Dunia politik Indonesia tak lepas dari isu ke isu. Setelah keriuhan dan kehebohan konflik Palestina-Israel berakhir dengan gencatan senjata, ternyata dunia politik Indonesia selalu mempunyai bahan gibahan baru. Yang terbaru tentu saja kisah tentang politikus baper dan memprotes politikus lain yang separtainya.
Alkisah, Ketua DPP PDIP Puan Maharani mengungkap kriteria calon presiden (capres) yang bakal jadi jagoan partainya. Puan menyebut sosok pemimpin seharusnya bukan hanya yang muncul di media sosial, tapi justru di lapangan. “Pemimpin menurut saya, itu adalah pemimpin yang memang ada di lapangan dan bukan di sosmed,” kata Puan usai membuka Pameran Foto Esai Marhaen dan Foto Bangunan Cagar Budaya di kantor DPD PDIP Jawa Tengah, Panti Marhaen, Semarang, pada Sabtu 22 Mei 2021. “Pemimpin yang dilihat sama teman-temannya, sama orang-orangnya yang mendukungnya ada di lapangan,” sambung Puan kemudian.
Pernyataan Puan ini seolah menggenapi polemik antara Ganjar dengan pengurus DPD PDI Perjuangan (PDIP) Jawa Tengah yang diketuai Bambang ‘Pacul’ Wuryanto. Berawal dari acara soliditas PDIP menuju Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2024 di Jateng yang dihadiri Puan Maharani.
Pertemuan itu menarik perhatian publik karena Ganjar sebagai kader maupun gubernur, tak diundang saat itu.
Ketua Bidang Pemenangan Pemilu DPP PDI Perjuangan yang juga Ketua DPD PDI Perjuangan Jateng, Bambang Pacul membenarkan bahwa semua kepala daerah di Jateng dari PDI Perjuangan diundang, kecuali gubernur. Dari sinilah ketidaksukaan Bambang Pacul terhadap Ganjar terungkap. “Tidak diundang! (Ganjar) wis kemajon (kelewatan atau kebablasan). Yen kowe pinter, ojo keminter,” kata Bambang Pacul, dalam pernyataan tertulis yang diterima Tribunjateng.com, Minggu 23 Mei 2021.
Tambah Bambang Pacul lagi, DPD PDI Perjuangan Jateng berseberangan dengan sikap Ganjar Pranowo perihal langkah pencapresan di 2024. Ganjar terlalu berambisi maju nyapres sehingga meninggalkan norma kepartaian. Bambang melanjutkan, PDIP Jateng sebenarnya sudah lama memberikan sinyal jika sikap Ganjar yang terlalu ambisi dengan jabatan presiden tidak baik.
Bagi Bambang Pacul, apa yang dilakukan Ganjar tidak baik bagi keharmonisan partai. “Wis tak kode sik. Kok soyo mblandang, ya tak rodo atos (sudah saya kasih kode, tapi malah tambah kebablasan). Saya di-bully di medsos, ya bully saja. Saya tidak perlu jaga image saya,” tegasnya.
Maka jagad politik Indonesia pun geger menanggapi apa yang terjadi di Jawa Tengah. Konon katanya Jawa Tengah adalah medan pertempuran terpanas dalam politik Indonesia. Di kalangan politisi, sudah lama dipercaya, siapa yang memenangkan Jawa Tengah, ia akan memenangkan Indonesia. Tidak heran penguasaan medan Jawa Tengah menjadi sasaran utama politikus yang akan maju pada Pilpres 2024. ‘Penyerbuan ke Jawa Tengah’ ini bukan hanya menjadi duel antar parpol, tetapi bahkan seringkali memicu perpecahan internal partai.
Apakah ini hanya rivalitas pribadi Puan versus Ganjar, atau memang tingkat kompetisi antar kandidat orang nomor satu RI makin kuat? Mari kita teguk informasi berikut ini. Cleguk…
Dalam setiap survei, elektabilitas Ganjar selalu berada di atas Puan. Menurut hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dirilis pada 22 Februari 2021, elektabilitas Ganjar 10,6 persen, sementara Puan Maharani hanya 0,8 persen. Survei Indikator Politik Indonesia pada 21 Maret, menempatkan Ganjar di posisi tiga besar bersama Anies Baswedan dan Ridwan Kamil. Dalam survei tersebut, elektabilitas Ganjar sebesar 13,7 persen, dan Puan hanya berada di posisi ke sembilan dengan elektabilitas sebesar 1,1 persen.
Dalam survei Indonesia Political Opinion (IPO) pada 28 Oktober 2020, elektabilitas Ganjar lagi-lagi mengungguli Puan. Ganjar berada di posisi teratas dengan elektabilitas sebesar 17,9 persen, sedang Puan (lagi-lagi) hanya bertengger di posisi ke sembilan dengan elektabilitas sebesar 1,9 persen.
Elektabilitas Puan yang jauh di bawah Ganjar ini, tentu saja menciutkan nyali Puan bertarung di Pilpres 2024. Nyali ciut, seringkali berkelindan dengan tindakan baper. Emosional berlebihan, kehilangan kejernihan berpikir. Rasa insecure, ketakutan bila kelak kesempatannya untuk maju Pilpres tertutup oleh Ganjar. Sejumlah rumor beredar, mengapa Puan yang biasanya kalem ini kali ini bereaksi keras. Konon ia dibisiki oleh seorang mantan walikota yang kini galau karena munculnya walikota baru yang namanya mulai berkibar.
Tentu semestinya orang selevel Puan haruslah orang yang tak emosional, mampu menilai dengan obyektif. Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research Center (SMRC), Sirajuddin Abbas, menilai sebaiknya jangan ada pihak yang terlalu baper atau sensitif dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang terekspose di media massa dan media sosial. Menurut Sirajuddin, tenar di media bukan berarti seseorang memiliki ambisi politik.
“Kalau Gubernur Ganjar aktif terekspose di media sosial, tentu bukan fakta bahwa dia ambisius,” kata Sirajuddin, pada Senin 24 Mei 2021. Disadari atau tidak, semua kepala daerah dan pejabat publik lain yang sadar media, pasti menggunakan semua jenis media sosial untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Penggunaan media sosial kini hal yang jamak.
Apakah Puan Maharani juga ‘kenceng’ bermedsos? Entah, yang jelas beberapa baliho besar bergambar Puan Maharani kini terpampang besar di kota Surakarta, konstituen Puan. Cara-cara penggunaan baliho sebagai media kampanye sudah mulai ditinggalkan. Media ini dianggap tidak cukup interaktif untuk menjaring aspirasi masyarakat.
Belum lagi kesan jadul, ketinggalan zaman. Baliho bergambar potret diri sungguh jauh dari cara-cara kampanye massa kini yang paling efektif: menunjukkan karya nyata. Tak dipungkiri media sosial juga memuncualkan fenomena hoax, tetapi media sosial cukup efektif untuk memberikan gambaran tentang kepribadian politikus, rekam jejak, karya serta intelektualitas seorang tokoh. Hal-hal yang kelak akan sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan politikus. Tak pelak Puan dan komentar bapernya, serta baliho yang bertaburan di seluruh kota memperburuk citra Puan.
Bagaimanakah gambaran pemimpin Indonesia di tahun 2024? Di berbagai negara, banyak presiden yang meraih posisinya setelah menduduki jabatan gubernur atau walikota. Ada juga yang memulai dengan menjadi senator atau perwakilan daerah. Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt, Bill Clinton, dan George W. Bush, sebelumnya adalah seorang gubernur. Demikian pula Jacques Chirac, Presiden Perancis ke-22 (1995-2007), pernah menjadi Walikota Paris. Untuk kelompok senator yang naik menjadi Presiden Amerika Serikat tercatat nama John F. Kennedy dan Barack Obama. Dari fakta-fakta ini, dengan jabatan mereka sekarang, kita melihat baik Ganjar dan Puan berpotensi untuk menjadi Presiden RI.
Khusus untuk Amerika Serikat (AS) kursi gubernur kerap menjadi pijakan awal seorang politisi menuju kursi presiden. Dari total 44 orang yang menjadi penguasa Gedung Putih, 18 di antaranya pernah mencicipi kursi di tingkat gubernur. Jika dipersentasekan, 42 persen Presiden AS adalah para bekas gubernur.
Di tanah air, fenomena tersebut terjadi pada kasus Joko Widodo (Jokowi). Sebelum menduduki kursi RI-1, Jokowi terlebih dahulu memimpin di tingkat provinsi sebagai Gubernur DKI Jakarta. Jika ditarik jauh, ia bahkan memulai karir politiknya di tingkat kota dengan menjadi Wali Kota Solo. Jokowi adalah contoh keberhasilan jenjang karir politisi dari jalur sipil.
Fenomena jenjang politik seperti ini disoroti Larry J. Sabato dari University of Virginia. Secara umum, gubernur dianggap teruji dalam hal kemampuannya mengelola pemerintahan. Tak heran dalam survey-survey Capres, nama-nama mereka yang masih menjabat Gubernur seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Ridwan Kamil selalu berada dalam urutan-urutan teratas survei.
Adakah nama lain di luar para Gubernur itu yang mencuat? Diam-diam nama Budiman Sudjatmoko mulai diperhitungkan. BS mencuat dengan proyek Bukit Algoritmanya. Proyek yang disinyalir akan membangun Silicon Valley ala Indonesia. Bukan hanya membangun kawasan industri digital berteknologi tinggi, tetapi tentu menyiapkan ekosistem bisnis berteknologi tinggi dengan tetap bertumpu pada kerja sama UMKM,lembaga riset serta lembaga pendidikan vokasi dengan industri.
Dalam lingkup yang lebih kecil, skala kota, Walikota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka juga mulai merintis technopark dengan konsep serupa Bukit Algoritma. Bertumpu pada lembaga riset sebagai lingkaran dalamnya, serta sektor industri sebagai lingkaran luar ekosistem bisnis tersebut. Sektor industri akan menterjemahkan hasil riset sebagai produk. Di antara lingkaran dalam dan luar itulah ada lembaga pendidikan vokasi dan UMKM, yang menjadi jembatan antara lembaga riset dan dunia industri.
Dalam konsep Gibran ini, technopark tak lagi sekadar instalasi workshop fisik ala bisnis era analog, atau tempat diselenggarakannya pelatihan yang kerap tak berkesinambungan seperti di masa lalu. Gibran sendiri terkenal dengan concern-nya pada peningkatan UMKM lokal, bahkan dalam masa kepemimpinannya yang belum ada setengah tahun tersebut ia telah banyak menorehkan inovasi dalam kerjasama UMKM dengan platform-platform bisnis digital besar seperti Gojek dan Shopee.
Tak heran bila perlahan Gibran menjadi magnet baru di dunia medsos. Semua content yang memberitakan Gibran nyaris selalu viral. Ini masih ditambah dengan citra ‘tegas’ yang pelan-pelan mulai terbentuk pada Walikota baru tersebut. Kasus pemecatan Lurah yang melakukan pungli, serta pemecatan sopir BST yang menyerempet kereta api Batara Kresna, menunjukkan ketegasan anak muda ini, dan menjawab kerinduan masyarakat Indonesia akan sosok yang dianggap tegas.
Selama ini, masyarakat beranggapan ketegasan hanya dapat dilakukan pemimpin berlatar militer. Anggapan yang berhasil membuat Prabowo Subianto selalu berada di rating atas survei-survei Capres. Ketegasan sipil society ini pelan-pelan mulai disematkan masyarakat pada Gibran.
Terlepas dari apapun, belum bisa diketahui secara pasti yang akan terjadi di 2024. Menarik disimak pendapat Sunu Prasetya, seorang pebisnis provider internet di Surakarta tentang pemimpin Indonesia pada 2024 dan masa-masa yang akan datang. Pendapatnya ini terasa cukup mewakili apa yang menjadi kegundahan masyarakat Indonesia. “Zaman ini zaman yang membutuhkan manifestasi, bukan lagi pemimpin baper yang ngomong tentang ideologi. Pertarungan ideologi sudah selesai….”
“Sekarang waktunya orang untuk memanifestasikan kemakmuran dan keadilan. Yang diperlukan adalah pemimpin yang mampu memanifestasikan kemakmuran dan keadilan tersebut. Mengimplementasikannya dari wacana menjadi wujud nyata. Dan Itu hanya dapat diwujudkan oleh orang yang terbiasa bekerja. Bukan orang yang sibuk berdebat wacana saja.”
Politisi yang tampil bukan lagi politisi yang menggalang massa, tambahnya lagi. Karena massa akan lebih dewasa, bukan massa yang gampang terhanyut hoax, tapi yang dapat mengapresiasi langsung karya orang. “Jokowi tidak terlalu banyak omong, tetapi karyanya membuat orang terhanyut. Kita butuh Jokowi-jokowi baru” Demikian Sunu mengakhiri pendapatnya.
Puan Maharani, Ganjar Pranowo, atau siapapun yng ingin memimpin negeri ini pada 2024, buktikan diri anda dengan karya nyata, bukan dengan baper.
NIA MEGALOMANIA