banyak orang tak percaya bila gerakan mahasiswa masa kini murni, bebas dari kepentingan politik.
Menarik disimak cuitan Saifulloh Ramdani, Ketua BEM FIB UI periode 2013, misalnya. Dalam serangkaian twit-nya, Saifulloh pernah membeberkan adanya penyusupan kader-kader PKS (Partai Keadilan Sejahtera) di kampus UI yang telah menggeliat sejak lama. Maka tidak heran afiliasi politik banyak gerakan kampus terasa serupa: anti pemerintah bukan karena pemerintah buruk, tetapi karena berseberangan ideologi.
Tentang kampus yang tidak bebas kepentingan politik, Soe Hok Gie pernah menulis. Dalam artikelnya berjudul “Wajah mahasiswa UI yang bopeng sebelah” (dimuat dalam harian Indonesia Raya, 22 Oktober 1969) Gie membongkar perilaku tersebut. Gie mengetahui ada ormas yang menempatkan UI sebagai project utamanya. Beberapa tokoh mahasiswa malah “dititipkan” membawakan misi organisasi.
Pada pertengahan 1968, Gie masih menulis bagaimana pimpinan mahasiswa UI geger karena mendapatkan dokumen HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) mengenai pengambilalihan Dewan Mahasiswa UI oleh PB HMI. “Pernah soal ini dikonfrontir secara lisan, tetapi jawabannya berbelit-belit, walaupun tidak disangkal,” tulis Gie.
Selain itu, pada waktu pembentukan Dewan Mahasiswa, senat-senat tak didekati dan dimintakan pendapatnya. Yang didekati adalah komisariat-komisariat ormas dari PMKRI (Perkumpulan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), dan lainnya. Gie dan mahasiswa-mahasiswa lain yang bukan anggota ormas menyaksikan bahwa aktivis-aktivis ormas bermaksud mendominasi Dewan Mahasiswa.
Kebobrokan lain yang disoroti Gie adalah penyalahgunaan dana infrastruktur kampus. Dalam catatan hariannya, 23 Oktober 1969, Gie mengungkap korupsi di mesjid kampus yang mencapai jutaan rupiah setiap tahun.
Kembali pada fakta Trump yang gemar mengumbar pernyataan salah dan hoax, menarik disimak apa yang ditulis Tom Phillips dalam The Truth, penipu seringkali disebut sebagai kecanduan akan mimpi yang tidak realistis dan ambisi berlebihan. Mereka memiliki kepercayaan berlebihan atas pendapatnya, dan tak bisa menerima kritik. Trump bisa jadi menunjukkan sikap seperti itu, tetapi Presiden Jokowi tidak. Jokowi tak kemudian bereaksi negatif pada pengritiknya, ia pun tak pernah tercatat membuat 10.796 pernyataan salah atau menyesatkan dalam 896 hari menjabat Presiden sebagaimana Trump. Tuduhan King of Lip Service menjadi tak berdasar.
Di samping itu, yang sangat mencemaskan adalah kritikan BEM UI itu terasa kehilangan sifat ilmiahnya. Sesuatu yang mengatasnamakan institusi akademik seharusnya bebas dari nilai sensasional, menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah yang dijunjung para akademisi. Pencantuman kata-kata King of Lip Service itu membuat kritikan BEM UI tanpa harus membaca isinya keseluruhan, bagai tulisan di media abal-abal yang suka membuat judul sensasional yang seringkali berbeda dengan isinya: Tertangkap sedang bersama seorang perempuan berbusana seksi, aktor XX terlihat horny. Setelah dibaca secara keseluruhan, ternyata perempuan tersebut adalah istrinya sendiri.
Tentu saja ini memprihatinkan, kesan untuk menggiring opini bahkan merusak nama baik seseorang oleh institusi yang seharusnya menjunjung dan paham azas praduga tak bersalah. Seseorang dengan kecenderungan obyektif dan ilmiah, bisa jadi langsung malas melihat kritik yang dibandrol dengan tagline sensasional itu.
Atau memang seperti itukah mahasiswa saat ini, begitu bias kepentingan sehingga kehilangan obyektivitas dan semangat ilmiahnya? Sedikit saran, tulislah kritikmu dengan baik, lebih baik lagi bila disertakan solusi bagi permasalahan yang dikritik. Andai tidak pun tak apa. Tak perlu mengumbar kata-kata sensasional apalagi bila ad hominem. Dengan demikian kalian akan bebas dari cercaan diterima kuliah karena nyogok.
Nia Megalomania