Keriuhan persoalan pasokan pangan sendiri hampir selalu terjadi di Indonesia, terutama persoalan pasokan beras. Jika dicermati dari sejumlah arsip surat kabar lama yang dikumpulkan koran Pikiran Rakyat dari National Library of Australia Trove dan Koninklikje Bibliotheek Delpher Belanda, ternyata urusan pasokan pangan menjadi ironi karena Pulau Jawa dikenal sebagai pulau tersubur sedunia, lahan pertaniannya masih luas dan dikenal dunia. Namun, ternyata masyarakatnya sering kekurangan pangan, sejak zaman dahulu hingga kini.
Kejadian kelaparan besar di Pulau Jawa sudah muncul ke publik sejak awal abad ke-20 melalui pemberitaan De grondwet terbitan 8 April 1902. Mereka memberitakan di Pulau Jawa adalah sesuatu yang lumrah, terutama di Jawa Tengah orang-orangnya sudah terbiasa dalam kondisi kelaparan dan hidup sengsara selama bertahun-tahun.
Dalam berita itu disebutkan, kelaparan yang mendera penduduk Jawa Tengah tersebut umumnya disebabkan ketergantungan terhadap konsumsi beras. Kondisi ini terjadi jika sawahnya mengalami kegagalan panen, baik karena banjir maupun kemarau, letusan gunung berapi, atau lainnya.
Karena kondisi itu, diberitakan, masyarakat di Jawa Tengah menjadi kelaparan dan mengalami kesengsaraan. Apalagi mereka tidak memiliki uang untuk membeli beras dari orang lain. Untuk menyambung hidupnya, orang-orang kelaparan itu kemudian mengonsumsi dedaunan dan akar pohon (tampaknya yang dimaksud termasuk umbi-umbian), bahkan memakan sesuatu yang sebenarnya sumber penyakit.
”Anda mungkin tak akan percaya bahwa di negeri yang kaya dan subur ini, seperti Pulau Jawa seharusnya tidak terjadi kelaparan. Nyatanya, para penduduk asli sering kekurangan pasokan beras!” tulis editor surat kabar De Grondwet itu.
Beras impor, khususnya asal Saigon, Vietnam, tergambar dari pemberitaan surat kabar Algemeen Handelsblad terbitan 27 Januari 1915 dengan mengabarkan pada 26 Januari 1915, Kapal Uap SS Tjimahi (ejaan kini SS Cimahi) tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Batavia, dengan membawa 6.000 ton beras Saigon (beras yang dikirimkan melalui Pelabuhan Kota Saigon). Kiriman beras tersebut didatangkan Pemerintah Hindia Belanda untuk memenuhi kebutuhan beras di Pulau Jawa pada Januari 1915.
De Telegraaf pada 8 Maret 1915 memberitakan, impor beras yang terjadi tersebut sebenarnya suatu hal ironis. Soalnya, produksi padi di Pulau Jawa mencukupi, tetapi impor beras selalu dilakukan setiap tahunnya, baik dari Saigon (Vietnam) dan Rangoon (Burma/Myanmar).
Pada 29 Agustus 1937, Sunday Mail terbitan Brisbane, memberitakan jutaan orang di Pulau Jawa kembali mengalami kelaparan sehingga menyebabkan migrasi penduduk secara besar. Salah satu penyebabnya, Pulau Jawa mengalami jumlah pertumbuhan penduduk yang serius dan sudah dinilai padat pada masa itu. Dr Hart selaku Direktur Urusan Ekonomi Hindia Belanda memberikan informasi bahwa Pulau Jawa sulit membendung terjadinya kondisi serius kelebihan populasi penduduknya. Saat itu sudah terpikirkan melakukan transmigrasi orang-orang dari Pulau Jawa ke sejumlah pulau terpencil.
Diberitakan pula, pada masa itu penduduk di Hindia Belanda, khususnya di Pulau Jawa sudah mencapai 42 juta dan di luar pulau 19 juta. Dibandingkan dengan Jepang yang memiliki luas hampir sama, Pulau Jawa memiliki populasinya total 316 jiwa/km2, sedang Jepang hanya 168 jiwa/km2. Sejumlah kawasan besar di Pulai Jawa saat itu juga kondisinya sudah menjadi salah satu tempat terpadat penduduk di dunia.
Di era kemerdekaan, Gereformeerd Gezinsblad terbitan 24 Februari 1964 memberitakan, kelaparan kemudian yang melanda Jawa Tengah. Puluhan ribu orang kelaparan menjadi gelandangan dan pengemis dari pelosok desa di Jawa Tengah. Mereka ramai-ramai berurbanisasi ke Semarang dan Jakarta. Penyebabnya adalah kemarau berkepanjangan di Jawa, sering cepat berubah menjadi banjir di musim hujan, sehingga memunculkan serangan hama tikus besar-besaran yang menyerang tanaman padi.
Mengutip kantor berita Antara, terdapat 100.000 orang kelaparan di Pulau Jawa. Untuk itu, Angkatan Bersenjata Indonesia menyediakan Rp 5,42 juta, 107,5 ton beras, dan 25 ton jagung untuk membantu mengurangi kekurangan pangan. Menurut laporan tersebut, jumlah orang yang kelaparan di Pulau Jawa, terbesar 50.000 orang di Jawa Tengah, 40.000 orang di Jawa Timur, serta 10.000 orang di Jawa Barat (terutama di Indramayu).
Karena tidak stabilnya harga-harga pangan merupakan momok tersendiri bagi pemerintah dimana-mana di dunia ini, Pemerintah Hindia Belanda tepatnya tahun 1939 sudah membentuk lembaga cikal bakal berdirinya BULOG yang disebut Voeding Middelen Fonds (VMF). Tugasnya untuk menjamin pengadaan dan penjualan bahan pangan, terutama beras. Masalah beras dirasa sangat penting sehingga memerlukan pengaturan khusus. Sebelum VMF dibentuk, pasar pangan dibebaskan dan pemerintah kolonial kurang mengambil peran dalam pengendalian beras.
Terjadi dualisme dalam penanganan masalah pangan setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Selama masa revolusi fisik, wilayah Indonesia memang terbagi kepemilikannya, yakni oleh pemerintah RI di bawah kepemimpinan Sukarno dan Mohammad Hatta, serta daerah-daerah yang kembali diduduki Belanda. Pemerintah RI menyerahkan urusan beras kepada Jawatan Persediaan dan Pembagian Bahan Makanan (PPBM) yang dinaungi Kementerian Pengawasan Makanan Rakyat (PMR). Di sisi lain, Belanda menghidupkan VMF lagi untuk urusan serupa.
Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda kepada pemerintah Indonesia pada akhir 1949, VMF dibubarkan. Budi Winarno dalam buku Komparasi Organisasi Pedesaan dalam Pembangunan (2003) menjelaskan, pemerintah membentuk Yayasan Bahan Makanan (Bama) pada 1950. Setahun kemudian, Bama diganti menjadi Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM) dan bertugas mengurusi harga beras dan distribusinya di tingkat nasional. Sedangkan untuk pembelian padi di daerah-daerah, pemerintah membentuk Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP) di bawah wewenang gubernur.
Perubahan terjadi lagi sejak pasca-Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang melemahkan posisi Sukarno. Dalam situasi darurat itu, penanganan dan pengendalian bahan pangan dipegang oleh Komando Logistik Nasional (Kolognas) yang dibentuk pada 1966 oleh Presidium Kabinet Ampera pimpinan Soeharto. Tidak lama setelah Soeharto secara resmi dilantik sebagai Presiden RI ke-2 tanggal 12 Maret 1967, dibentuklah Badan Urusan Logistik (Bulog).
Bulog menjadi salah satu elemen utama penunjang pemerintahan Orde Baru di bawah rezim Soeharto dalam urusan pangan sebagai salah satu unsur pendukung ketahanan negara. Indonesia pun sempat meraih swasembada beras pada 1984. Meski demikian, dalam sejarah panjangnya, Bulog hampir selalu melakukan impor beras.