Sejak Dulu Indonesia Impor Beras (1)

Hari-hari belakangan ini ramai sekali berita tentang impor beras. Bagi Indonesia sendiri, beras dan harga beras merupakan indikator utama dalam ekonomi politik nasional. Maka itu sejak jaman kemerdekaan banyak program yang diluncurkan untuk pengadaan beras seperti Rencana Wicaksono, Rencana Kasimo, Rencana Kesejahteraan Istemewa (1945-1960). kemudian dilanjutkan Gerakan Swasembada Beras, Komando Gerakan Operasi Makmur (KOGM), serta BIMAS, INMAS, INSUS pada masa Orde Baru.

Bagaimana dengan era reformasi? Dalam pidatonya pada bulan Februari 2011, Presiden SBY di Istana Bogor pernah dengan gagah membuat target surplus beras sebesar 10 juta ton. Apa yang terjadi? Hanya enam bulan berselang justru program impor beraslah yang dilakukan. Dengan berbagai alasan seperti untuk candangan beras pemerintah melalui BULOG, stabilisasi harga beras, antisipasi perubahan iklim iv) dan akibat dari aturan perdagangan internasional (WTO). Sebab pemerintah melalui mekanisme G to G dengan Vietnam bersepakat untuk impor beras sebanyak 500.000 ton.

Bahkan sejak tahun 2010- Maret 2011 menurut Laporan Pemantauan Harga dan Distribusi Barang Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan realisasi impor beras dari luar negeri selama 2010- maret 2011 mencapai 1.848.426 ton atau 92,5 persen dari seluruh kontrak pengadaan beras impor yang sebesar 1.998.000 ton.

Cukup menarik disimak fakta bahwa sejak berabad-abad lalu, impor beras sudah sering dilakukan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Kita dapat mendapati fakta ini dalam buku kumpulan tulisan sejarawan Ong Hok Ham: Dari soal Priyayi sampai Nyi Blorong. Dikatakan Ong Hak Ham, sejak dulu masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk, meski demikian masyarakatnya dapat dibagi menjadi dua kategori besar: masyarakat pesisiran yang bersifat maritim, dan pedalaman yang bersifat agraris.

Sebelum masuknya Belanda, tradisi maritim secara umum lebih dominan daripada tradisi agraris di Nusantara. Artinya lebih banyak kerajaan atau daerah yang aktivitas ekonomi utamanya dari perdagangan daripada bertani. Negara-negara maritim di Nusantara nyaris tidak mengenal pertanian (agraria). Mereka mengimpor beras dari negara-negara agraris seperti Mataram di Jawa dan Ayuthia di Thailand. Bahkan Jawa sendiri meski cukup melakukan ativitas perdagangan yang cukup sibuk (tak semata mengandalkan pertanian) secara umum beras merupakan komoditas pertanian utama di Jawa, dan diekspor ke negara-negara lain di luar Jawa.

Baru pada abad 17, Jawa (termasuk daerah pesisirnya) berubah menjadi agraris penuh. Beras tetap menjadi komoditas pertanian utama di Jawa sebelum era tanam paksa. Di era tanam paksa (1830-1870), struktur pertanian masyarakat Jawa banyak berubah. Pemerintah Hindia Belanda mendirikan berbagai perkebunan tebu di Jawa untuk memacu ekspor gula yang segera menjadi primadona komoditas ekspor Hindia Belanda. Perkebunan tebu ini menyebabkan terpecahnya sawah pertanian menjadi lebih kecil, apa yang disebut antropolog Clifford Geertz sebagai involusi sosial.

Berawal dari perkebunan tebu yang cocok ditanam di atas tanah sawah serta membutuhkan banyak air, terjadilah perebutan irigasi antara perkebunan tebu dan sawah tradisional yang menanam padi. Terjadi pula persaingan tenaga kerja. Dalam persaingan tenaga kerja, sejumlah petani sawah diserahkan pada perkebunan tebu. Petani pun harus menyerahkan sebagian tanahnya untuk perkebunan tebu dan harus bekerja untuk perkebunan tebu. Sebagai imbalannya, petani yang mendukung perkebunan tebu dibebaskan dari pajak tanah.

Sejak itu komoditas beras menurun jumlahnya. Jawa bukan lagi pengekspor beras, bahkan Hindia Belanda mulai melakukan impor beras. Dalam artikel “Impor Zaman Kolonial: dari Es Batu Hingga Beras” tulisan Petrik Matanasi – 6 November 2018, di Tirto.id, ditulis bahwa orang Indonesia tak melulu makan beras, karena ada makanan pokok lain seperti sagu, jagung, umbi-umbian dan lainnya. Beras, yang dihasilkan di Jawa, menjadi bahan makanan yang cukup mewah di masa lalu.

Di zaman kolonial, Hindia Belanda memang sempat tercatat sebagai pengekspor beras ke pasar internasional. Beras yang diekspor adalah jenis beras bermutu tinggi, dan sebagian besar dihasilkan di Indramayu (Jawa Barat) dan Lombok. Produksi beras Jawa terkenal di masa-lalu. Beras dari Jawa mampu bersaing dengan beras Italia, beras Carolina dan beras-beras lain termasuk beras Burma karena berkualitas. Namun, beras yang dimakan kebanyakan orang Indonesia adalah beras yang harganya lebih murah. Beras-beras itu umumnya beras impor dari negara-negara Asia, salah satunya beras Burma atau Beras Ranggon.

Sejarawan Creutzberg menyebutkan, impor beras dimulai kecil-kecilan sejak 1860. Ada masa di mana, tarif cukai tak dipungut untuk komoditas beras. Kini beras Burma tak dikenal lagi, orang Indonesia lebih kenal beras asal Thailand atau beras Vietnam.

Ada kisah sedih tentang wabah pes yang timbul akibat impor beras tersebut. Guna mengatasi kelangkaan beras yang melanda sebagian wilayah Jawa, pemerintah kolonial lantas mengimpor beras dari Burma. Entah bagaimana, pemerintah tidak menaruh curiga atau memeriksa kapal-kapal pengangkut beras itu ketika bongkar muat di Surabaya sekira Oktober-November 1910. Padahal di saat bersamaan diketahui bahwa wabah pes sedang mengamuk di Burma.

Tanpa pengawasan lebih lanjut, beras-beras yang kemungkinan dihinggapi kutu tikus itu pun mulai didistribusikan ke Malang. Di Malang, beras impor berkutu itu lantas disimpan di gudang-gudang yang terdapat di Turen, Singosari, Blimbing, Batu, Kepanjen, dan Gondang Legi. Dan benar saja, beberapa saat kemudian wabah pes pecah di Malang.

Pemerintah kolonial baru yakin bahwa pes sudah menjangkiti Malang pada akhir Maret 1911. Ini menjadi gelombang pertama epidemi pes di Hindia Belanda. Dari Malang, wabah lalu merambah kota-kota di sekitarnya seperti Kediri dan Surabaya. Restu mencatat, pada 1912 diperkirakan sudah 2.000 orang meninggal gara-gara pes. Bahkan, pada 1915 wabah pes telah pula menjangkiti Surakarta dan Madura.

Bersambung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *