Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) membandingkan kondisi utang Indonesia di era Presiden Joko Widodo saat ini dengan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). AHY berteriak-teriak utang Indonesia terus membengkak, mencapai sekitar Rp6.500 triliun. Menurut dia, angka itu sudah melampaui 40 persen rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Tapi AHY tentu tidak dengan jujur membuka fakta bila era ayahnya, SBY menggandakan utang RI berkali lipat. Kaget? Tidak perlu kaget, aib akan selalu ditutup setengah mati oleh sumber aibnya. Bila perlu dengan memfitnah yang tak bersalah. Ingin yahu lebih lanjut, simak berikut ini….
Mari kita lihat perbandingan tiga tahun terakhir masa pemerintahan SBY dengan 3 tahun pertama masa pemerintahan Jokowi. Pada masa akhir SBY utang negara telah mencapai 609 Trilyun. Pada 2017, utang negara 1.116 Trilyun. Meski meningkat, di masa Jokowi peningkatan juga diikuti dengan peningkatan-peningkatan pembangunan yang fantastis seperti peningkatan infrastruktur 200%. Infrastruktur Indonesia dapat meningkat dua kali lipat hanya dalam 2 tahun awal pemerintahan Jokowi. Ini sungguh prestasi luar biasa yang belum tentu bisa diulang dan dilakukan presiden lain, termasuk Soeharto yang mengklaim diri sebagai Bapak Pembangunan.
Bukan cuma infrastruktur, pendidikan meningkat, Kesehatan meningkat hampir dua kali lipat. DAK dan dana desa jyga fantastis. Kenaikannya sampai 3,5 kali lipat. Perlindungan sosial menjadi menjadi sektornyang paling pesat dengan peningkatan 8,5 kali lipat.
Indonesia di era Jokowi ibarat suatu keluarga yang bertambah utangnya, tetapi peningkatan kemakmuran, dan juga aset keluarga jauh di atas jumlah utang. Artinya ada penambahan penghasilan yang cukup besar. Artinya keluarga itu rajin bekerja. Artinya juga keluarga itu sangat efisien menggunakan uangnya. Begitu juga negara. Masa Jokowi peningkatan utang diikuti peningkatan pendapatan negara yang jauh lebih besar.
Dari situ juga bisa dibaca apa yang terjadi di zaman SBY. Mengapa pembangunan infrastruktur masa SBY begitu sedikit? Mungkin karena mangkrak di Hambalang….
Meski utang pemerintah meningkat pada 2021 ini, namun proporsinya tidak melanggar amanat Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Defisit APBN kurang dari 3% terhadap PDB, seperti disyaratkan UU, dan rasio utang kurang dari 60% dari PDB. Mengapa meningkat, tentu karena adanya pandemi. Pemerintah harus mengeluarkan pengeluaran ekstra untuk pengobatan dan vaksin, serta pemulihan ekonomi.
Tantang rasio utang terhadap PDB, baik pemerintahan Jokowi maupun era SBY, tidak pernah melewati 60%. Dalam hal itu, keduanya patut kita acungi jempol. Meski sebenarnya banyak negara maju justru punya rasio utang yang bahkan lebih dari 100% dibanding PDB. Termasuk Amerika Serikat, Perancis, dan Jerman. Dua negara besar dari Asia yaitu China rasio hutang tembus 60 persen, dan India mendekati 90 persen.
Namun meski mampu menjaga rasio hutang di bawah 60% PDB, pemerintahan SBY tercatat kurang jujur dalam pengungkapan utang negara. Besaran utang yang dirilis Kemenkeu di era SBY tidak mencantumkan besarnya Surat Utang Negara (SUN) valuta asing. Entah apa yang menyebabkan SBY merahasikan hal ini. Mungkin bagian dari pencitraan.
Ada fakta yang ditutup-rapat oleh SBY yaitu kenaikan jumlah utang pemerintah yang luar biasa selama masa pemerintahannya. Tidak tanggung-tanggung, besarnya sampai 4,6 kali lipat dari utang di masa pemerintahan Megawati. Entah jampi apa yang ditiupkan, sehingga tak banyak yang menggoreng fakta ini. Peningkatan di era Jokowi hanya 1,6 kali dibanding era akhir SBY. Tetapi berita yang ditiupkan lawan politiknya membuat Jokowi seolah-oleh lebih pengutang daripada SBY.
Di era SBY, utang banyak dihabiskan untuk belanja subsidi bagi masyarakat. Salah satu subsidi yang bisa dilihat di sektor energi. Pada masa pemerintahan SBY, alokasi subsidi energi bisa mencapai 500 trilyun rupiah dalam satu tahun. Subsidi tersebut membuat masyarakat manja, dan semakin tak mampu bersaing. Di era Jokowi, utang banyak ditujukan untuk pembangunan infrastruktur. Negara juga banyak memberikan modal kepada BUMN untuk membangun infrastruktur.
Tanyaken infrastruktur apa di zaman SBY? Ya Hambalang itu. Atau yang sering disebut-sebut, jembatan Suramadu. Ini juga kebohongan licik lagi. Jembatan Suramadu hanya kebetulan diresmikan SBY. Perencanaan dan pembangunannya sudah dimulai sejak era Megawati. SBY Cuma tinggal berdendang riang saja….
Fakta-fakta ini seharusnya membuat AHY malu untuk asal ngecap. Era bapaknya itu era pemecahan rekor berutang untuk hal konsumtif. Era bapaknya juga, orang sakit cuma bisa banyak menangis dan berdoa. BPJS full cover belum ada. Dan sebagai catatan, BPJS itu satu-satunya asuransi Kesehatan yang mau mencover penyakit kanker dan orang usia lanjut. Itu semua tidak terjadi di era SBY. Mengapa? Karena Jokowi bekerja dan bukan berdendang.
Para ilmuwan politik menulis dalam buku ‘The Yudhoyono Presidency: Indonesia’s Decade of Stability and Stagnation’: di balik situasi adem-ayem dan masa jabatannya yang berlalu dengan baik-baik saja, ia meninggalkan banyak masalah yang belum terselesaikan. Stabilitas pemerintahannya tak terpisahkan dari kebiasaan antidemokrasi: SBY merangkul kelompok-kelompok radikalis, gagal menuntaskan korupsi, tak punya terobosan untuk pemerintahan yang bersih, kelompok minoritas agama semakin sering mengalami tindak kekerasan, dan masyarakat miskin tidak mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan GDP.
John McBeth, jurnalis veteran The Strait Times dalam buku The Loner: President Yudhoyono’s Decade of Trial and Indecision mengatakan yang serupa. Tidak banyak hal baru selama sepuluh tahun pemerintahannya. Di periode kedua pemerintahannya, SBY hampir tidak melakukan apa-apa kecuali berburu gelar nan hebat-hebat baik di tingkat nasional maupun internasional.
Dalam Indonesia Update Conference 2014, ilmuwan politik asal Australia Greg Fealy menyebut SBY “disibukkan dengan penghargaan dan gelar, bahkan menunjuk ‘staf penghargaan’ yang bertugas berburu gelar.” Ilmuwan politik lain, Marcus Mietzner, menulis dalam buku Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy, and Molitical Contestation in Indonesia, “Ia keliling dunia untuk mengumpulkan kusala, plakat, dan gelar honoris causa, beberapa di antaranya telah diatur oleh tim khusus yang berkantor di istana.”
Itu prestasi bapaknya AHY. Prestasi anaknya mungkin ya berburu cacat pemerintah. Bila perlu membuat hoax tentang cacat pemerintah. Ahaaaay…..
Iwan Raharjo
Parahnya Utang Zaman SBY Dibanding Zaman Jokowi yang Tidak Diketahui AHY
Read Also
Recommendation for You
Dari pilpres 2014, 2019 hingga yang terkini pilpres 2024, ketika selesai proses perhitungan quick count,…
“Sukses” memaksakan Gibran menjadi pendamping Prabowo bakal diikuti oleh anggota keluarga Jokowi lainnya. Gibran yang…
Nampaknya, kebingungan sedang melanda Prabowo cs dalam mewujudkan program makan siang dan susu gratis. Sampai-sampai,…