Pancasila dan Kita

Kita belakangan ini, sering prihatin pada penerimaan Pancasila di masyarakat. Entah ini terjadi pada sebagian kecil atau sebagian besar masyarakat kita. Kelompok yang diam-diam tak dapat menerima Pancasila, bukan karena Pancasila itu buruk bagi mereka. Hanya karena terlanjur menerima indoktrinasi ideologi eksklusif, dan membuat mereka tak mampu berpikir kritis. Sesuatu yang meresahkan, lebih meresahkan lagi melihat bagaimana suatu lembaga negara pernah dipenuhi orang-orang yang tak berwawasan kebangsaan. Bayangkan…. Bagaimana dengan lembaga-lembaga negara lainnya? Mungkinkah mengalami hal serupa?

Dalam majalah Prisma edisi volume 3 tahun 2020, yang bertema Republik & Keadilan Sosial: Yang Teretas dan Yang Tertinggal, terdapat tulisan FX Adji Samekto, Mewujudkan Keadilan Sosial dalam Negara Kesejahteraan Berdasarkan Pancasila. Pancasila yang rumusannya terdapat dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bila dicermati mendalam, merupakan hasil penerimaan gagasan dunia seperti demokrasi, kedaulatan rakyat, gagasan negara berbentuk Republik dan konsep negara kesejahteraan (welfare state). Semua itu dipadu dengan pandangan hidup bangsa ini yang telah membudaya, yakni menjunjung tinggi aspek religiusitas, menjaga kerukunan, musyawarah dan budaya gotong royong.

Ir. Sukarno, pada 1 Juni 1945 menyatakan kelima prisip yang dinamakannya Pancasila itu merupakan ‘weltanschauung’ yang harus diwujudkan dalam kehidupan konkret. Ini artinya Pancasila sudah lama menjadi weltanschaaung bangsa Indonesia, tetapi belum dirumuskan sebagai sistem filsafat. Weltanschaaung sendiri dapat dikatakan ‘lebih dalam’ dari filsafat. Filsafat baru sebatas konsep berpikir dalam rangka pencarian kebenaran, sedang weltanschauung telah menjadikan suatu filsafat (pandangan) sebagai dasar bersikap dalam keseharian hidup suatu bangsa.

Apakah Pancasila telah benar-benar menjadi dasar bersikap kita dalam keseharian? Bila menyangkut religiusitas, bisa jadi benar. Kita hidup di tengah bangsa yang gemar beragama. Tetapi bila menyangkut menjaga kerukunan, dan bermusyawarah, rasanya kita masih harus banyak belajar. Mungkin di masa lalu kita pernah dalam budaya seperti yang disebut di atas itu, dan entah mengapa sekarang berangsur hilang. Tentang gotong royong? Gotong royong tetap banyak dilaksanakan, meski sering kali tidak dengan menjaga kerukunan dan didahului musyawarah.

Artikel kemudian membahas tentang negara kesejahteraan. Lahirnya konsep welfare state menyebabkan kewajiban mewujudkan keadilan sosial merupakan tujuan penyelenggaraan negara yang semakin menguat di era modern. Konsep ini lahir menyusul konsep sebelumnya, konsep negara Penjaga Malam (naachtwachterstaat) yang merupakan refleksi kapitalisme klasik. Dalam konsep ini pemerintah harus sesedikit mungkin mencampuri urusan warganya.

Dalam prakteknya, implementasi konsep Negara Penjaga Malam ternyata sering menimbulkan kesenjangan yang sangat lebar antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin. Peraturan negara dalam konsep negara Penjaga Malam mengatakan bahwa hukum harus netral, tidak berpihak, dan lepas dari kepentingan politik, meski dalam praktik mulai terasa keberpihakannya pada kepentingan pasar bebas. Kemudian, mengikut depresi ekonomi yang melanda dunia, para ekonom yang dimotori John Maynard keynes mulai menggeser kebijakan ekonomi liberal menjadi ‘state-ism’, menguatnya peran negara selaku penyelenggara kesejahteraan rakyat. Gagasan inilah yang kemudian menguat menjadi konsep welfare state.

Dalam konsep itu, tugas utama negara adalah menciptakan kesejahteraan (to create prosperity). Diwujudkan dalam ‘kesetiakawanan’ negara terhadap warga, terutama terhadap mereka yang kurang beruntung. Untuk mencapai kesejahteraan itu, haruslah terlebih dahulu diciptakan keadilan sosial.

Penciptaan keadilan sosial merupakan kewajiban yang bobot etisnya lebih berat daripada penciptaan kesejahteraan umum. Atas nama keadilan, setiap orang harus diperlakukan menurut hak-haknya, meniadakan pembedaan yang sewenang-wenang dalam memberlakukan masyarakat. Lebih lanjut, Frans-Magnis Suseno menambahkan, “tuntutan keadilan sosial di satu pihak, tidak terbatas pada mereka yang tidak mampu, tetapi juga pada siapapun yang menderita ketidakadilan.”

Tugas negara untuk mewujudkan keadilan tersebut sudah dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai tujuan didirikannya negara Indonesia. Tujuan didirikannya Negara Indonesia adalah untuk berkehidupan bersama dalam kebangsaan Indonesia secara sejahtera. Ini artinya, mewujudkan keadilan sosial dalam Negara Kesejahteraan berdasarkan Pancasila, menuntut pemenuhan beberapa syarat. Pertama, tentu saja pemahaman yang benar tentang Pancasila, bahwa sebagai weltanschauung, Pancasila menjadi landasan nilai untuk mencapai keadilan sosial.

Kedua, karena bobot etis penciptaan keadilan sosial lebih berat dari penciptaan kesejahteraan umum, maka pembiaran terjadinya ketidak adilan merupakan bibit perpecahan dan konflik sesama bangsa. Tantangan untuk mewujudkan keadilan sosial ini makin menjadi lebih pelik di era global, saat pasar bebas merupakan realitas yang tak dapat dipungkiri, dihindari dan ditolak. Termasuk juga ekses buruknya.

Dalam esai berikutnya, Refleksi tentang Keadilan Sosial: Aspirasi Tanpa Akhir yang ditulis Kemala Chandrakirana dikatakan, “Lebih dari dua dekade reformasi, semakin tampak jelas titik-titik rentan dan kontradiksi-kontradiksi internal dalam sistem demokrasi dan keadilan sosial yang telah dibangun.” Demokrasi elektoral yang semarak ternyata menciptakan lahan subur bagi lahirnya politik identitas yang meningkatkan intoleransi terhadap minoritas.

Catatan sedih Chandrakirana itu menjadi sedikit melegakan ketika kemudian di salah satu artikel, Prisma menulis wawancara dengan Megawati Sukarnoputri. Di situ Megawati mengutip pidato Bung Karno yang berjudul To Build The World Anew. Saat membahas sila pertama, Bung Karno juga mengatakan, “…kami menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai yang paling utama dalam filsafat hidup kami. Bahkan mereka yang tidak percaya pada Tuhan pun, karena toleransinya yang menjadikan pembawaan, mengakui bahwa kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa merupakan karakteristik dari bangsanya, sehingga mereka menerima sila pertama ini.”

Kemudian BK membahas nasionalisme, “Mahatma Gandhi pernah berkata: saya seorang nasionalis, tetapi nasionalisme saya adalah perikemanusiaan. Kami pun berkata demikian, Kami nasionalis, kami cinta kepada bangsa kami dan kepada semua bangsa. Kami nasionalis karena kami percaya sekarang ini, dan kami akan tetap demikian, sejauh mata dapat memandang ke masa depan. Karena kami nasionalis, maka kami mendukung dan menganjurkan nasionalisme, di mana saja kami menjumpainya.”

Dan akhirnya BK menutup dengan, “Akan tetapi saya sungguh-sungguh percaya, bahwa Pancasila mengandung lebih banyak dari arti nasional saja. Pancasila mempunyai arti universal dan dapat digunakan secara internasional…”

SELAMAT HARI LAHIR PANCASILA

Vika Klaretha Dyahsasanti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *