Petaka Kesembronoan Sambo yang Akhirnya Mengalir Sampai Jauh

Harusnya pertanyaannya dimulai, mengapa Jokowi sampai tiga kali dalam tiga kesempatan berbeda. Berpesan dan menegaskan, agar kasus tertembaknya Brigadir Joshua Hutabarat, agar diusut sampai tuntas. Agar tak ada lagi yang ditutup-tutupi, ditelisik sampai ke akarnya. Kepentingan apa dan siapa saja, sebenarnya yang dipertaruhkan? Saya melihatnya, kasus ini menjadi sedemikian menarik karena kemudian kasus ini sejak awal sudah mengular kemana-mana.

Lahir ratusan cerita baik yang nyambung, maupun tak nyambung dengan peristiwa ini. Sehingga ketika, pada akhirnya Irjen Ferdy Sambo ditetapkan menjadi tersangka, motif pembunuhan tersebut menjadi tidak penting lagi. Karena, toh sesungguhnya publik juga sejak awal gampang menebak bahwa memang dia-lah otak dari peristiwa ini. Pertanyaannya, mengapa dia sebagai mantan Kabareskrim, hingga akhirnya menjadi Kadiv Propam sedemikian sembrono membuat skenario sedemikian rupa. Seolah dia malah seorang amatir, yang cara berpikirnya terlalu mudah ditebak.

Publik yang berharap ada sebuah cerita kronik, yang pelik dan kompleks ala Agatha Christie tentu menjadi kecewa. Peristiwa sesungguhnya tak serumit yang publik harapkan, terlalu banyak celah. Bahkan bagi sebagian “orang dalam” atau “petinggi tertinggi pemerintahan” tentu sudah mudah paham sejak awal. Tak perlu banyak teori untuk memahami adanya rekayasa atau skenario yang sengaja dibikin terlalu ceroboh dan terburu2. Menunjukkan bahwa kali ini bukan sebagaimana kasus ala maling jemuran atau pengecer narkoba yang ditembak kakinya, karena prasangka akan kabur. Sebuah skenario murahan yang apalan….

Kali ini, sejak awal Kepolisian dalam arti seluas-luasnya tertembak tepat di jantungnya. Tapi apa yang sesungguhnya yang terjadi, hingga kasus ini menyamber, mengular, bahkan menguliti banyak pihak yang semestinya diam saja dan tak terlibat. Hingga akhirnya, untuk pertama kalinya bahkan seorang Kapolri harus selalu melakukan konferensi pers sendiri, tanpa mewakilkan kepada pihak terkait, Biro Humas misalnya. Segenting apakah kasus ini. Saya mencatatnya ada beberapa hal menarik.

Pertama, tentu saja ini bukan kasus pertama yang menunjukkan betapa “kotornya” rumah besar yang namanya intitusi kepolisian. Justru ketika ia disapih menjadi institusi mandiri terlepas dari TNI, sejak 20 tahun terakhir. Sejak era Reformasi bergulir, betapa upaya membersihkannya selalu sulit dan tersaruk masalah rivalitas kepentingan internal, maupun eksternal khususnya dengan KPK. Kasus Cicak-Buaya Jilid 1-3. Sejak kasus simulator SIM, Susno Duaji, kriminalisasi Budi Gunawan, menduanya Novel Baswedan, hingga saling mengkriminalisasi antarai POLRI dan KPK. Menunjukkan bahwa, ada persaingan internal yang ditunggangi pihak eksternal untuk membuat Kepolisian sulit menjadi institusi yang bersih dan independen.

Realitas lain bahwa “polisi ngobyek” bukan rahasia lagi, dari tingkat terendah hingga tertinggi. Absurdnya, seperti kasus Aiptu Labora seorang polisi berpangkat rendahan, bisa sedemikian berkuasa justru di Papua. Ketika ia menjadi aktor utama praktek illegal logging dan penyelundupan BBM. Bisnisnya tidak main2 menyangkut duit hingga ukuran trilyun. Cerita serupa, terjadi pada kasus penambangan minyak ilegal di Jambi maupun penambangan emas di Kalimantan Utara yang jelas menyebabkan kerusakan hutan yang sangat parah.

Citra polisi makin berjelaga, menyangkut kasus penghapusan “red notice” Joko Chandra, tersangka buron internasional yang jejak kriminalnya tak hanya di Indonesia, tetapi juga ke manca negara seperti Malaysia, Hongkong, dan Australia. Sial, betul justru “oknum2” jendral itu seolah tutup mata membiarkan ia lolos dan kembali berkiprah di Indonesia, setelah menerima uang suap. Kasus besar seperti ini, menular kepada perkara2 kecil hingga kasus2 pencurian, pelecehan sosial, maupun pemerkosaan yang “diabaikan”. Hingga muncul tagar yang viral #percumalaporpolisi. Membuat citra polisi berada titik yang paling rendah…

Kedua, kasus yang semula dipahami secara sederhana sebagai “kasus tembak menembak di rumah seorang jendral”. Sebenarnya adalah pintu masuk yang paling tepat untuk menguak betapa buruknya perilaku para oknum pejabat di lingkungan Kepolisian. Dan bukan kebetulan bila kasusnya menyangkut Kepala Divisi Propam, yang secara sangat jumawa disebutkan oleh si oknum itu sendiri sebagai “benteng terakhir integritas kepolisisan”. Apa yang ia sebut merekalah yang berkewajiban menjaga independensi, kredibilitas, dan integritas institusi ini. Walau akhirnya terbukti itu sekedar “jargon”, dan justru karma alam pula lah yang menguaknya.

Sebuah skenario yang buruk, sebuah rekayasa kasus yang dibuat terlalu emosional. Banyak buang waktu, bahkan yang keterlaluan kasus disederhanakan bahwa Bripda Joshua dianggap “pantas ditembak” terkait kasus yang makin lucu lagi didaku sebagai pelecehan seksual terhadap Si Istri Jendral. Mereka telah salah pikir, salah hitung, salah strategi dari awal. Mereka mengabaikan bahwa Bripda Joshua berasal dari etnis Batak, yang secara tradisi keluarganya terutama ayah ibunya diberi kesempatan menatap anaknya sebelum dimakamkan. Ini adalah blunder awal yang akhirnya memunculkan tuntutan dilakukannya otopsi ulang.

Dan cerita selanjutnya mudah diduga! Muncul galangan solidaritas yang (agak) berbau SARA, yang ujungnya adalah pembelaan dari golongan etnis Batak. Tak kurang dari tokoh nasional sekelas Luhut B. Panjiatan menegaskan tuntutannya, aktivis perempuan seperti Mima Irma Hutabarat yang menyuarakan keresahannya sebagai seorang ibu. Bahkan lahir organisasi baru bernama Pemuda Batak Bersatu. Di sini hanya masalah waktu saja bahwa kasus ini cepat atau lambat akan sampai ke titik Ferdy Sambo sebagai tersangka. Apalagi (walau agak lucu juga) bagaimana Panglima TNI sampai menyediakan semua sumberdaya-nya baik fisik maupun manusia untuk membantu memuluskannya.

Ketiga, dan inilah bagian terburuk dari kasus ini. Bagaimana upaya “membela Ferdy Sambo” sudah direkayasa sejak awal. Bagaimana, pada akhirnya kasus ini menyeret sedemikian banyak aparat kepolisian. Tidak main-main: 31 personel polri termasuk 4 Pati, Pamen, Bintara dan Tamtama. Mereka yang dilibatkan untuk merekayasa kasus ini, menghilangkan barang bukti, merusak TKP, bahkan bagian yang paling menjijikkan melakukan manipulasi otopsi secara serampangan. Mereka seolah abai bahwa kasus ini akan sampai pada titik dimana upaya pengungkapan kasusnya mengikuti tuntutan publik yang haus akan kebenaran.

Di luar itu, upaya pengalihan cerita atau yang populer sebagai “framing”. Telah dilakukan dengan melibatkan media pers. Seorang wartawan senior, yang sebetulnya tak lebih penggiat infotaintment, berinisial IB. Bahkan menyerukan di awal kasus untuk jangan membully Putri Candrawati yang diposisikan sebagai “korban”. Masyarakat diminta untuk berempati kepadanya. Sebuah himbauan yang tentu saja sangat “berat sebelah” yang justru mengabaikan si korban meninggal. Bahkan kasus ini, melibatkan Fahmi Alamsyah sebagai Penasihat Ahli Kapolri bidang Komunikasi Publik, yang diminta Sambo untuk ikut merekayasa kasus ini. Ia kemudian terpaksa mengundurkan diri, sejak namanya disebut terlibat….

Sahabat saya, wartawan senior Supriyanto Martosuwito bahkan harus menggalang petisi melalui organisasi Change. id berkait ketidak independan seorang anggota Dewan Pers yang dianggap terlalu condong berpihak. Ia dianggap melakukan dukungan terhadap pelarangan wartawan yang melakukan peliputan di Komplek tempat tinggal Jendral Sambo. Alih2 mendukung upaya para awak media, melakukan kerja jurnalistiknya. Kasus yang ditengarai sebagai insiden permintaan “hanya menulis berita dari keterangan sumber resmi”. Sesuatu yang tentu saja mencederai Dewan Pers, yang diaharapkan sebagai benteng terakhir kemerdekaan pers.

Dari lingkungan DPR yang biasanya ramai mendorong sebuah kasus disidik secara transparan, nyaris semua anggotanya terdiam. Sebagaimana juga himbauan yang sama dilakukan kepada banyak media besar, sekelas Kompas dan Tempo yang alih2 mendorong publik makin “paham masalah”. Sangat terasa bahwa semua “sebenarnya tahu tapi memilih bersabar menunggu”. Dari lingkungan Parlemen, hanya Bambang Soesatyo sebagai Ketua MPR yang terdengar suaranya. Ia tentu saja “dianggap” membela Ferdy Sambo, hingga akhirnya ia juga terseret dugaan pelanggaran etik. Hingga dilaporkan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Keempat, sulit dipungkiri keberhasilan untuk sampai menjadikan Ferdy Sambo sebagai tersangka dalam konteks posisinya sebagai Kadiv Propam adalah buah dukungan sekaligus tekanan tak berbatas dari pihak TNI. Dalam banyak pertemuan yang dilakukan Jokowi sebagai bentuk himbaun penuntasan kasus ini. Kehadiran Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo, selalu didampingi oleh Panglima TNI Andhika Perkasa. Dukungan “kakak” terhadap “adik” dianggap sangat dibutuhkan untuk mentuntaskan kasus pelik ini. Namun, di lingkaran luar terdengar rumor hal tersebut berindikasi lain bahwa pihak kepolisian terlalu rakus dalam bisnis “percentengan” terhadap golongan tentara juga sulit dipungkiri.

Di sosial media, tersiar kabar bagaimana rivalitas “kedua oknum institusi” ini dalam perebutan jatah preman dan perlindungan lahan bisnis ielegal. Khususnya “judi online” menjadi sesuatu yang secara luas menjadi pergunjingan masyarakat. Sesuatu yang bukan hal baru, mengingat Jakarta sendiri adalah “lahan terbuka” dan “medan tempur” baik di tingkat atas maupun bawah. Tentara yang dipaksa tetap diam di dalam barak, dilarang keras berkeliaran dalam dunia malam. Sementara pihak Polisi dibebaskan keluar masuk area sipil, nyaris tanpa batas ruang dan waktu. Kecemburuan abadi sang kakak terhadap adik, yang nyaris tak tersembuhkan sampai kapan pun sejak pemisahan keduanya.

Rivalitas ini, merembet hingga kasus2 yang terjadi sebelumnya, menjadi sebuah balasan dendam. Bagaimana pihak Kepolisian mentelanjangi kasus tabrak lari yang melibatkan Kolonel Inf Priyanto. Kasus ini bukan saja sangat sadis, karena dua sejoli yang ditabrak di Garut alih2 dilarikan ke ruamh sakit. Keduanya dibuang ke Sungai Serayu, yang jaraknya ratusan kilometer dari situs TKP. Seolah bola panas, kasus ini bergerak liar dan menyakitkan, karena sebagai pejabat intelpam. Pperilaku yang bersangkutan dibeberkan ke ranah publik hingga menyangkut perkara2 pribadi yang menyertainya. Melebar pada awal kejadian, dimana ia selesai mengunjungi WIL-nya di Bandung, sebelum pulang ke Jogja menemui keluarga intinya.

Kelima, dan lepas dari semua hal di atas. Bagian yang makin memperumit adalah “gaya hidup” keluarga Ferdy Sambo, terutama menyangkut istrinya Putri Chandrawati. Sebagai seorang dokter gigi, yang memiliki kecenderungan sisi estetik, bergaya selebritis, dan selfish. Gaya hidupnya sedemikian glamor, perilakunya di media sosial tak memberi jejak ia adalah seorang istri prajurit. Pergaulannya sebagai sosialita yang lekat dengan barang mewah, kehidupan penuh gemerlap. Saya tidak tahu, seberapa banyak seorang pejabat “pantas”-nya memiliki seorang ajudan. Tapi dalam kasus Jendral Sambo, secara resmi ia memiliki 10 orang ajudan.

Apakah hal tersebut, sudah termasuk untuk sang istri atau tidak. Tapi, bahwa ia harus menyediakan rumah khusus yang dimiliknya secara pribadi hanya untuk tempat tinggal para ajudan. Menunjukkan gaya hidup yang jauh dari cita2 mulia Jendral Hoegeng yang memberinya teladan bahwa seorang poisi harus hidup sederhana, jujur, dan bersih. Pasangan ini. sekali lagi adalah sejenis pejabat yang dalam budaya Jawa disebut “melik nggendong lali”. Mereka adalah pasangan yang lupa diri karena tahta, harta, (wanita atau pria).

Di sini menjelaskan, kenapa bahkan seorang akademisi sekelas Hermawan Sulistyo. Menyebut sulit mengungkap motif sesungguhnya pembunuhan Bripda Joshua Hutabarat. Karena menyangkut masalah harga dirinya sebagai laki-laki dan perwira tinggi. Suatu alibi dan argumentasi yang malah, membuat “hukum dan keadilan” seolah masih memandang bulu. Suatu pernyataan keputusasaan yang hanya menguatkan atau malah mengabadikan “pembenaran” tindak kekerasan, kesewenang-wenangan, dan ketidak adilan dari seorang Perwira terhadap Tamtama (apalagi Bintara-nya). Oleh atasan terhadap bawahan.

Sekali lagi motif peristiwa ini menjadi tidak penting lagi. Tujuan akhir agar Bripda Joshua menemukan keadilan, tampaknya sedikit banyak tercapai. Irjen Ferdy Sambo telah ditetapkan menjadi tersangka, yang daripadanya ia terancam sampai ke resiko tertingginya: dipecat tanpa hormat dan diancam hukuman mati.

Satu-satunya satu ganjalan yang tersisa. Keterbukaan kasus ini, tak lepas dari tuntutan, desakan, dan tekanan pejabat tertinggi di negara ini Jokowi sebagai Presiden. Pertanyaannya: setiap kali, ia menyatakan hal tersebut, mengapa beliau sedemikian tampak bersedih, tertekan, dan terharu biru.

Gerangan apa lagi “tabir” yang masih terselimuti? Hanya waktu yang akan menjawab…
.
.
.
NB: Saya tidak tahu apakah Divisi Propam adalah jantung atau akar institusi Kepolisian. Dalam bidang ketentaraan dibedakan antara Polisi Militer dan Provost, yang terletak pada lingkup kerjanya. Polisi Militer penegak disipilin bagi seluruh anggota TNI yang mencakup wilayah kerja, seperti Kodam ataupun Lantamal. Sedangkan, Provos hanya berperan sebagai penegak disiplin di lingkup kesatuan saja.

Bisakah Propam disamakan dengan Polisi Militer? Tentu saja mirip. Sambo sendiri dalam banyak pernyataannya ingin menunjukkan kesatuannya sebagai garda terdepan. Ia sendiri menyadari setiap kerja Propam rela tidak terekspos dan tidak terkenal, walau harus bekerja lebih keras dari kesatuan polisi lain. Ia berjanji lebih keras menegakkan disiplin dan memberi contoh di lingkungan kepolisian.

Di sinilah, nyinyir abadi yang sering disebut “lidah tak bertulang”. Lebih mudah mengucapkan, lebih gampang beretorika. Daripada menjalankannya, tinimbang merubah pikiran, kebijakan, dan perbuatan untuk tidak melakukan pelanggaran. Di sini arti penting duet Jokowi dan Listyo Sigit untuk mengembalikan marwah dan citra dalam konteks integritas, kredibilitas, dan profesionalisme polisi sebagai pelayan, pelindung, dan pengayom masyarakat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *