Roy Suryo : Antara Tupai dan Keledai

Bagaimana memahami nasib seseorang dari seorang “penghukum” menjadi “terhukum” itu gampang2 sulit. Kita pilih cara paling gampang saja. Tentu demikianlah cara hukum alam bekerja, karmapala yang tak mungkin ditolak sesiapapun. RS membangun kariernya sebagai figur publik sebagai apa yang disebut secara rumit sebagai ahli telematika. Sebuah bidang interdisipliner yang menggabungkan sistem jaringan komunikasi, teknik transportasi, dan teknologi informasi. Intinya ia mengkoneksikan antara validitas informasi dan identitas portal telekomunikasinya.

Berkali2 ia diberi (atau lebih tepatnya mencari) panggung dengan menempel pada banyak kasus. Umumnya kasus norak yang melibatkan artis atau para pesohor yang melulu konteksnya “kejar rating”. Dari titik inilah ia membangun reputasi yang membawanya masuk dalam pergaulan politik. Nasib baik membawanya ke partai penguasa pada masanya. Ia bergabung dengan Partai Demokrat, sebuah organisasi politik yang sangat patetik (baca: pembawa penyakit). Sebuah partai yang di luar sangat tergantung pada figur dan uang, juga pada akhirnya tak lebih dari sebuah partai dinasti.

Realitas bahwa partai penyakitan tersebut rontok, terhukum, dan akhirnya runtuh. Rupanya sulit diterima secara akal sehat oleh beberapa kadernya, terutama oleh mereka yang masih dalam usia ptanggung paruh baya. Perilaku Roy Suryo (juga kemudian Andi Arief) harus dipahami sebagai bagian dari fenomena tersebut. Ia ingin mempertahankan eksistensi dan pengaruhnya dengan cara menjadi “sok oposan”. Walau sial jatuhnya justru menjadi sangat nyinyir dan menjengkelkan. Bila akhirnya, ia tersandung kasus kita bisa memahaminya dari dua sudut pandang.

Apakah ia (laksana) seekor tupai ataukah ia tak lebih berperilaku seperti keledai?

Dari kelakuan ala tupai-nya, kita bisa memahami dari sisi fenomena selepas era Orde Lost Stang-nya SBY di tahun 2014. Tak cuma sekali, ia bersikap nyinyir terhadap Jokowi. Ejekannya sudah dimulai jauh hari, dari cara merendahkannya Mobil Esemka, yang dianggapnya cuma mobil assembling “kanibalan” spare part. Tempel onderdil sana, tempel perangkat sini. Ia tak bisa memahami, bukankah demikian cara sesuatu mula2 dibangun. Nyaris tak mungkin, tiba2 untuk membangun sesuatu harus membangun sesuatu (yang mungkin terdiri dari ribuan komponen) secara mandiri?

Dan sikap nyinyir itu terus berlanjut. Ia mengejek Jokowi tentang cara verbalisasi saat ia berbicara dalam bahasa Inggris, bahkan mempersolkan hal remeh temeh soal gramatikal. Barangkali, ia mendendam pada (rejim) Jokowi yang sepeninggalnya sebagai Menpora. Ia menanggung aib yang barangkali seumur hidupnya, sepanjang usia anak2nya akan melekat padanya sebagai Menteri yang membawa pulang panci ke rumahnya. Hingga di lingkaran sosial media ia sering diejek balik sebagai “Pangeran Panci”.

Hingga tiba pada kasus, yang sebenarnya malah cukup absurd. Ia ikut menyebarkan meme, yang memparodikan stupa Buddha Gautama dengan mengubahnya dengan wajah Jokowi. Dan kali ini, ia kena batunya. Laporan yang dilakukan oleh salah seorang penganut Buddhist diterima kepolisian, dan setelah diperiksa cukup intensif ia resmi dinyatakan sebagai tersangka. Artinya, ia adalah representasi dari peribahasa “sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga”.

Bagi orang Jawa, hal seperti ini disebut sebagai “wis titi wancine”. Sudah tiba pada saatnya. Tak penting betul apa kasusnya, tapi tabungan masalahnya memang sudah lebih dari cukup…

Pun demikian, kita juga bisa memahami perilaku terakhirnya itu sebagai keledai, dimana ia sebenarnya sudah sering jatuh pada lubang yang sama. Dalam konteks kasus2 pencemaran nama baik. Tak sekali, ia melaporkan balik para pelapornya. Ia berperilaku demikian, karena sebagai salah satu nara sumber pembuatan Undang-Undang ITE. Tentu ia paham pada delik mana ia bisa berkelit, bersembunyi, atau menyelamatkan diri. Sebagai mantan pejabat publik, ia adalah figur yang paling banyak bermasalah dengan “dirinya sendiri”.

Walau umumnya, kasus2 yang melibatkannya hanya berputar2 pada silang sengkarut perbedaan selera, pilihan kata, atau melulu masalah like and dislike. Persoalan suka tidak suka yang sama sekali tak elementer bagi kepentingan publik, kecuali sekedar nama baik pribadi. Persoalannya, sebagaimana gaya selebritis hari ini, ia selalu menyeret atau diseret ke ranah hukum. Dan selama ini, ia lolos. Termasuk, tuduhan ia membawa pulang tak hanya hanya satu item barang, konon mencapai ribuan item sesuai temuan BPK. Tapi dalam kasus hukum di pengadilan, yang diam2 ia jalani. Ia bisa bebas, dan menganggap nama baiknya telah direhabilitasi secara hukum.

Konteks terakhir inilah, yang membuat over confidence (baca: terlalu percaya diri). Hingga makin menjadi2 menyerang Jokowi, nyaris di setiap isunya ia numpang unjuk diri. Lalu kenapa kasus terakhir, berhasil memperangkapnya?

Pertama, ia menghina dua tokoh sekaligus, yang sesungguhnya keduanya malah tak bereaksi sama sekali. Tapi ia lupa, Siddharta Gautama atau Sang Buddha adalah seorang panutan lebih 500 juta manusia, yang meliputi nyaris 10% populasi dunia. Bahwa sifat dasar agama ini adalah “welas asih”, tak berarti semua orang bersedia memaafkan dan membiarkan. Cukup dibutuhkan satu laporan dari satu orang umatnya yang merasa tersinggung. Dan hal itu yang terjadi, pihak kepolisisan bahkan menolak belasan laporan sejenis. Karena menganggap cukup dari satu laporan untuk mengkasuskannya….

Kedua, tentu saja hinaannya dengan “memfosilkan” Jokowi dalam bentuk patung. Hal ini sebuah hinaan nyata yang tak akan mudah diterima para pendukungnya. Jokowi masih hidup, masih segar bugar, dan aktif memerintah negeri ini. Simbolisasi patung hanya mendudukkan sebagai “orang mati yang sudah pantas dimonumenkan”. Saya haqul yakin, Jokowi sangat acuh tak acuh terhadap perilakunya. Tapi publik, tak bisa abai untuk yang kali ini, ia menghina dua tokoh besar sekaligus. Membolak-balik teks dan konteks secara serampangan.

Ia adalah keledai, ia boleh bisa bangkit dari lubang yang lalu, tapi tak sadar masuk dalam lubang yang makin dalam.

Roy Suryo, sekali lagi adalah profiling pejabat bergaya mileneal dengan segenap ke-lebay-annya. Cukup aneh, bila mengingat ia berasal dari Yogyakarta yang menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian dan kerendah hatian. Makin aneh bila, merujuk ia adalah keluarga bangsawan dari Pura Pakualaman yang sangat mengedepankan kepedulian, rasa hormat, dan kekuatan nalar ilmu pengetahuan. Ia nyaris tak berjejak dari situs mulia ini.

Ia adalah anomali, ia adalah kombinasi perilaku dan nasib buruk tupai dan keledai….
.
.
.
NB: Persoalan RS menjadi makin buruk, saat ia ditetapkan sebagai tersangka. Alih2 mengakui kekhilafannya, ia berusaha menyeret orang2 yang dianggapnya pembuat meme dan menyebarluaskan lebih dulu dari dirinya. Tidak hanya satu, tapi tiga pihak sekaligus. Ia bersikap denial, ia menyangkal. Namun justru menunjukkan ia tidak ksatria, ia hanya manusia kebanyakan. Yang hanya beruntung pernah menduduki jabatan publik yang sangat tinggi.

Citranya makin buruk, tak sebagaimana dulu Ahok yang berani menanggung resiko terhadap kasus yang membelitnya. Berani datang, dan langsung bersedia ditahan. RS di hari saat ditetapkan sebagai tersangka, ia mengaku sakit. Keluar dari ruang pemeriksaan dengan kursi roda, dengan berbagai dalih dan alibi. Kelak, kita akan mencatat ia akan merasa dikriminalisasi, karena bersikap kritis terhadap penguasa. Sesuatu yang justru akan semakin menguatkan posisi dan presentasinya sebagai seorang yang “nothing”.

Bukan apa2, bukan siapa2, dan kita tak akan paham bagaimana mungkin ia bisa sampai di sana.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *